"Gila gimana?"

"Lha tadi itu, Crazy Bitch Surabayan!"

"Gak tahu," jawabku lemas. "Aku gak peduli, sih, sama hidup anak itu," hiburku ditengah hati yang terasa anval sedikit demi sedikit. "Kamu tanya gak, siapa calon suaminya?" Tindakanku ini masokis. Tapi aku juga mau tahu, agar jika ajal hatiku datang, aku sudah siap.

"Gak tahu. Dia cuma bilang mau menikah sama pria idamannya sejak remaja. Mau sultan bentuk apa, kek, mbuh! Ra ngurus aku."

"Ya kalau gitu, gak usah bahas Erina," sanggahku dengan suara yang mulai parau. Aku beristighfar dalam hati. Berharap kekuatan maha besar dari Allah untuk tetap bertahan menghadapi akhir cerita yang mengenaskan. "Oya, Sasmita ada cerita ke kamu gak?"

"Enggak. Soal apa?"

Aku menggeleng dan sedikit lega. Baguslah Sasmita belum membocorkan tentang pertemuan kami dan bagaimana malunya aku saat pulang dari rumah yatim. "Dia kasih aku keripik gadung kemarin. Samperin aku ke rumah yatim terus kita ngobrolin kompetisi komikku ini." Lalu aku melanjutkan karangan dusta pada Abiya.

Kami menyudahi sambungan saat Abiya sudah selesai mengeluarkan unek-uneknya tentang pria yang tak kunjung melamar temanku satu ini. Padahal, katanya pria itu sudah diangkat menjadi ASN petugas kelurahan. Itu yang ternyata membuat Abiya sedikit gerah mendapati Erina akan menikah duluan.

Berbeda dengan aku yang bukan lagi gerah, tapi lebih ke terbakar dan hangus tanpa sisa. Jika tadi Abiya berkata Erina akan menikahi pria idamannya sejak remaja, itu pasti Ahmad Ginanjar. Tak lain dan tak bukan.

Kalau sudah begini, apa lagi yang bisa kulakukan selain pasrah, ikhlas, dan berserah pada sang Maha Memiliki alam semesta? Aku hanya bisa menangis dalam sunyi lalu mengambil wudhu dan bermunajat.

Air mataku meleleh dalam sujud pada Ilahi. Isak tangis akibat tamparan hati ini membuatku kalut dan bingung harus bagaimana. Sasmita benar jika aku harus mengutamakan restu dan ridha Umi juga Abi. Namun aku tak tahu harus bagaimana lagi untuk melindungi perasaanku pada Anjar saat ini. Hanya menangis dan mengadukan semua sakit yang kurasa pada Sang Pemilik Hati. Aku berharap, ini benar sebuah ujian iman. Dimana aku akan percaya sepenuhnya pada kehendak Allah atas siapapun yang kan menjadi penyempurna agama.

Allahuakbar ... Allahuakbar.

Bahkan setiap mendengar suara adzannya, hatiku bergetar dengan desir rindu. Aku tahu ini salah. Itu sebabnya aku selalu bergegas mengambil wudhu dan berzikir pada Allah memohon ampun. Mengucap istighfar sebanyak mungkin dan meminta dengan sungguh-sungguh agar aku diberi kekuatan menerima takdir Allah, jika memang harus begini akhirnya.

Umi memicing curiga padaku. Mataku bengkak dan aku berkata tidak akan ke rumah yatim hari ini. Saat Umi bertanya mengapa, aku hanya menjawab lelah karena begadang marathon menyelesaikan delapan episode Lala dan Lili. Aku tak bohong sepenuhnya. Karena meski sambil menangis dan terisak lirih, aku terus menyempurnakan setiap gambar tokoh ustadz. Hanya tokoh ustadz.

Saat ustadz menegur Lala yang tak sengaja meminjam barang tanpa minta izin, saat ustadz memimpin doa makan sebelum menikmati tempe kacang, saat ustadz berkata pentingnya menjenguk dan merawat teman yang sakit hingga saat ustadz berkata kita harus mendoakan orang tua kita, baik yang masih ada atau sudah pergi.

"Tedi gimana?" Umi mulai membahas hal yang selalu berhasil merusak mood pagiku. Oh, bukan. Moodku seharian penuh.

"Terlalu tua, Umi," tolakku santai seraya memilah pakaian yang baru disetrika bibik.

Umi berdecak gemas. "Kamu sendiri yang bilang suka sama pria lebih dewasa. Umi carikan, gak ada yang cocok juga. Umi heran."

"Pilihan Umi semuanya tua, bukan dewasa."

Potret Sanubari ( Complete )Where stories live. Discover now