09. Disappear

173 34 90
                                    

Matahari tampak malu-malu membiaskan cahaya di balik awan mendung usai hujan semalam. Jimin membuka tirai jendela, memastikan cuaca di luar sana sudah lebih baik pagi ini. Tidak seburuk yang ia duga, meski tak secerah yang ia harapkan. Tampaknya semesta tengah bekerja sama untuk mendukung perasaan gundahnya semalaman. Kini cuaca terlihat menyesuaikan dengan suasanya hatinya yang sendu.

Pria yang kini telah siap dengan pakaian hangatnya itu segera meraih kunci mobil dan bergegas keluar kamar. Ia ingin memastikan sesuatu yang mengusik pikirannya sejak kemarin. Membuatnya gelisah hingga tidak tidur semalaman. Menanti kabar seseorang yang teramat penting bagi hidupnya.

Begitu keluar kamar, ia melirik pintu sebelah yang tertutup rapat di samping kamarnya. Ia teringat akan sosok lain yang kini tinggal bersamanya—menjadi tanggung jawabnya. Seseorang yang harus ia jaga sesuai janji di hadapan Tuhan. Meski ia tidak tahu sampai kapan ia mampu menjaga janji itu. Sadar kini ia tidak bisa seenaknya, maka ia memutuskan untuk mengetuk pintu. Sekedar untuk memberi tahu bahwa ia harus pergi pagi ini.

"Anna, kamu udah bangun?" tanyanya seraya tangannya mengetuk pintu kayu berwarna hitam itu.

Tiga kali ketukan, tidak juga mendapat jawaban dari dalam. Bahkan ia setengah berteriak untuk memanggil nama pemilik ruangan itu. Namun, telinganya tidak mendengar satu dengungan suara apapun. Ada sedikit rasa khawatir dalam dirinya. Apa jangan-jangan dia pingsan di dalam sana.

Rasa panik yang kian membuncah seiring tidak adanya jawaban dari dalam, membuat ia berniat mendobrak pintu. Namun, saat tangannya mencoba membuka, pintu terbuka dengan mudah—tidak terkunci. Apa dia terlalu percaya padaku? Atau ia hanya lupa mengunci pintunya, entahlah.

Begitu memasuki kamar, seketika ia mencium aroma manis yang menyegarkan. Perpaduan buah stroberi dan juga bunga sakura membuat Jimin diam-diam menikmati aroma memikat ini. Apa ini wangi kesukaannya? Mengapa aku tidak pernah menyadari ini selama pertemuan kami tiga bulan belakangan? Bak candu yang memabukkan, hidungnya menikmati seolah tidak mau berhenti menghirup aroma di ruangan itu.

Seketika Jimin tersadar. Ia menggeleng untuk meluruhkan segala delusi yang terbangun di dalam kepalanya. Mencoba kembali pada tujuan utamanya memasuki kamar ini. Membangunkan seorang gadis yang masih bergelung di balik selimut tebal di atas ranjang.

Dibawa langkahnya menuju tempat tidur. Ia mendekat untuk menatap lebih lekat pada gadis itu. Mencoba menggoyangkan lengannya, tetapi tidak ada pergerakan sama sekali dari pemilik tubuh ramping itu. Jimin melihat mata itu begitu erat memejam dengan bulu mata yang melengkung ke atas. Sejak kapan ia memiliki bulu mata seindah itu?

Lagi-lagi ia salah fokus. Segera ia mengerjapkan mata untuk menetralkan pikirannya. Menggeleng dari bayangan keindahan di depan mata yang mengusik jiwa cassanova-nya. Ah, rasanya Jimin ingin sekali berlama-lama memandang makhluk cantik ini. Namun, ia segera tersadar bahwa tujuannya ke sini bukanlah hal itu, melainkan hal lain yang berlawanan.

Tengah mengalihkan pikiran, pandangannya menangkap keberadaan setangkai mawar merah yang kemarin ia siapkan sebelum pergi ke acara pernikahan. Namun, kertas berisi tulisan singkat sudah tidak ada di sana. Melihat kertas itu tak lagi di sana, maka gadis di bawahnya ini pasti sudah membacanya. Pria yang kini sudah tidak lajang lagi itu tersenyum tipis, membayangkan reaksi Anna kala membaca pesan yang isinya hanya untuk menggoda.

Tidak mendapati tanda-tanda Anna akan bangun, lantas Jimin memutuskan untuk menyibak tirai jendela. Namun, sinar matahari yang masih malu-malu tidak membuat gadis itu membuka mata. Tampaknya ia teralu pagi untuk membangunkan seorang gadis yang tidur larut dengan kondisi kelelahan.

Jimin mengerutkan kening bingung. Tidak biasanya Annastasia seperti ini. Karena yang ia tahu, gadis itu sangat membenci ketika dibangunkan meski hanya oleh setitik cahaya. Maka seharusnya saat ini gadis itu tengah mengamuk dengan tatapan nyalang saat ada seseorang yang memasuki kamarnya saat ia tertidur.

Khawatir akan terjadi sesuatu, Jimin mencoba mendekat kembali. Ia menyentuh kening Anna, memastikan suhu tubuh. Dirasa masih normal, kini ia bernapas lega. Tidak lagi ingin mengganggu wanita yang mungkin sedang kelelahan itu, buru-buru ia beranjak dari tempat tidur. Mengambil secarik kertas, lalu menuliskan pesan singkat di sana.

*****

Usai menyiapkan sarapan untuk Anna, Jimin bergegas keluar sesuai tujuan awal. Ia bahkan tidak tidur semalam hanya untuk menunggu pagi dan pergi ke sana. Mengendarai mobil begitu kencang di pagi hari tidak membuatnya kesulitan. Ia harus segera sampai dan memastikan sesuatu.

Setelah memarkirkan mobil dengan benar, ia buru-buru turun dan berjalan melewati area sempit sebuah pemukiman. Jalanan yang menanjak, membuat napasnya terengah dan sedikit berkeringat. Namun, sama sekali tidak menyurutkan semangatnya untuk menuju ke sana.

Berhenti tepat di depan rumah sederhana bercat putih dengan halaman yang tidak terlalu luas. Ia ketuk perlahan seraya memanggil sang pemilik rumah. Sudah beberapa kali ketukan, tetapi tidak juga ada jawaban. Diliriknya kembali jam di tangan, khawatir ia terlalu pagi untuk berkunjung ke rumah orang. Namun, Jimin tahu pukul delapan sudah cukup siang bagi sosok yang terbiasa bangun pagi itu.

Diusapnya kasar wajah tampan itu, menghalau rasa kesal di dalam dada. Ia mulai megetuk lebih kencang sambil setengah berteriak memanggil namanya. Mengabaikan tatapan aneh dari orang yang berlalu lalang di sekitar sini. Ia tidak lagi peduli, sebab kini dirinya tengah dilanda gelisah luar biasa. Perasaannya menjadi tidak enak, ia ketakutan akan segala kemungkinan yang terbangun di dalam pikirannya sendiri.

"Sera, aku tahu kamu di dalam! Buka pintunya, Sayang. Ku mohon," teriaknya terdengar begitu frustasi sambil mengetuk sekuat tenaga.

Tidak juga mendapat sahutan, kembali ia memanggil. "Choi Sera, apa kamu tega? Sudah dua jam aku di sini, aku kedinginan." Kali ini suaranya melirih. Ia mulai kehabisan tenaga untuk sekedar berteriak.

Ia memutuskan untuk duduk bersandar pada pintu rumah Sera. Tubuhnya mulai lelah karena terus berdiri dan tidak berhenti mengetuk sejak kedatangannya. Ditambah pikiran yang sangat kacau sebab gadis itu tidak dapat dihubungi sejak kemarin. Atau ... sejak beberapa hari lalu? Jimin tidak menyadari kapan pastinya Sera menghilang. Ia disibukkan dengan setumpuk pekerjaan sebelum cuti menikah sehingga melupakan sejenak gadis itu.

"Anak muda, sebaiknya kamu pulang. Karena aku enggak melihatnya di rumah sejak satu minggu yang lalu."

Jimin terperanjat kala mendengar suara wanita paruh baya di hadapannya. Itu Bibi Ahn, tetangga Sera yang mungkin saja terganggu karena ia terus berteriak dan mengetuk sejak pagi. Namun, ucapan wanita di hadapannya ini sedikit mengusik perhatian dan membuatnya berkerut bingung.

"Tidak mungkin, Bibi. Aku baru saja bertemu dengannya empat hari yang lalu," sangkalnya. Ia tidak berbohong, karena masih teringat jelas dalam benak Jimin malam itu ia bertemu Sera di malam pergantian tahun. Meski malam itu berakhir kacau dan berujung Sera pulang lebih awal dan meninggalkannya.

Bibi Ahn mengedikkan bahu. "Aku enggak tahu. Yang pasti, aku melihatnya pergi satu minggu yang lalu dengan membawa dua koper besar."

Jimin membelalak mendengar penuturan wanita itu. Perasaannya semakin kacau membayangkan Choi Sera pergi meninggalkannya. Gadis itu bahkan tidak mengatakan apapun sebelumnya. Selain ... meminta putus? Apa Sera sungguh meninggalkanku?

"Apa Bibi tahu Sera pergi ke mana?" tanyanya memastikan. Ia membutuhkan jawaban atas kepergia Sera yang tiba-tiba. Namun, satu gelengan dari wanita akhir lima puluh itu membuat bahunya menurun lemas.

"Aku enggak tahu dia ke mana. Karena hari itu dia pergi dengan buru-buru bersama seorang pria muda," ujar Bibi Ahn mencoba mengingat kembali apa yang ia lihat satu minggu yang lalu.

Jimin menautkan alis, tidak percaya. "Seorang pria? Siapa? Apa Bibi mengenalnya?"

Lagi-lagi yang ia dapati adalah gelengan kepala dari Bibi Ahn. Dalam benaknya terus bertanya siapa yang pergi bersama Seranya. Jimin bahkan tidak tahu gadis itu memiliki kakak laki-laki. Ah, aku bahkan enggak mengenal keluarganya.

Ingin sekali Jimin mengutuk dirinya sendiri. Ia merasa terlalu buruk sebagai seorang kekasih. Yang ia tahu hanya menerima dari gadis itu, tetapi tidak pernah memberi. Ia kira Sera sudah cukup bahagia bersamanya. Namun, kini ia menyadari bahwa gadis itu membutuhkan perhatian lebih.

Aku begitu terlena akan kehadirannya, hingga aku melupakan fakta bahwa sebuah hubungan memerlukan timbal balik.

Tbc ...

TemptationWhere stories live. Discover now