16. Sick

70 18 48
                                    

Suara musik edm menggema bersama gemerlap lampu temaram di dalam sebuah bar menemani Jimin yang sedang mabuk. Satu botol wine kini sudah tersisa setengahnya seiring dengan kesadaran yang kian menurun. Pria dua puluh lima tahun itu tengah meratapi kisah cintanya yang terasa tragis.

Ia kira, selama ini hubungannya dengan Sera sangat harmonis. Ia merasa menjadi pasangan serasi yang membuat iri banyak orang di luar sana. Saling jatuh cinta hingga membawa sebuah hubungan yang serius selama lima tahun ke belakang.

Namun, kini ia baru menyadari. Selama ini ia hanya menerima dari Sera, tanpa pernah memberi. Sebuah hubungan seharusnya merupakan timbal balik. Suatu ikatan yang terdiri dari dua insan yang saling bekerja sama, bukan hanya salah satunya saja. Akan tetapi yang sudah lima tahun ini ia lalui, Jimin hanya menerima segenap kasih sayang, juga ketulusan dari Choi Sera, tanpa pernah memberikan perhatian lebih ada wanita itu. Yang benar saja, bahkan rumah orang tua Sera saja ia tidak tahu. Hal terparah yang baru saja ia ketahui, yakni meninggalnya ayah Sera yang Jimin sama sekali tidak pernah mendengarnya.

Kini ia merasa pantas menerima semua ini. Rasanya ia mewajarkan jika Sera pergi meninggalkannya. Bahkan dengan kurang ajar, ia memohon agar gadis itu dapat menerima pernikahan sementaranya dengan Anna, tanpa memikirkan bagaimana perasaan gadisnya. Jimin layak disakiti lebih dari ini.

Terlalu sakit, ia bahkan tak sanggup lagi menitihkan air mata. Kini ia hanya mampu tertawa dengan pandangan kosong. Ia ingin egois sekali lagi dengan memohon kesempatan untuk bertemu kembali dengan Choi Sera. Jimin lebih memilih untuk gadis itu memarahinya secara langsung, memaki atau bahkan memukul sekaligus, daripada ia harus disiksa dengan kerinduan seperti ini.

Cairan di dalam botol sudah hampir habis. Ia bahkan tak bisa menghitung itu sudah botol ke berapa, yang ia tahu kini kepalanya sudah akan meledak. Tangannya merogoh saku celana untuk mencari ponsel. Ia teringat belum membuka benda itu seharian ini, hingga puluhan notifikasi memberondong masuk begitu ia membuka layar.

Ada beberapa pesan dari Anna, tetapi ia tidak ingin membukanya untuk saat ini. Ia lebih memilih mencari kontak Kim Taejoon—sasaran empuk yang dapat ia salahkan atas kekacauan hari ini. Bagaimana bisa pria itu melewatkan informasi sepenting meninggalnya ayah Sera pada Jimin.

Nada hubung terdengar dua kali dan disusul suara Taejoon yang terdengar serak—tampaknya pria itu tengah tertidur di rumahnya. Namun, seolah tercekik, Jimin tidak mampu lagi berkata-kata. Segala amarah dan rasa kesal yang ingin ia lampiaskan pada sahabatnya itu seketika menguap lalu menghilang.

Kini yang tersisa hanya rasa lelah yang teramat berat hingga ia hanya mampu menangis. Tanpa sadar ia sudah menangis tersedu di dalam panggilannya bersama Taejoon. Tidak ada kalimat lain yang ia katakan selain memanggil nama Sera disertai dengan kata maaf setelahnya. Jimin sudah terlalu mabuk hingga membuatnya kehilangan kontrol atas emosinya.

Ia meracau panjang lebar dengan segala penyesalan sudah melewatkan banyak hal tentang Sera, juga beberapa masalah yang tengah ia hadapi saat ini. Tidak tinggal diam, Taejoon segera mengambil tindakan. Ia berusah mengatakan banyak kalimat tanya, berharap sahabatnya itu masih memiliki kesadaran untuk menjelaskan di mana posisinya saat ini. Namun nihil. Karena kini panggilan beralih pada suara asing yang tidak pernah Taejoon dengar sebelumnya.

"Apa kamu teman dari pria ini?" tanya seorang pria yang mengambil alih ponsel Jimin.

"I-iya dia temanku. Anda siapa, ya? Dan, di mana Jimin?" Taejoon bertanya panik. Dari suaranya begitu ketara ia tengah khawatir akan kondisi Jimin.

Pria berbadan tinggi yang sejak tadi memperhatikan kondisi Jimin itu mengambil alih ponsel di tangan kirinya, lalu tangan kanannya berusaha menahan tubuh Jimin agar tidak ambruk. "Maaf, Tuan, temanmu pingsan di barku. Kamu bisa datang ke sini untuk menjemputnya selagi aku mengamankannya di sini."

Terdengar suara napas memburu dari seberang panggilan. "Baik, aku ke sana. Bisa kirimkan lokasimu ke nomor ini?" Taejoon berkata cepat hingga mendapat persetujuan dari pemilik bar untuk mengampiri keberadaan mereka sekarang.

***

Jimin terbangun di sebuah ruangan asing yang tercium aroma familiar. Perpaduan bau obat-obatan serta pengharum ruangan yang sangat jimin benci—rumah sakit. Ia melirik jam pada dinding menunjukkan pukul sebelas. Entah ini siang atau malam hari, karena ruangan begitu tertutup dan Jimin tak dapat mengintip di balik jendela karena kini selang infus tertanam pada pembuluh darahnya.

Kemudian pandangannya melirik di sisi ruangan, Kim Taejoon tengah tertidur pulas di atas sofa. Ingatannya memutar kejadian apa yang ia alami hingga ia harus terbaring di bangunan yang paling ia benci ini. Ia meruntut kejadian sejak pertama kali pergi ke Daegu dengan berkendara dari Seoul, kehujanan di rumah Sera, mabuk, lalu kembali ke rumah Sera dan mabuk lagi, lalu ia menghubungi Kim Taejoon, dan kini ia terbaring di sini. Sial, aku pasti pigsan di bar itu.

"Kim, ayo pulang," titahnya dengan suara serak. Meski ia tahu suara itu tak akan membangunkan sahabatnya. Kepalanya berputar mencari sesuatu untuk membangunkan Taejoon, hingga netranya menangkap keberadaan ponsel di atas nakas. Tangannya dengan susah payah meraih benda itu lalu menekan tombol panggilan.

Kim Taejoon si bucin ponsel nomor satu seketika terlonjak ketika mendengar suara nada dering dari benda pintar itu. Matanya membola kala melihat nama kontak si pemanggil. Dengan setengah sadar, ia menekan tombol hijau lalu menempelkan ponsel pada telinga. "Halo," katanya dengan suara serak.

"Ayo kita pulang," lirih Jimin tak mau kalah—turut menempelkan ponsel pada telinga.

Dari ranjangnya Jimin dapat melihat Taejoon mengerutkan kening. "Memang kamu di mana?" tanya pria itu. Sementara si penelepon mendengkus menahan geram.

"Aku ada di sebelahmu, Bodoh! Cepat buka mata, dan antar aku pulang. Aku muak dengan tempat ini." Seketika Taejoon menoleh dan baru mengingat bahwa mereka tengah berada di rumah sakit. Tampaknya pria itu kelelahan usai melakukan perjalanan tiba-tiba dari Seoul ke Daegu, lalu ia harus mengurus temannya yang sekarat karena overdosis alkohol dan berakhir terkapar di rumah sakit.

Adik Kim Seojoon itu menghela napas, mematikan ponsel dan turun dari sofa. Ia berjalan mendekat pada ranjang pasien di mana Jimin tengah menatapnya dengan jengkel. "Jangan banyak tingkah! Cepat kembali tidur, dan pulihkan kondisimu, hingga aku bisa bicara pada dokter untuk mengizinkanmu pulang besok pagi," ujarnya tak kalah kesal. Kim Taejoon sudah terlalu lelah mengurus banyak kekacauan di perusahaan akibat absennya Jimin beberapa hari ini. Ia tidak memiliki tenaga untuk beradu argumen dengan pria ini yang merengek dibawa pulang hanya karena tidak menyukai suasana rumah sakit.

Jimin terdiam. Kim Taejoon adalah pria paling sabar nomor satu yang paling Jimin sayangi. Maka ketika pria itu mulai jengkel, Jimin tak lagi berani berulah atau ia akan merasakan akibatnya—Hwang Jimin tak mau kehilangan Kim Taejoon—tak akan sanggup. Nyaris dua puluh lima tahun hidupnya ia habiskan bersama pria itu. Jika Choi Sera adalah wanita tangguh yang mampu membawanya bangkit dari keterpurukan, makan Kim Taejoon sudah menjadi bagian dari hidupnya. Ketika Jimin hancur, maka Taejoon akan turut hancur bersamanya begitupun sebaliknya. 

Tbc ...

Terima kasih sudah baca 💕

TemptationWhere stories live. Discover now