corat coret 7

46 46 0
                                    

Sinar matahari pagi masuk melalui celah gordren pink muda kamar Alice. Perlahan dia duduk menguap lalu segera bangkit mengusir rasa kantuk. Dia memang pulang terlalu larut, beruntung ayahnya yang membukakannya pintu. Biasanya dia akan menginap di rumah Karin, orang tuanya percaya ketika menyebut nama Karin pergi dengannya. Alice juga merasa nyaman disana. Tapi sekarang tidak lagi, ada seseorang yang selalu terang-terangan mencuri perhatianya.

Dia segera beranjak mandi dan siap melaksanakan siasatnya. Mengambil hati ibu nya dulu baru meminta restu untuk meraih cita-cita ternyata ada benarnya. Seminggu telah berlalu tak ada kehangatan.

Mama akan ku taklukan kamu dengan tulisanku seperti kutaklukan pembaca dengan rentetan cerita.

"Pagi maaa...." Sapa Alice memasuki rumah bagian depan yang digunakan mama nya untuk berjualan baju.

"Pagi... sudah sarapan?"

Alice mengangguk. Dia memang telah menyantap nasi goreng yang dibuat oleh mamanya.

"Ada yang bisa Alice bantu ma?" Alice memang berlagak tidak terjadi apa-apa. Dia mendengarkan pendapat sahabatnya bahwa saat ini tidaklah tepat untuk berdebat.

"Sekarang kamu baru ada waktu?" ucap mamanya setengah menyindir.

"Ayolah ma... ini hari minggu." Ucap Alice berusaha tidak terpancing dengan sindiran mamanya.

"Semalem pulang malem? Nggak jadi nginep tempat Karin?"

"Enggak." Alice menggeleng. "udah deh ma introgasinya... mama mau di bantuin nggak sih?"

Brukk.... Sebuah patung yang hendak di pasangkan baju terjatuh, bagian lengannya patah.

"Ah yaaaa.... Tolong taruh patung ini digudang." Perintah Hannah.
Dengan cekatan Alice membopong patung buntung tersebut.

"Alice..." Panggilan Hannah mengentikan langkah kaki putrinya.

"Mama anggap kamu setuju untuk melupakan cita-cita mu yang satu itu."

Alice tak menjawab hatinya terasa ngilu. Mamanya tak pernah menentang apapun. Tak pernah menentang kelayapan ataupun pacaran. Dia percaya putrinya bisa menjaga dirinya sendiri. Tapi kali ini ia menentang cita-cita yang tak tau apa alasannya.

Disebuah sepetak ruangan yang berisi beragam barang. Alice memang belum pernah masuk keruangan itu sebelumnya. Dia merasa takjub untuk ukuran gudang tidak terlalu kotor. Mamanya memang mempunyai kebiasaan unik beberes bila sedang ada yang dipikirkan.

"Aku taruh sebelah mana ya?" Alice bergumam sendiri. "wahh... cantiknya...." Pujinya pada pajangan keramik berbentuk angsa berwarna emas. Lalu disebelahnya ada pajangan keramik berbentuk ikan yang sayangnya terlihat bekas tambalannya. Alice tersenyum teringat beberapa tahun lalu saat masih SD dia yang tak sengaja memecahkannya. Mungkin itu alasan kenapa disimpan di gudang. Karena sampai saat ini Alice selalu tak sengaja menyenggol apapun. Alice tersenyum mengingat semalem dia hampir menjatuhkan tongkat sihir saat akan membeli sovenir di Diagon alley. Tapi dengan sigap Malik menangkap tongkat sihir buatan yang nyaris jatuh ke lantai.

Ssssssssss terdengar suara lirih yang tak bisa dijelaskan, Alice bergidik. Dan saat berjalan ingin keluar ruangan. Sebuah benda terasa mengganjal di telapak kakinya.
"Ah? Apa ini?" Alice memungut benda kecil panjang menyerupai pencil, selembar kertas melayang mendarat didepan kaki. "kenapa ada pensil disini?" Alice bingung sendiri. Tapi tiba-tiba ada sebuah dorongan dari dasar hati, untuk menulis apa yang ada dalam lubuk hatinya.

Alice: Mama maafin Alice ma, ijinin Alice jadi seorang penulis ma.
Mama: iya Mama maafin, Mama ijinin.

Alice tersenyum setelah membaca harapannya sendiri.

"Alice.... Ada yang nyari" Teriak mamanya.

"Iya ma." Sahut Alice lalu melipat kertas dan memasukan ke kantung celana nya beserta pensilnya.

Dia bertanya-tanya siapa yang akan mencarinya. Dia Cuma mempunyai satu teman dekat yaitu Karin. Dan jangan-jangan...... Alice membatin dan saat ingin menghindar telah terlambat. Radit telah duduk di ruang tamu dihadapannya.

Mamanya tak ada disitu, sepertinya sibuk dengan palanggannya.
Alice berjalan dengan langkah malas,

"Ada apa? Kenapa nggak telpon aja?"

"Kenapa telponku nggak dibalas?" tanya Radit dengan kilat mata marahnya.

"Kau lihat? Aku tak membawa phonsel," Alice menunjukan tangan kosongnya. "ada dikamar.".

Radit kini menarik tangannya, membuat Alice duduk di sofa dan menghimpitnya. "Aku penasaran, apa yang kamu lakukan saat tidak bisa kuhubungi tapi bersama cowok lain?"
Alice mengingat-ingat, bagaimana cara Radit tau.

"Kamu bahkan berani upload di akun medsos kamu?" geram Radit.

"Nggak seperti yang kamu pikirkan."

"Memangnya apa yang aku pikirkan?"

"Kau pasti berpikir. pacar ku selingkuh dari ku bukan?"

"Kalau kau tidak selingkuh kenapa kau disana bersama dia?"

"Hellow Radit... bukan Cuma ada aku dan dia disana, aku pergi dengan Karin dan tidak sengaja bertemu dengannya." Alice mendorong tubuh pacarnya. Dan berhasil karena Radit mulai melemah.

"Kenapa kamu tidak mengajakku berjalan-jalan ke Jakarta? Aku akan menemanimu."

"Karena kau tidak suka. Karena kau hanya suka aku saja, tapi tidak dengan dunia yang aku suka bukan?"

Pliss baca tinggalkan jejak dengan vote dan comen.

Alice And Magic Pencils [On Going]Where stories live. Discover now