8. Kepingan Hati

6.9K 1.1K 95
                                    

Percaya atau tidak, pada akhirnya aku menceritakan semua pada Abi. Setelah dua jam berdiam diri di ruangan Abi, dengan satu kali Anjar masuk dan mengambil satu buku di meja—tanpa menyapaku—akhirnya aku mengucapkan semua. Semua yang kupendam. Kecuali satu, nama Anjar. Aku menyimpan kepingan harga diri terakhirku dari Abi.

Lega sudah. Meski wajahku tak jelas bagaimana bentuknya, namun aku merasa beban yang selama ini menumpuk, hilang semua.

"Setan memiliki jutaan cara untuk menggoda iman manusia. Hati adalah pintu yang paling setan sukai." Abi memulai masukannya. Sedang aku duduk menunduk si sebelah Abi. "Setan bisa saja meniupkan emosi dan kegelisahan melalui setiap detak jantung. Lalu rasa itu, bermutasi menjadi sakit hati, iri, dengki, takut, hingga benci."

Aku mendongak lalu menyandarkan kepalaku di pundak Abi. "Maaf, Abi."

"Istigfar, Putriku. Hanya dzikir dan istighfar yang mampu menenangkan hati. Itu mengapa nabi menganjurkan agar kita membersihkan hati dengan zikir setiap waktu."

Menyelesaikan isak yang tersisa, aku membersihkan wajah yang masih basah air mata. "Lalu sekarang Ken harus apa? Ken ... masih suka terbayang pria itu."

"Benahi segala niatmu saat ini. Niatkan semua karena Allah. Jika memang kamu berkeras ingin berkarya dan mengikuti kompetisi ini, niatkan untuk menebar kebaikan pada ummat. Jangankan ke Jakarta, Ken, ke belahan bumi mana pun, inshaallah Abi dukung."

"Tapi Umi enggak," sanggahku lirih dan terbata.

Abi merengkuhku hangat. Pelukan Abi selalu mampu membuatku tenang. Seakan aku memiliki tempat berlindung dan bersandar. Harusnya aku sudah melakukan ini sedari awal. Berbincang dan meminta masukan, apa yang harus kulakukan dari pada sibuk dengan ego dan gengsiku pada Anjar.

"Masa iya, Ken batalkan saja ikut kompetisinya?"

"Jangan," tolak Abi lembut. "Abi hanya minta, perbaiki niatmu melangkah meraih cita-cita. Entah sebagai komikus atau bekerja kantoran sesuai bidang kuliahmu dulu. Masalah hati, buat perisai sendiri dengan banyak bertasbih. Percayakan takdir pada pembuat hidup dan mati. Allah hanya memberikan yang terbaik untuk hamba-Nya, Nak."

"Jadi?"

"Jadi ya lanjutkan saja," perintah Abi santai. "Allah akan memberikan petunjuk, apakah kamu akan ke Jakarta atau tidak nantinya. Yang harus kamu lakukan saat ini adalah memperbaiki niatmu. Niatmu menggambar dan mengikuti kompetisi ini. Niatmu hijrah ke Jakarta dan meninggalkan wanita yang melahirkan kamu. Jika Allah berkehendak kamu berada di sana, tak akan ada yang bisa menghalangi, Ken. Abi akan mendukung kamu, selama itu baik."

Dalam beberapa hal, berdiskusi dengan sosok ayah nampaknya tepat dari pada silang pendapat dan saling menyakiti hati sesama wanita. Bukan aku berkata Umi tak layak menjadi sandaran hati. Namun untuk masalah satu ini, Abi membuatku nyaman.

"Masalah hati dan cinta, serahkan pada Allah. Dia yang menciptakan rasa pada setiap insan. Niatkan hatimu untuk ikhlas menerima kenyataan jika pria itu memang bukan milikmu. Jangan mengharapkan pria yang sudah mengkhitbah perempuan lain. Tidak baik, Ken. Berdoa dan meminta pada Allah agar dimudahkan bertemu dengan pelengkap hidupmu kelak. Minta pada Allah agar diberikan sosok yang mampu mengiringmu untuk terus melangkah di jalan Allah. Karena menikah itu, ibadah yang paling lama durasinya. Minta pasangan terbaik pada Allah, dalam setiap salatmu."

Aku pulang setelah menemani Abi makan siang. Kami membeli tahu petis kesukaanku dan tahu campur. Tadinya Abi mengajak makan di luar bersama Anjar, namun aku menolak. Untungnya Abi tak memaksa dan memperpanjang masalah batinku.

Dalam sujudku di sepertiga malam, aku melantunkan dzikir dan tasbih pada Allah. Memohon ampun atas khilafku yang tak mau menerima takdirnya jika memang aku dan Anjar tak digariskan bersama. Aku harus ikhlas menerima kenyataan. Apapun qada da qadar yang dituliskan.

Potret Sanubari ( Complete )Where stories live. Discover now