Menghembuskan napas kasar, tatapan Noah teralihkan ke Senja. "Lo nggak pa-pa?"
Senja mengangguk. "Aku baik-baik aja ...."
Salah satu alis Noah terangkat tinggi mendengar itu. Baru saja ingin membantah, suara milik perempuan itu lebih dulu menyelanya. "Kamu kenapa ada di sini? Bukannya gedung kita beda, ya?"
Noah menyipitkan mata tajam mendengar itu. "Terserah gue lah mau ke mana! Mau gue ke langit, laut, pulau, bukan urusan lo ya, Kungkang," tukas Noah dengan dingin
Hembusan napas keluar dari bibirnya. Senja mengangguk pasrah mendengar itu, namun tetap saja sebuah bilur-bilur kekesalan mengganjal di hatinya. "Tapi ... kamu nggak perlu bela aku kayak tadi, Noah," keluh Senja dengan senyum pahit dan menambahkan, "aku yang salah. Harusnya kamu yang marahin aku, bukan dia."
"Gue nggak peduli siapa yang salah," balas Noah langsung, "yang gue permasalahin sikap Si Sialan itu. Sehebat apa dia sampai ngatain lo manusia nggak becus? Dia emangnya Tuhan? Nggak, 'kan?!" sentak lelaki itu tak terkendali. Saking besarnya suara yang Noah keluarkan, orang-orang yang ketebetulan sedang berada di sekitar mereka sontak menoleh. "Lo juga aneh! Kenapa diem aja?! Bales dong!" bentak Noah sekali lagi.
Bahkan Senja yang tidak bisa melihat saja serasa ditusuk oleh banyak pasang mata karena suara besar Noah barusan. Dengan cepat perempuan itu menarik lengan Noah dan menggerakkan tongkatnya dengan pelan dan hati-hati. Lebih baik mereka berbicara sembari berjalan agar tidak begitu menarik perhatian orang-orang.
Entah ke mana mereka beranjak, Senja sejujurnya tidak peduli. Ia hanya ingin mencari ketenangan. Sedari tadi—sedari tadi pikirannya kacau. Perkataan itu menghantuinya. Senja cemas. Cemas, terlalu cemas. Keresahan, ketakutan, kemarahan, semuanya mengendalikan dirinya dengan tak masuk akal. Semua emosi itu tertuju padanya.
"Kalau lo terus-terusan malas kayak gini, gue bisa rebut beasiswa lo kapan aja, Senja."
Beasiswa!
Seketika rasa panik mengendalikannya. Genggaman tangan Senja pada Noah lepas. Perempuan itu terbeku untuk beberapa detik dengan mata yang membulat panik. Belajar, Senja harus belajar. Jika tidak beasiswanya akan dicabut, lalu semuanya berakhir.
Dengan kondisinya seperti ini, Senja tidak akan bisa memenuhi kebutuhannya hanya dengan pekerjaan ayahnya, dan bahkan neneknya. Ia bisa berhenti kuliah jika beasiswanya dicabut. Masa depannya akan hancur. Kehilangan mata dan pendidikan, semuanya adalah jalan buntu bagi Senja.
Tangan perempuan itu mulai bergerak panik. "A—aku harus belajar! Maaf Noah, aku harus pergi. Ka—kalau nggak aku—"
"Woi! Tenang," potong Noah. "Ada apa?"
Senja hanya diam.
"Ja?"
Tatapan perempuan itu jatuh ke bawah, membuat Noah tidak bisa melihat ekspresi yang ditampilkannya dengan jelas. Diamnya Senja tentu membuat Noah sangat bingung. Namun Noah tahu hal ini berhubungan dengan kejadian tadi. Lelaki sialan itu pasti membentak perempuan ini dengan macam-macam kata yang tidak enak.
"Aku harus gimana sekarang ...?" gumam Senja sembari menahan nada bergetarnya. Suara perempuan itu pelan, namun ajaibnya Noah bisa mendengarnya meskipun koridor yang mereka lewati cukup ramai.
YOU ARE READING
𝐌𝐞 𝐀𝐅𝐓𝐄𝐑 𝐘𝐨𝐮
Romance[WAJIB FOLLOW DULU SEBELUM MEMBACAA] SEGERA DIREVISI Start Revisi : SOON #7 Romance : 15 April 2022 #8 Romantic : 23 April 2022 #5 Senja : 16 April 2022 #1 fall : 22 April 2022 WARNING ⚠️ Cerita ini akan membuatmu sadar ada banyak cerita UNDERRATE...
Chapter 23 • Bermain dengan Api
Start from the beginning
