6. Curahan Hati

5.2K 1.2K 176
                                    

"Dari pada ngelamun, mending kameramu itu diproduktifkan dengan memotret aku, Ken."

Aku mencebik seraya menatap pada Sasmita yang menghampiriku di rumah yatim siang ini. Pemilik toko oleh-oleh khas Batu itu, membawa satu plastik yang kutebak berisi keripik.

"Gratis. Gak bayar. Ta bawain kripik gadung kesukaan kamu." Benar dugaanku. Sasmita menyusul duduk di pelataran rumah teduh ini, tepat di sebelahku yang sejak tadi melamun sendiri. "Gimana progress komiknya?"

"Tedi Handoko. 36 tahun. Manager di tempat wisata."

Aku menoleh pada Sasmita dan mendapati keningnya menyernyit dengan wajah penuh tanya. Benaknya pasti menerka atau bahkan tak paham tentang apa yang kubicarakan. Menghela napas lelah yang sangat lelah, aku mengambil bungkus kripik gadung asin kesukaanku dan membukanya. Bunyi kres kres kres serta gurih dan kriuk keripik ini, kuharap mampu memecah penat kepalaku yang sejak tadi menyiksa.

"Sopo Tedi, Ken?"

Nanti saja menjawab pertanyaan itu. Aku tak mau melewati setiap sensasi unik keripik gadung ini.

"Kenesia! Sopo Om Tedi iku?"

"Calon bojo," jawabku asal seraya mengunyah kenikmatan ini.

"Edan!" Sasmita mengumpat tak percaya. "Bojo dari Hongkong!"

Aku memejamkan mata dan terus mencoba hanyut dalam setiap gigitan lembaran gadung ini. "Dari Blitar, Sas. Wong Blitar, dia."

"Kamu ngomong apa sih, Ken?"

Aku membuka mata dan tersadar bahwa keripik gadung tak akan mampu membawaku lari dari kenyataan. Kenyataan bahwa sudah dua mingguan, Umi terus menerus memberikan lembaran CV calon menantu idaman versi Umi. Yang terbaru, si Tedi ini.

Menoleh pada Sasmita yang memicing penuh tanda tanya, aku menghela napas dan ... sudah sepatutnya berbagi cerita agar semua terasa ringan, bukan? "Umi lagi cari jodoh untukku," mulaiku dan Sasmita langsung membeliak tak percaya. "Yang lebih tua dariku, bahkan jauh lebih tua. Sudah sekitar ... 6 orang. Tedi ini yang terbaru."

"Diamput! Serius, koen?" Sasmita mengambil bungkus keripik tempe rasa barbeque, membukanya, lalu mulai menikmati dengan posisi siap mendengar drama murahan Siti Sanubari. "Kok bisa, Ken, Umi carikan kamu jodoh tiba-tiba?"

"Gara-gara Carnesya," tuduhku.

Satu alis Sasmita terangkat. "Apa hubungannya?"

"Gak ada, sih," ralatku lagi. "Umi masih berkeras menahanku pergi ke Jakarta."

"Alasannya? Masih sama dengan yang dulu itu?"

Aku mengangguk. Berurusan dengan trauma Umi memang sulit.

"Kamu inget gak, Ken, pas kita baru masuk SMA. Waktu kakekmu meninggal dan kamu cuma bisa diam di depan jenazah almarhum bersama Arman."

Aku mengangguk. Momen saat itu, tak akan pernah kulupakan seumur hidup. Dimana saat kakekku—ayah dari Umi—meninggal. Hanya aku dan Arman yang menemui para pelayat dan menerima ucapan bela sungkawa mereka.

Umi dan Abi hanya bisa pasrah menangis dan mengaji melalui sambungan vidio call dari Jeddah sana. Aku yang linglung, hanya menggenggam telepon selular dan mengarahkan kamera pada wajah kakek sesekali. Jika ada pelayat yang datang, ponsel kuletakkan di samping kakek dan menyalami para tamu duka.

"Umi gak mau mengulang kejadian seperti itu," ucapku kelu. "Aku ingat betul bagaimana terpukulnya Umi saat datang dari haji dan langsung menuju makam kakek. Umi menyesal hingga relung sanubarinya. Menangis setiap malam dengan lantunan doa. Memohon ampun pada Allah karena tak bisa berada di sisi kakek untuk terakhir kalinya. Tak bisa menjadi putri tunggal yang berbakti mengurus satu-satunya orang tua yang tengah sakit keras saat itu."

Potret Sanubari ( Complete )Where stories live. Discover now