Wattpad Original
Ada 5 bab gratis lagi

PROLOG

149K 12.4K 2.6K
                                    

Falling for the BEAST | PROLOG


CRYSTAL


4 years ago. The Venetian-Macau, China.

"Lelaki kurang ajar! Apa dia pikir karena aku mencintainya, dia bisa memaksaku melakukan semua yang ia mau?!"

Sekalipun kesadaran gadis itu mulai mengabur, rutukan terus mengalun dari bibir tipisnya yang berpoles lipstick merah menyala, senada dengan gaun merah berbelahan dada tinggi dan rambut panjangnya yang dibiarkan tergerai. Ada gemuruh darah di telinganya, suara dingin dengan nada memerintah kekasihnya memenuhi gendang telinganya. "Lagipula, apa salahnya jika perempuan memegang kendali perusahaan?! Bisa-bisanya dia-" Rutukan gadis itu menggantung, berganti menjadi sebuah erangan begitu menyadari gelasnya kosong.

"Sial!" gadis itu kembali mengumpat kesal, menghela napas panjang, mata birunya menatap sekeliling. Meja bar casino ini sangat mewah dan berkelas, disepuh dengan warna hitam emas. Namun, dia tidak mau bersusah payah mengagumi segala kemewahan yang sudah ia dapatkan sejak pertama kali menghirup udara. Dia hanya butuh seseorang, yang bisa menuangkan Whiskey untuknya.

Malam ini ... hanya malam ini Crystal Princessa Leonidas ingin bebas. Terlepas dari segala aturan yang membelenggunya. Crystal geram. Sebagai satu-satunya putri yang pernah terlahir di keluarga Leonidas-keluarga nomor satu dunia-sudah terlalu banyak aturan yang mengikatnya. Entah itu aturan dari daddy-nya, kakaknya, bahkan semua orang di keluarganya. Cukup. Crystal tidak butuh tambahan aturan dari Aiden Lucero, kekasihnya yang sempurna, terutama untuk hal yang sudah daddynya; Javier Leonidas izinkan.

Dengan ada atau tidaknya persetujuan dari Aiden, Inquireta tetap miliknya. Crystal tetap akan mengendalikan perusahaan perhiasan itu. Dia tetaplah Leonidas sekalipun dia perempuan. Crystal bahkan yakin, dia bisa jauh lebih hebat dari Xavier Leonidas, kakaknya jika dia mau.

Crystal ingin menangis, tapi ia menahannya.

"Amber?" tanya suara serak yang mengalun lembut.

Crystal mendongak, menatap lelaki berpakaian denim yang menunduk di atasnya, berdiri dengan satu tangan menyangga ke meja di dekat Crystal-seakan mengurungnya. Crystal mengerjap, begitu pandangannya menangkap wajah kemerahan dan berkeringat itu. Beberapa helai anak rambut lelaki itu menempel di pelipis, dengan tubuh seperti mesin yang diminyaki dengan baik-tinggi, tegap, dan terbentuk sempurna. Semua keindahan itu membayang jelas lewat kaos hitam tipis di balik jaket denim lelaki itu. Belum lagi aroma tubuh maskulin yang menggoda hidung Crystal, semakin menghilangkan kewarasannya. Dia lupa pada apa pun yang menyiksa pikirannya tadi. Dia hanya ingin mengagumi keindahan ciptaan Tuhan yang sempurna ini, terutama mata birunya ....

"Kau ..." Crystal berupaya mengendalikan diri ketika menangkap kilatan menggoda melintas di mata biru sialan itu. "Kenapa kau bisa ada di sini?" tanya Crystal linglung.

Tanpa Crystal persilakan, lelaki itu duduk di kursi sebelahnya. "Kenapa? Apa aku tidak diizinkan kemari, Amber?" tanya lelaki itu, sambil menyandarkan ujung siku ke pinggiran meja, lalu menyunggingkan senyum jahil menyebalkan.

Amber. Crystal tersenyum kaku, teringat nama palsu yang ia katakan pada lelaki itu beberapa hari yang lalu. Kemudian, kembali mendatarkan wajah. "siapapun yang memiliki akses boleh masuk." Menaikkan kedua bahu asal, seolah mempertanyakan apa lelaki itu masuk secara benar atau tidak.

Sebelah alis lelaki itu terangkat. "Jadi, menurutmu, wajahku tidak tampak seperti orang yang memiliki akses?"

"Terakhir kali, aku ingat kau seorang pelayan. Sekarang kau--" Crystal menaik turunkan pandangan ke lelaki itu, lalu melempar senyum meremehkan. "Kau seperti seorang boss. Apa ini baju sewaan? Atau--"

Udara di sekitar mereka mendadak dipenuhi tawa maskulin lelaki itu. "Anggap saja aku sedang menemani boss besar mengunjungi casino-nya."

Crystal belum merespon saat seorang bartender datang, hendak menuangkan whiskey ke gelasnya-yang akhirnya dilakukan lelaki itu.

Ini yang terakhir. Janji Crystal dalam hati saat pinggiran gelas sudah di depan bibirnya. "Sepertinya boss besarmu amat sangat kaya," gumam Crystal, setelah meneguk whiskey-nya.

"Dengan bisnis bawah tanahnya, ya, dia sangat amat kaya."

"Oh, ya? Sekaya apa?" Crystal menggoyangkan gelas kacanya di depan wajah si lelaki, dengan senyum percaya diri. "Tapi aku yakin, aku bisa memberikanmu bayaran lebih banyak."

Seolah ingin membalas kalimatnya, lelaki itu menatap penuh arti sambil mengisi lagi gelas Crystal. "Sangat kaya. Mungkin lebih kaya darimu dan dari semua orang di sini. Tapi, dia lebih suka menyembunyikannya."

Tawa mengejek Crystal pecah, ketika kalimat itu mengalun rendah. Siapa yang bisa lebih kaya dari keluarga Leonidas? Lelucon apa itu?

"Oh ayolah, hanya ada dua keluarga yang sampai sekarang tidak terkalahkan." Kemudian, Crystal terdiam sejenak. Berdeham, lalu mengalihkan pandangan ke sembarang arah. Tidak berniat menjelaskan jika dia adalah salah satu anggota dari keluarga itu. Crystal kembali minum-entah sudah berapa Rock Glass yang sudah dia habiskan. Dia sudah terlalu mabuk untuk mengingat. "Tapi, jika memang perkataanmu benar, boss-mu unik juga." Crystal kembali menatap alis tebal, bibir sensual dan hidung mancung lelaki yang kini hanya berjarak beberapa inchi darinya.

Kedua sudut bibir lelaki itu melengkung dengan cara paling seksi yang pernah dilihat Crystal, membentuk senyum yang mendorong Crystal membayangkan; apa rasa bibir itu.

"Mau mengenalnya?" Tiba-tiba pertanyaan itu keluar.

Crystal memajukan tubuh, mendekat, mendaratkan telunjuknya di bibir si lelaki, lalu menyusuri bagian itu lambat-lambat. "Dibanding mengenal dia ...." Telunjuk Crystal menepuk dua kali bibir lelaki itu. "Aku lebih suka mengenal sosok ini." Crystal mengalihkan jemarinya ke wajah lelaki itu, membelai alis dan rahang kokoh si lelaki. Crystal sempat berhenti sepersekian detik, ketika penolakan tidak kunjung datang, jemari lentiknya semakin turun dengan berani, membelai leher lalu turun ke dada bidang lelaki itu. "So, siapa namamu? Kau belum memberitahuku."

Si lelaki menangkap dan menahan jemari Crystal di dadanya. "Nama asli, atau nama samaran?"

Crystal mengernyit. "Bagaimana kau bisa tahu, jika yang kuberikan padamu palsu?"

"Kau membuatku nyaris gila," sahut lelaki itu. Crystal tidak mengerti, tetapi ia tersenyum. Didera rasa kantuk yang besar, Crystal memperhatikan lelaki itu bergerak bangkit-menghalangi cahaya yang menyorot padanya. "Aku mencarimu, tapi semua gadis bernama Amber Kimberly sangat berbeda denganmu. Pada akhirnya, aku sadar kau menipuku."

"Apa kau marah?"

"Ya, aku memilih melupakanmu." Lelaki itu menyentuh punggung Crystal. "Sampai ... aku melihatmu lagi di sini. Rambut merahmu, aku langsung mengenalimu."

"Hm ... okay." Mata Crystal terpejam sebentar, lalu terbuka lagi. "Setelah kau menemukanku, apa rencanamu?"

"Semua hal yang bisa kita lakukan." Lelaki itu menjawab penuh tekad, penuh dengan janji. Crystal mendongak. Lelaki itu berdiri di depannya, lalu menundukkan kepala hingga kening mereka bersentuhan. Kedua tangan besar dan hangat si lelaki merangkum dan menarik wajah Crystal mendekat, membiarkan embusan napas mereka saling sapa.

"Contohnya?" tanya Crystal serak.

"Ini." Lelaki itu memiringkan kepala, menyapukan bibirnya ke ujung bibir Crystal. "Selanjutnya, terserah kau ... tentukan apa yang boleh dan tidak boleh aku lakukan."

Crystal tidak bisa berpikir. Sentuhan lelaki itu bagai api yang siap membakarnya. Berbahaya, tetapi tidak sanggup ditolak.

Lupakan aturan.

Lupakan Aiden....

Kini hanya ada dia, si lelaki tanpa nama, dan gairah yang menuntut untuk dipuaskan.

"Aku Crystal Princessa Leonidas," bisik Crystal sambil menjajarkan bibir mereka. "Selama hidup aku tidak pernah menyisir rambutku, atau membuka pakaianku sendiri. Pelayan yang melakukannya." Kemudian, kepalanya mendarat di bahu kiri si lelaki. "Jadi, kalau kau mau-lakukanlah sendiri. Tentukan batasanmu sendiri. Layani aku." Suara Crystal makin pelan, disusul kesadaran yang menghilang.


TO BE CONTINUED

FALLING for The BEASTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang