Chapter 23 • Bermain dengan Api

Start from the beginning
                                        

Noah tidak bisa menahannya lagi. Kali ini lelaki itu yang menuntun Senja, menggerakkan langkah mereka kembali. Sementara berjalan, Noah terus menatap Senja—menatap perempuan itu dengan lekat.

Akhirnya mereka berhenti di perpustakaan. Kelasnya sudah berakhir, jadi Noah bisa dengan leluasa berbicara dengan perempuan itu. Tunggu, sejak kapan juga Noah peduli dengan kehidupan perkuliahannya? Haha, Noah sudah gila untuk sesaat.

Mencari tempat kosong dan tersembunyi dari jangkauan manusia-manusia, Noah akhirnya mendapatkan tempat yang cocok. Tangannya mendorong pelan pundak Senja untuk duduk. Kemudian Noah mengitari meja dan duduk di samping perempuan itu. Sementara di hadapan mereka terdapat dua bangku kosong.

Noah menghembuskan napasnya pelan. Ia melepaskan tasnya kemudian kembali menatap Senja yang saat ini tidak kunjung membuka suaranya. Rasanya aneh melihat Senja yang diam seperti ini. Senja yang redup, Senja yang tidak bersemangat, dan Senja yang pendiam.

Saat sedang memikirkan apa yang membuat perempuan itu menjadi diam seperti ini, Noah akhirnya menemukan kata kuncinya. Belajar! Tadi perempuan itu sempat mengucapkan kata belajar. Apa karena nilai? Karena itu Senja merasa down? Sebenarnya Noah tahu sejak dulu Senja adalah murid pintar. Yah, untuk seseorang yang tidak bisa melihat, Senja tergolong mahasiswa yang pintar.

Bahkan Noah yakin perempuan itu mendapat beasiswa. Tunggu ... beasiswa. Beasiswa? Itukah? Itukah yang menjadi kekhawatiran perempuan itu sedari tadi? Sebodoh-bodohnya Noah, ia tahu bahwa penurunan nilai atau IPK kita dapat mempengaruhi kemungkinan seorang mahasiswa mendapatkan beasiswa. Terutama saat kondisi ekonomi mahasiswa tersebut tidak baik. Itu bisa menjadi bencana terbesar bagi orang tersebut.

Kondisi itu sangat cocok dengan Senja.

Seketika Noah mengerti kegusaran Senja sedari tadi. Noah tahu kini Senja sedang takut dan cemas bahwa beasiswanya dicabut. Menghembuskan napas pendek, Noah meraih wajah perempuan itu—mengarahkannya agar tatapan mereka bertemu. Kini kedua maniknya saling berpapasan, Noah langsung mendapati kecemasan di kedua mata perempuan itu.

"Gue bantu. Ayo kita belajar. Minta tolong apa pun itu, I'll help you. Cowok sialan itu suruh lo apa, hm?" tanya Noah dengan manik yang menelusuri dalam sepasang mata Senja.

(Gue akan bantu)

Mata perempuan itu membulat, kaget. Salah, sangat kaget. Senja tidak tahu bahwa Noah bisa mendeteksi kegusarannya sedari tadi. Apakah lelaki itu punya indra keenam? Apakah Noah bisa membaca pikiran seseorang? Sudah keberapa kalinya Noah membaca pikirannya.

"E—eh, Kok Noah bisa tahu?"

Noah mendengus kasar. Entah mengapa Noah sedikit kesal dengan kelambanan perempuan itu. Perempuan itu menganggapnya sebodoh apa, sih? Apa karena Noah jarang masuk kelas jadi Senja bisa bebas menganggapnya bodoh dan lamban? Ck, bikin kesal saja.

"Gue ini pacar lo, bodoh. Jangan anggap gue nggak ada dalam hidup lo," tukas Noah sambil menyentil pelan kening perempuan di sampingnya itu. "Gue nggak suka itu."

Senja tersenyum kecil mendengar itu. Pacar pura-pura tepatnya. Setelah kontrak mereka berakhir, apakah mereka bahkan akan tetap berhubungan? Senja ragu. Apalagi dengan kondisinya seperti ini. Sangat sedikit orang yang tetap mau berada di sisinya dan menerima kondisinya.

Mencoba mengalihkan perasaan pahit itu, Senja memutuskan untuk mengikuti ucapan Noah. Ia harus belajar. Besok Senja akan presentasi, nilainya akan sangat berharga baginya untuk meraih beasiswa. Terutama saat banyak orang lain yang juga ingin mendapatkan beasiswa.

𝐌𝐞 𝐀𝐅𝐓𝐄𝐑 𝐘𝐨𝐮Where stories live. Discover now