O2 。 The Boy and His Headphone

706 70 21
                                        

GERUTU masih Ivy ucap selalu. Degup dadanya berpacu dengan buru-buru. Langkahnya masih tetap padu, sebelum kerumunan pemudi yang teramat haru-biru menahannya turut serta membisu. Tunggu dulu, siapa pemuda itu?

Pelantang telinga yang sudah singgah menuntutnya untuk berpisah. Ivy merasa rona pipinya berubah merah hanya karena berpapas dengan sang wajah. Pemuda itu tampak mencoba tersenyum sumringah meski sudah terselip beberapa gerah.

Ivy menyadarkan lamunan. Baru saja ia ingin berbalik badan. Tak mau lebih dalam memperhatikan, naas malah bertabrakan dengan himpunan manusia yang baru berdatangan. Hanya untuk berebut pandang. Ia sungguh tak mempersalahkan kalau dirinya rubuh, bahkan sedikit mendapat beberapa goresan. Hanya saja. . . . .

"HEADPHONE GUE!" teriaknya.

Ranggema yang masih setia dirubung para pemudi meski sudah muak dikagumi, lantas bergegas menghampiri. Sejujurnya, bukan karena peduli. Hanya saja, ini menjadi satu-satunya cara untuknya meloloskan diri.

Pemuda itu berdiri tepat di hadapan Ivy sembari mengurai isi tas hitam yang sudah terpikul rapi. Sedang pemudi itu, Ivy, sudah ingin menangis sejadi-jadi.

"Ini, buat lo. Jangan nangis," ucapnya diiringi gaya memberi, tak lupa dengan rendah hati turut mensejajarkan diri.

Pemudi dengan jenjang rikma itu melambungkan wajah. Padahal, ia sudah ingin berpasrah. "Buat gue? Kenapa?"

Gema tersenyum paripurna. Kemudian merujuk sekilas para pemudi yang masih setia menatapnya. "Karena, headphone lo jatuh gara-gara mereka."

"Dan mereka kayak gitu gara-gara mau lihat gue. Jadi, itu salah gue 'kan?" sambungnya.

Ivy tak turut memulangkan kata. Sedang Ranggema mulai menyematkan pelantang telinga pada leher miliknya. "Nggak usah bilang makasih. Cukup bangun, terus anterin gue ke ruang Kepala Sekolah, bisa?"

 Cukup bangun, terus anterin gue ke ruang Kepala Sekolah, bisa?"

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Hasta masih setia merekat di depan dada. Hiruk pikuk Jagratara turut menyamarkan kurva yang entah sedari kapan mulanya. Di antara ribuan muda-mudi Jagratara, asma Ivy harusnya parak di telinga. Jadi, warta perihal dia dan pemuda yang ia tak tahu asmanya tidak akan semerbak ke mana-mana.

"Vy, dari mana aja? Kok baru masuk kelas?" tanya Yiril selepas pemudi itu melihat ke arah jarum jam yang sudah cukup siang.

"Ceritanya panjang Ril."

Yiril menganggukkan kepala. Sedangkan Ivy terpandang cukup bahagia, kendati nyaris terlalai tadi. Netra Yiril terpaku pada pelantang telinga yang melingkar kaku. Pemudi itu lantas menggeret bangku. Singgah di sebelah kiri pemudi itu.

"Sejak kapan lo suka warna-warna gelap?"

Batavia, kau sudah lama mengenal Ivy. Pemudi dengan rikma dawa, apik, lan mempesona tak suka warna gelap gulita. Tak seperti dirinya. Jelas kau jua tengah menaruh tanya yang sama, bukan?

Getting a Plot for YouWhere stories live. Discover now