7 Munajat Cinta

5.1K 1.2K 87
                                    

Gradasi dan komposisi warna dalam delapan episode Lala dan Lili, terlihat indah. Seindah hidup mereka misal benar nyatanya adanya. Dua episode lagi, lalu aku siap mengirimkan hasil karyaku dalam kompetisi ini.

Senyumku terbit saat memilih font untuk untuk judul setiap episode mereka.

Lala dan Lili memasak tempe kacang, Lala dan Lili memetik apel bersama teman-teman, Lala dan Lili membuat sari apel untuk Nenek, Lala dan Lili merawat teman yang sakit, Lala dan Lili bershalawat. Lala dan Lili bersama ustadz Anj—oh, bukan. Aku menghapus apa yang kuketik dan mengganti judulnya. Lala dan Lili berdoa untuk orang tua—bersama Mas Anjar.

Aku menghela napas lelah. Bayang seorang Anjar sungguh sulit kulepas. Bahkan untuk hal yang sebenarnya, tak memiliki kaitan dengan pria itu.

Kursor komputerku bahkan memilih warna coklat krem dan mengaplikasikan warna itu di baju tokoh ustadz yang kugambarkan persis seperti Anjar. Kurang gila apa aku karena cinta? Mungkin, ini yang bisa disebut dengan azab. Ketika aku selalu menghina Abi dan para budak cinta lainnya, kini Allah memberikanku ujian yang membuatku tampak lebih mengenaskan dari pengemis cinta.

Allah ... Allah. Engkau pemilik seluruh alam semesta. Yang Maha Mengetahui segala hal di alam ini, hingga yang terkecil dan tak kasat mata. Hanya Engkau pemilik kehidupan hingga keajaiban.

Senyumku getir selama menyelesaikan warna sosok ustadz. Ustadz terlihat tampan dan berwibawa. Wajahnya tegas namun teduh jika tersenyum pada anak-anak. Anjar mungkin bukan pria sempurna seperti yang tergambar dalam webtoon, apalagi drama korea. Dia terlampau sederhana, jika kubandingkan dengan pria metroseksual. Tapi memang Anjar bukan tipikal pria seperti itu, sih. Dia berbusana secukupnya. Kaus kerah jika ke kebun, batik lengan pendek dan kadang panjang saat menghadiri undangan, koko untuk acara keagamaan dan rutinitasnya di masjid.

Wajahnya juga tak terlalu rupawan. Biasa saja. Namun kharisma dan wibawa yang terpancar dari wajahnya, membuat hatiku meronta meneriakkan namanya. Meminta pada Sang Pencipta untuk menciptakan takdir baik pada kami.

Dering ponsel memecah lamunanku terhadap Anjar, malam ini. Abiya menghubungi.

"Opo, Bi?"

"Tau gak, Ken? Aku tadi kedatangan siapa di bank?" Abiya terdengar berapi-api dari tempatnya menghubungiku.

Aku menyernyit sesaat sebelum menjawab, "Nasabah."

"Goblik! Yo pasti nasabah, Ndel!" Abiya terkadang kurang pandai menyimpan emosi. "Tebak aku ketemu siapa tadi di bank?" 


"Yo gak tau, Biya!" balasku tak kalah gemas. Dia pikir kepalaku hanya berisi jutaan tebakan tentang siapa yang menemui Biya hari ini?

Berdecak pasrah, Abiya bersuara dari seberang sana. "Erina. Aku tadi melayani Erina di bank."

"Ha? Dia kapan pulang dari Surabaya?"

"Pagi tadi, katanya. Masalahnya, bukan itu yang mau kubahas. Mau Erina sampe sini kapan, kek, bodo amat."

"Terus, kenapa kamu repot-repot laporan ke aku, Biya? Aku yo bodo amat dia mau balik ke sini kapan."

Dengkusan kasar terdengar. Abiya pasti sedang menahan satu rasa terhadap Erina saat ini. Namun aku tak tahu apa. "Erina ... setor uang puluhan juta, tadi. Dia bilang mau menikah dan merubah hidup menjadi bahagia dunia akhirat."

Kupingku terasa berdenging kencang dan panjang. Aku berharap tuli pada bagian ini. Namun agaknya, suara Abiya menyadarkanku bahwa Erinalah yang sepertinya akan Anjar nikahi sesaat lagi.

"Aku kok kesel ya, Ken," keluh Abiya lirih. "Keduluan Erina, aku. Dia bilang, dia mendului kita menikah karena dia cantik dan menarik. Dia bilang, dia juga berubah menjadi Crazy Rich Surabayan di tempat kerjanya sana. Dia kerja opo, sih, Ken? Sampe menyebut dirinya gila."

Potret Sanubari ( Complete )Où les histoires vivent. Découvrez maintenant