Ril, Ivy, dan Nea adalah "Tiga Abjad" yang semesta satukan sehabis badai luka. Perihal mereka yang tak diberi izin, selalu mengubur luka batin, dan hilang yakin.
Kala kodrat memberi sosok Gema, mereka kerap mengira, bahwa Gema adalah tegur dari sem...
RANGGEMA pernah mengejar tujuan dengan amat keterlaluan, hingga membuatnya tersungkur teruk di kenyataan. Angan-angannya hancur berserakan. Baginya, rahasia yang sudah dia bangun tahunan tidak layak lagi untuk dibicarakan.
Seketika rasa bersalah singgah. Ranggema, dia telah masuk ke dalam celah yang sudah Yiril, Ivy, dan Nea tutup susah payah.
"Gue nggak ngerti kenapa Neru nyuruh gue ikut campur sejauh ini ke masalah orang lain," gumamnya seraya memijat dahi. Gema pikir, dia terlalu jauh mengetahui mimpi-mimpi yang telah mereka kunci dengan berat hati.
Semesta, sebenarnya apa yang Nerundra coba ingin lakukan? Gema seakan-akan dijadikan penulis bayaran yang harus menyelamatkan alur cerita Tiga Abjad agar tidak berantakan. Sepertinya pemuda itu telah melupakan wejangan : manusia memang bisa merencanakan, tapi Tuhan yang akan menentukan, bukan?
"Nerundra sialan."
Tapi yang membuat heran, Gema tak bisa memberi kalimat penolakan meski dia merasa keberatan. Pertiwi, apa rasanya akan menyenangkan jika dia berhasil memapah mereka bersua kembali dengan angan-angan yang dulunya terpaksa mereka sia-siakan?
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
[Dimohon untuk memutar multimedia di atas, terima kasih!]
Deru merdu lepas landas menuju telinga. Mencetus rasa simpati Ranggema yang kini tengah mencuri pandang lewat jendela. Di dalam sana, ada Ivy yang memangku indah gitar akustik tanpa berniat memetik senarnya. Membuat pemuda itu sedikit melampirkan tanya.
Pemudi itu tampak begitu menyelami makna dari sang gita, menggandeng Gema turut hanyut dalam maknanya. Dia menarik kurva tak sempurna, prihatin akan dirinya. Lantas, dia bergumam pada hatinya : "Jangankan sejuta, satu mimpi aja gue nggak punya."
Usai Ivy nyanyikan, Gema bertepuk tangan meski tak langsung masuk ke dalam ruangan. Sedangkan Ivy malah terbungkus dalam keterkejutan.
"Ranggema?"
Panggilan itu sudah dia tunggu, dengan buru-buru Gema menarik gagang pintu. "Wow, lo jago nyanyi juga ya. Eh tapi kenapa gitarnya cuma dipeluk?"
Ivy beranjak dari kedera, cahaya merah muda tampak membayang di kedua pipinya. "Lo kok bisa ada di situ?"
"Lewat, terus denger jelmaan suara dari surga. Lain kali, kalau latihan mending di ruang musik, jangan di ruang seni, di sini nggak kedap suara."
Tidak ada tanggapan, sehingga Gema memutuskan untuk mencari topik pembicaraan. "By the way, lo tadi pas nyanyi menjiwai banget, merinding dah as—li."
Ivy pergi. Membuat Gema lagi-lagi harus mengebumikan keingin tahuan yang melangit lagi. Bagaimanapun, Gema harus menghargai privasi. Jadi, dia memutuskan untuk tidak mengikuti ke mana pemudi itu membawa diri.
Kewarasannya menitah agar lekas berburu kudapan. Mau tak mau Gema harus mengiyakan. Bertepatan dengan perjalanan Gema menuju kantin Jagratara, keluh kesah anak manusia mengudara. Mereka menyebutnya, Bahtera Cita Jagratara.