Part 11 || Tutup Mulutmu Lena

Mulai dari awal
                                    

Tubuhnya yang dilapisi celana kain dan kemeja biru langit menegang merasakan keringat dingin menyerang, wajahnya pucat pasih seakan darahnya telah disedot, matanya menyorot resah menunggu apa yang mamanya lakukan padanya, karena berkali-kali mengindahkan titahnya untuk tidak berhubungan dengan Nana.

"Punya mulut, kan?" sentak Larissa mendekati putranya. "Jawab!"

Leon tersentak menyeka keringat di kening, rasanya sebentar lagi ia akan masuk rumah sakit karena panas dingin.

Leon menggeleng, mamanya sudah tahu, ia tidak sanggup mengatakan pelanggarannya. Dengat berat hati Leon menunduk menerima kemarahan mamanya. Leon salah, harusnya ia patuh saat mamanya meminta putus dengan Nana, tapi apa boleh buat saat godaan Nana begitu kuat seakan memporak-porandakan imannya, lagi pula ini juga salah papanya, kenapa memberitahu mamanya?

"Kamu benar-benar tega, Leon!" lirih Larissa sedih.

Wajahnya yang memiliki beberapa garis keriput terlihat sendu. "Sudah berapa kali Mama bilang sama kamu, berkali-kali tapi kamu tetap nggak dengerin Mama. Mama tuh capek Leon! Mama sedih kamu terus kayak gini! Kapan kamu bisa ngertiin Mama, sih?" Larissa mendongak menatap putranya tak habis pikir.

"Tante udah. Kak Leon khilaf." Jessie mengelus punggung Larissa menenangkan, seraya menatap Leon yang memucat.

Jessie kasihan tapi tidak bisa berbuat apa-apa. Seandainya Larissa tidak tahu kalau selama ini Jessie ada di Jakarta mungkin Jessie bisa saja mengatakan jika Leon ke Bali bersamanya.

"Jangan bela dia terus Jess!" Jessie terjungkit mengangkat tangan menyerah, terserah kalau Larissa mengomeli Leon toh dia putranya sendiri.

"Kamu!" tunjuk Larissa. Leon terlonjak, terbelalak melihat telunjuk mamanya di depan wajahnya.

Glek!

Rasanya di dalam tenggorakan Leon ada ranjau mematikan, untuk menelan saliva saja rasanya ia berada diambang kematian. Keringatnya lagi-lagi bercucuran, kali ini lebih deras lagi ke leher bahkan ada yang jatuh ke lantai.

Larissa mendesis memandang tajam pada putranya. "Teganya liburan nggak ngajak Mama, di mana hati nuranimu, Leon?!" sentaknya berbalik meninggalkan putranya sambil menggandeng Jessie.

Leon mengerjap polos, otak encernya mencerna kalimat terakhir mamanya. Ini mamanya marah karena Leon tidak mengajaknya liburan bukan karena Leon liburan bersama Nana?

Leon melengos menatap punggung mamanya dan Jessie yang menghilang. Dengkusan kasar terdengar, rasanya Leon benar-benar ingin menghancur bumi beserta isinya, rasanya ia dipermainkan oleh mamanya.

Kalau tahu begini, Leon tidak perlu merasa bersalah sampai harus menunduk seperti bocah lima tahun di depan mamanya.

"Tch, hampir aja ngompol di celana," dumelnya mengikuti keduanya.

****

Selesai memeriksa beberapa dokumen Saka beranjak dari kursinya. Membuka jas putihnya dan melampirkan pada gantungan di belakang kursi. Jari panjang dan kokohnya meraih ponsel dan kunci mobil di laci lalu keluar dari ruangannya berpapasan dengan Kanza.

"Dok ini daft---"

"Taruh saja di meja!" selanya melewati Kanza yang melengos, "Besok saya periksa," lanjutnya melambaikan tangan tanpa berbalik.

Kanza mengerucutkan bibir menatap punggung Saka bergantian dengan dokumen di tangannya. Kanza ingin melempar dokumen itu ke arah Saka, namun sayang ia tidak punya keberanian melakukannya.

Lima menit yang lalu Saka meminta dokumen itu bahkan Kanza harus memelas pada staff untuk membawanya. Dan sekarang dokter itu pulang begitu saja tanpa melirik hasil usahanya? Huh? Kanza berbalik emosi, meraih cokelat dari sakunya. Membuka kemasannya lalu memakan penuh nafsu, seakan cokelat itu adalah dokter Saka yang menyebalkan.

SHOW ME (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang