corat coret 4

55 50 7
                                    


Alice tak mau larut dalam kesedihannya. Berdiam diri dirumah malah membuat dia semakin merasa bersalah. Bagaimana bisa dia menatap mamanya? Dia ingin marah dan rasa bersalah yang bersamaan. Alasan macam apa yang dimiliki mamanya hingga sampai hilang akal?

"Eh beb udah masuk?" sapa Radit menyamai langkah Alice yang berjalan di koridor sekolah.

"Iyalah. Lagian mau ngapain juga dirumah?" jawab Alice.

"Aku dengar. Rumah kamu kebakaran? Maaf tak ada disana."

"Its oke dit. Lagian aku serumah juga nggak kenapa-napa kok."

"Syukurlah." Ucap Radit. "Tapi bagaimana bisa kebakaran?"

"Itu...." Alice memutar bola matanya, "Terjadi begitu saja." Alice memutuskan menunda bercerita penyebabnya. Dia menimbang ragu, ingin menanyakan sesuatu, "Bagaimana menurutmu tentang penulis?"

"Penulis? Kenapa tanya itu?" Radit masih melangkahkan kakinya.
Alice memengang tangannya dan berhenti, Radit otomatis ikut berhenti membalas tatapan kekasihnya yang menuntut jawaban.

"Bagaimana pendapatmu tentang penulis?"

"Penulis apa nih? Penulis fiksi?" Radit membuat Alice mengangguk. "omong kosong, pembohong. Menjual kebahagian dan kesedihan." Jawab Radit kali ini dengan nada kebencian.

"Apa?" Alice terhenyak. "Itu pendapatmu?"

Radit mengangguk. Alice pergi berjalan dengan cepat.

"Hey apa yang salah? Penulis sendiri selalu menulis cerita ini hanya fiktif belaka." Ucap radit kebingungan saat ditinggal sendiri. Dia berlari mengejar Alice tapi bel masuk berbunyi. Dia harus melupakan mengejar kekasihnya karena berbeda kelas.
@_@

Alice masih kesal sendiri mengingat jawaban pendapat Radit. Dia tak konsen membaca bukunya. Dia duduk diberanda sekolah dengan sebuah buku ditangannya.

"Kenapa harus peduli dengan pendapat orang?" suara khas menyebalkan itu terdengar dekat saat Malik duduk disebelah Alice.

"Bagaimana kamu tau?" Alice terheran. "Kamu membuntuti ku sepanjang waktu?"

"Aku tidak membuntutimu. Kamu yang selalu melintas dimana aku berada."

"Aku katamu?" Alice tak terima Malik pandai memutar fakta. "Siapa yang tiba-tiba ada memotretku di alun-alun kota? Siapa yang tiba-tiba ada di perpustakaan? dan aku masuk sekolah lebih dulu. Lalu rumah? Kenapa kamu kerumahku?" tanya Alice penuh bukti.

"Jadi kau tau aku kerumahmu? Dalam keadaan pingsan pun kamu tau. Hebat" Malik terkekeh, Alice tak suka.

"Jadi masih mengelak kau tidak membuntutiku?"

"Membuntuti?" Malik masih tak terima tuduhan untuknya. "Pertama, kamu ada disaat aku mengambil gambar itu salahmu menarik perhatianku."

"Wah... hebat! salahku juga sekolah lebih dahulu disini?" tanyanya retoris. "Rumah? Salah ku juga ada dirumahku? Kau yakin tidak membuntuti ku."

"Iyah salah mu melintas dipikiranku. Karin menyebut namamu." Malik berkata jujur.

"Arghhhhhhh.... Okey salah ku juga ada disini. Aku pergi." Ucap Alice dia langsung berdiri, menghentikan buku bacaannya ke bangku.

"Tunggu." Malik menghentikan langkah Alice, lancang memegang pergelangan tangannya. Dihempasnya jauh oleh pemiliknya. "Tentang ibumu...suatu saat dia akan mengerti."

Alice mencerna ucapan Malik. "Jadi sedari tadi orang yang kamu maksud adalah Ibuku?"

"Iyah. Siapa lagi? Aku melihat ibumu membakar buku-buku bacaanmu."

"Owh." Alice manggut-manggut.

"Memangnya siapa lagi yang menentang mu?"

Alice And Magic Pencils [On Going]Where stories live. Discover now