Bagian 41 : Masalah PT. Kencana

235 8 0
                                    

Alam tiba di rumah dengan lunglai, Ibu dan Eska justru kini berbahagia karena mendapatkan harta gono-gini.

"Ibu, Eska, sebenarnya ada yang mau Alam bicarakan mengenai perusahaan ini ....." Ucap Alam sambil duduk dan bersandar.

"Ah, Ibu sama Eska mana mengerti soal perusahaan. Biar kamu saja yang mengurus perusahaan tersebut." Potong Ibu sambil meletakkan secangkir kopi.

Alam menyeruput kopi sambil meniup secara perlahan karena masih terasa panas. Sebaliknya Ibu dan Eska sibuk memandangi sertifikat tanah dan vila milik Abu Fauzan sebelumnya.

"Sepertinya kita ditipu." Ucap Alam yang kemudian membuat Ibu dan Eska serentak menolehkan wajahnya kepada Alam.

"Apa Ibu sebelum tanda tangan sudah membaca baik-baik laporan keuangan dari perusahaan tersebut?" Tanya Alam.

"Ibu memang membacanya tapi Ibu kurang paham mengenai perusahaan. Ibu cuma sekilas melihat nominal uang yang masuk saja." Jawab Ibu.

"Justru itulah Bu, di dalam kontrak perusahaan ini mempunyai proyek pembangunan rumah bersubsidi dari pemerintah tapi setahu Alam proyek tersebut sekarang terbengkalai tapi uang tersebut sebenarnya tetap mengalir ke rekening perusahaan."

"Oh, kalau masalahnya seperti itu tinggal dilanjutkan saja proyeknya. Karena uangnya kan masih ada." Jawab Eska.

"Kalau uangnya ada ya tidak masalah, tapi masalahnya uang perusahaan itu saldonya sudah tidak ada. Mengenai tanah dan vila rupanya itu adalah lokasi kantor tempat perusahaan PT. Kencana."

"Masalah juga tidak sampai disini. Dibalik lembaran sertifikat tersebut ada surat pemberitahuan bahwa KPK akan melakukan pemeriksaan dalam waktu dekat ini." Lanjut Alam.

"Kurang ajar Windy, dasar menantu mandul mau bercerai pun masih menipu kita!" Umpat Ibu geram.

"Jadi sekarang bagaimana, Mas?" Tanya Eska.

"Biar Mas pikirkan dulu."

Ibu mengambil ponselnya dan menghubungi nomor milik Windy namun rupanya ponselnya tidak aktif.

"Telepon siapa Bu?" Tanya Eska.

"Mantan istri Alam, Windy. Rupanya dia sengaja mematikan ponselnya." Jawab Ibu.

*****

Malam hari Alam duduk di bangku luar rumah memandang bintang dan bulan purnama. Gie yang baru saja datang ke rumah, langsung duduk di samping Alam.

"Langit malam ini cerah ya Mas Alam." Ucap Gie yang disambut Alam dengan anggukan.

"Mas kalau boleh tahu kerjanya di perusahaan mana?" Tanya Alam.

"Oh itu saya sih kerjanya sebagai kontraktor, terkait proyek pemerintah."

"Kalau uang perusahaan sudah habis tapi proyek terbengkalai apa yang Mas lakukan?"

"Wah, kalau sampai terbengkalai sih saya nggak berani. Tapi walaupun kadang terlambat dari waktu yang diberikan, saya usahakan segera selesaikan. Paling ya pinjam uang dulu ke bank dengan jaminan rumah daripada masuk penjara gara-gara nggak bisa menyelesaikan pekerjaan. Nanti kalau dapat proyek lagi, kan bisa menutup kerugian sebelumnya." Gie menjelaskan panjang lebar membuat Alam tersenyum.

"Kelihatannya Mas banyak pengalaman sekali ya."

"Iya sudah sepuluh tahun lebih saya bekerja seperti ini walaupun sebenarnya perusahaan itu ya milik istri saya."

"Kira-kira apa penyebab uang perusahaan cepat habis sementara proyek masih terbengkalai?" Tanya Alam.

"Banyak penyebabnya, salah satunya karena pejabat pemerintah banyak yang minta ceperan dari uang proyek. Jadi kadang saya terpaksa mengurangi kualitas bahan agar bisa melanjutkan proyek."

"Hmm begitu ya." Alam manggut-manggut.

Sementara Gie tersenyum karena pancingannya ternyata berhasil dengan mudah mengenai umpannya.

*****

"Bu, Alam mau ke kantor dulu mau mengecek perusahaan."

"Makan dulu Mas, sarapan sudah siap." Ucap Eska.

"Iya, makan dulu biar ada tenaga untuk bekerja nanti." Sahut Ibu.

Alam menurut dan duduk di meja makan untuk sarapan ditemani Ibu dan Eska.

"Bagaimana Alam, apa bisa perusahaan ini di selamatkan?" Tanya Ibu.

"Bisa jika kita gadaikan rumah ini ke bank dan uangnya kita pakai untuk melanjutkan proyek tersebut." Jawab Alam.

Ibu terkejut, baginya rumah ini banyak menyimpan kenangan ketika masih bersama suaminya dan orang tuanya dahulu.

"Apa tidak ada cara lain?" Tanya Eska.

"Darimana lagi kita dapat uang karena hanya rumah ini harta kita dan ditambah kost-kostan di sebelah rumah Ibu."

"Kira-kira berapa yang dibutuhkan?" Tanya Eska.

"Aku akan mengecek dulu perusahaan dan lokasi perumahan tersebut, nanti baru kita akan tahu berapa jumlah nominal uang yang dibutuhkan." Jawab Alam.

Alam bergegas menuju kantornya dengan menggunakan motor matic milik Eska. Jarak yang ditempuh hampir sekitar satu jam perjalanan. Sesuai alamat akhirnya Alam berhasil menemukan kantor PT. Kencana. Terlihat bangunan kantor nampak sepi, bahkan daun-daun berserakan di halaman.

Baru saja memarkirkan motornya, seorang laki-laki datang menghampiri Alam.

"Ini Pak Alam pemilik PT. Kencana yang baru ya?" Tanyanya.

"Ya betul anda siapa ya?"

"Saya Udin penjaga kantor ini, Ibu Riana menitipkan kunci pintu kepada saya untuk diserahkan kepada Bapak." Ujarnya seraya menyerahkan kunci kepada Alam.

"Terima kasih ya Pak. Tapi kemana karyawan lainnya ya?" Alam melihat kesana kemari namun tak ada siapapun selain dirinya dan Pak Udin.

"Karyawan lain dipindahkan Ibu Riana ke cabang perusahaan lain, termasuk saya. Karena perusahaan ini sudah bukan milik suami Ibu Riana lagi. Saya pamit dulu ya Pak."

Alam mengangguk dan Udin pun pamit dengan menggunakan sepeda motornya. Kini tinggal Alam saja sendirian yang berada di kantor yang nampak tak terawat lagi.

Dengan langkah gontai Alam memutar kunci dan memasuki ruangan. Terlihat sekali ruangan ini sangat lama tak dihuni. Alam merasa lemas, dirinya baru tahu bahwa mengurus sebuah perusahaan ternyata sangat tidak mudah. Alam hanya menjadi umpan dari permainan licik mantan istrinya Windy dan mantan kakak iparnya Riana.

Alam memasuki ruangan direktur, banyak berkas berdebu. Perlahan Alam membuka laporan bulanan perusahaan untuk mengetahui sejauh mana perkembangan progres proyek yang dilakukan.

Rupanya progres proyek baru berjalan setengahnya namun uang yang diserap terlihat sudah 80% itu berarti ada 30% uang yang hilang dari perusahaan. Dahi Alam berdenyut keras, melihat total nominalnya ternyata membutuhkan uang yang tak sedikit.

Alam mengambil ponselnya dan menghubungi Ibu untuk membicarakan hal tersebut.

"Halo." Jawab Ibu dari seberang telpon.

"Ibu, aku sudah mengecek laporan bulanan dan ternyata uang yang kita butuhkan sangat banyak."

"Berapa?"

"Ada tiga puluh persen uang yang hilang, Bu. Dengan nilai proyek 10 Triliun Rupiah maka kita butuh 3 Triliun Rupiah."

"APA SEBANYAK ITU?!"

"Tapi masih ada 20% uang yang belum diserap jadi kemungkinan kita akan melanjutkan proyek tersebut dengan sisa uang 20% dan terpaksa kita akan mengurangi kualitas bahan. Tapi itupun kemungkinan tidak akan cukup." Suara Alam melemah.

"Ibu dan Eska akan menyusul ke sana. Kita bicarakan di kantor." Sahut Ibu seraya menutup ponselnya.

Ibu bergegas ke dapur dan menyuruh Eska untuk bersiap-siap menuju ke kantor. Eska dan Ibu mengunci pintu rumah dan langsung pergi dengan motornya.

Sementara Gie hanya tersenyum melihat kepanikan Ibu dan Eska dari lantai dua.

ENTAH APA YANG MERASUKIMUWhere stories live. Discover now