15. Another Mission

95 22 74
                                    

Jimin memarkirkan mobilnya di depan sebuah rumah sederhana yang tampak kusam dari luar. Pagar besi setinggi dada yang catnya tampak mengelupas—menampilkan banyak karat—tertutup rapat dengan gembok terkait di bagian luar. Beberapa tanaman hias dibiarkan layu begitu saja, menandakan sudah ditinggal oleh pemiliknya dalam waktu lama.

Ia menatap lekat pada bangunan tua di hadapannya. Membayangkan bagaimana kekasihnya menghabiskan masa kecil di sana, atau jika beruntung, ia akan menemukan jejak Choi Sera di kediaman orang tua gadis itu. Namun, kondisi sekitar menjelaskan bahwa rumah di hadapannya telah lama ditinggalkan pemiliknya.

Sekali lagi Jimin menghela napas panjang. Perjalanan jauh yang ia tempuh dari Seoul menuju Daegu—kota kelahiran Sera—tidak membuahkan hasil sama sekali. Ia kembali menelan kekecewaan karena tidak dapat menemukan gadisnya.

Aku harus cari kamu ke mana lagi, Sayang?

Rintik air dari langit secara tiba-tiba memberondong di atas kepala. Membasahi coat hitam yang pria itu kenakan. Namun, seolah tak memiliki tenaga, Jimin hanya berjalan tanpa gairah menuju mobil. Membiarkan tubuhnya kuyub akan derasnya air hujan.

Terdiam di balik kemudi dengan tubuh menggigil. Ia mulai merasakan nyeri di beberapa persendian, tampaknya demam mulai menyerang. Beberapa hari tidak tidur, mengemudi dalam perjalanan jauh hingga mabuk-mabukan kini membuat daya tahan tubuhnya menurun.

Dengan gontai ia menekan tombol penghangat di dalam mobil. Menyalakan mesin dan mengemudi entah ke mana—tidak ada tujuan. Berpikir untuk pulang ke rumah, tetapi tubuhnya terlalu lemah untuk mengemudi dengan jarak ratusan kilometer. Maka Jimin memutuskan mencari penginapan terdekat agar dapat segera mengistirahatkan dirinya. Lagipula hari sudah hampir gelap, dengan hujan lebat begini, akan sangat bahaya untuknya terus-menerus mengemudi jika tanpa tujuan.

Tidak banyak pilihan, Jimin memasuki lobi sebuah hotel yang dipilihnya secara acak—hanya tempat terdekat yang ia temui sepanjang jalan. Ia memesan satu kamar, lalu merebakan tubuhnya tanpa minat melakukan hal lain. Bahkan untuk memejamkan matanya saja ia enggan. Tubuhnya terlalu lelah, tetapi pikirannya tidak bisa berhenti memikirkan di mana keberadaan Sera. Pakaian basah masih ia biarkan melekat pada tubuh pucatnya.

Jimin beranjak, meraih satu kaleng minuman alkohol yang disediakan dalam lemari pendingin di dalam kamar hotel. Mungkin dengan mabuk ia dapat mengalihkan pikirannya. Setidaknya ia dapat melupakan sejenak bayang-bayang akan perginya sang kekasih. Membiarkan dirinya di bawah pengaruh alkohol hingga jatuh tertidur. Hanya itu yang dapat ia lakukan saat ini.

*****

Pagi menyambut masih dengan rintik hujan yang melahirkan embun putih di balik kaca jendela kamar. Perlahan Jimin mengerjapkan mata, mencoba untuk bangun meski pening tengah mendera kepalanya. Bagai ditumbuk oleh ribuan ton batu bata, kini ia merasa berat untuk sekedar beranjak dari tempat tidur. Sebisa mungkin mengais kesadaraan dari sisa hangover usai mabuk sepanjang malam.

Tangannya meraba nakas di samping tempat tidur, mencari keberadaan ponsel yang semalam kehabisan daya. Jimin sudah mengisinya semalaman, kini saatnya ia menyalakan benda pintar itu dan kembali membuka laporan dari hasil pencarian Sera oleh Taejoon. Pria itu telah banyak membantu Jimin untuk melacak keberadaan Sera. Bahkan alamat rumah yang semalam Jimin datangi, itu semua berkat kejeniusan otak adik Seojoon.

Tidak banyak yang Taejoon laporkan. Namun, ada satu dokumen yang menggelitik jemari Jimin untuk membukanya. Riwayat perjalanan Choi Sera yang ia yakini didapat dari pelaporan penggunaan visanya.

Nihil. Begitu dibuka, hanya perjalanan menuju Jepang dua tahun lalu, yang Jimin ingat saat itu gadisnya sedang ingin berlibur ke negeri sakura itu. Tidak ada riwaat perjalanan ke luar negeri terhitung sejak menghilangnya wanita itu, yang artinya, kemungkinan besar, Sera masih berada di Korea. Setidaknya Jimin memiliki harapan untuk lebih mudah bertemu dengannya.

Buru-buru ia menekan tombol panggilan pada kontak Taejoon. Tidak juga ada jawaban meski ia sudah mengulang panggilan sebanyak tiga kali. Menyerah, Jimin memilih untuk beranjak ke kamar mandi. Jam masih menunjukkan pukul 9 pagi—mungkin Taejoon masih tidur, pikirnya.

Ia sudah bersiap untuk pergi bahkan sebelum menyantap sarapannya. Jimin tidak punya waktu untuk itu. Setidaknya ia harus mengecek sekali lagi rumah Sera. Kemarin ia tiba terlalu sore dan hari sedang hujan hingga menyulitkannya untuk berkeliling atau bertanya untuk sekedar mencari informasi tambahan.

Langkahnya terburu menuju mobil. Siap berkendara meski dengan perut kosong dan mengabaikan rasa pusing dari sisa alkohol yang dikonsumsinya semalam. Beruntung jalanan cukup lengang di pagi hari dengan pemandangan kota Daegu yang saat ini Jimin tidak berminat menikmatinya. Ia hanya ingin bertemu Seranya.

Hanya lima belas menit, Jimin sudah memijakkan kakinya di tempat yang sama dengan kemarin sore. Berdiri lemah dengan wajah pucat pasi di depan rumah orang tua Sera. Berharap ada sisa jejak informasi yang dapat ia galih atas menghilangnya gadis itu. Masih sama. Ia tak melihat tanda tanda seseorang menghuni rumah tersebut. Hingga ketika ia hendak berbalik, sosok pria tua menghampirinya.

Pria yang ia perkirakan berada di akhir usia lima puluh itu mengenakan pakaian lusuh, bejalan tertatih, dengan wajah penuh keriput menatap lekat pada Jimin yang kebingungan di hadapannya. "Apa yang kamu cari, Anak Muda?" tanyanya begitu ia berdiri di hadapan Jimin.

Meski enggan, Jimin tetap menjawab, "Aku mencari putri dari keluarga pemilik rumah ini, Paman." Tidak ingin berbasa basi, karena sungguh ia tidak memiliki tenaga untuk itu.

Pria paruh baya itu sedikit terkejut. "M-maksudmu Choi Sera?" Ia kembali bertanya, penasaran. Kini raut Jimin berubah jadi lebih tertarik akan perbincangan ini. Hati kecilnya berharap ia dapat menemukan kabar dari gadisnya.

"Apa paman tahu di mana keberadaannya sekarang?" Jimin bertanya antusias.

Namun, raut wajah yang muram dari lawan bicaranya membuat Jimin sedikitnya kehilangan secercah harapannya. "Sudah hampir lima tahun dia enggak pulang ke rumahnya. Bahkan saat ayahnya meninggal, hingga ibunya pindah rumah, aku enggak melihat keberadaannya," ujar pria itu yang seketika membuat Jimin semakin lemas. Apa lagi kali ini? Bahkan ayahnya meninggal, aku enggak tahu apapun.

Kalut, Jimin bagai kehilangan arah saat tak mendapat kabar dari Choi Sera. Sudah hampir satu minggu dan ia baru menyadari gadis itu menghilang dari hidupnya. Bagi Jimin, Sera sudah seperti rumah. Tempatnya pulang dan berlindung atas segala peliknya kehidupan yang ia hadapi. Ia sudah teramat bergantung pada wanita yang satu tahun lebih tua darinya itu.

Sera sudah terlalu banyak membantunya, menyembuhkannya, bahkan membawanya tumbuh hingga ia bisa berada di titik ini. Jimin tidak mampu membayangkan hidupnya tanpa Choi Sera. Bagaimana ia akan seberantakan dirinya yang dulu. Mengacaukan segalanya dan nyaris kehilangan harapan jika saja saat itu Sera tidak dengan berani memberontak—membobol dinding pertahanannya hingga meraih genggamannya. Meyakinkan Jimin bahwa semua akan baik-baik saja bersamanya.

Namun kini, gadis itu justru pergi—menghilang tanpa berpamitan. Dengan begitu tega melepaskan segala harapan yang Jimin gantungkan pada genggaman tangannya. Mencampakkan segalanya di saat pria itu sudah terlalu candu pada keberadaannya. 

Tbc ...

Mau puk puk Jimim🥺

TemptationDonde viven las historias. Descúbrelo ahora