O2 。 The Boy and His Headphone

Start from the beginning
                                        

"Maksudnya?"

Ditunjuknya headphone dengan dagu. Lantas Ivy melepasnya dengan buru-buru. "Bukan punya gue, Ril."

"Terus punya siapa?" tanya Yiril kembali, sembari menyempitkan dahi. Netranya masih sibuk meneliti, seakan tak mau memberi Ivy ruang untuk membekam cerita pribadi.

Ivy menggaruk tengkuk, kemudian berkata sedikit kikuk. "Eum, punya cowok yang sebelumnya belum pernah gue lihat. Kayaknya, dia murid baru."

Belum sempat Yiril berujar kata sekelebat. Teriak milik Kaluna gaduh menyengat. Membuat beberapa muda-mudi menutup telinga rapat-rapat.

"ADA HOT NEWS GUYS! SI GANTENG SATU KELAS SAMA KITA, DAN SEKARANG DIA LAGI OTW KE SINI, YA AMPUN!"

Yiril dan Ivy beradu netra. Sedang bibirnya berucap kata yang sama, dengan sedikit suara. "Si ganteng?"

"Heh Luna, bisa nggak sih lo kalau ngasih informasi nggak usah teriak-teriak? Pengeng nih kuping gue," keluh Yiril.

Kaluna merotasikan netra. "Terserah gue dong. Mulut mulut siapa, kok lo yang repot? Udahlah gue lagi nggak mau ribut sama lo."

Lagi-lagi sebelum Yiril melontarkan balasan. Suara teriakan dari luar ruangan membuat hampir seluruh isi berhamburan, ingin turut menyaksikan. Ya, begitu juga dengan Yiril dan Ivy yang sedikit penasaran. Tak lama, Yiril benar dikagetkan dengan sosok pemuda yang tengah menyunggingkan senyuman sepanjang jalan.

"Ranggema?" gumamnya kala Ranggema sudah mencagak raga di gapura Mipa tiga. Tepat di hadapannya.

Ranggema kian menaikkan busur kurva. Membuat para pemudi Jagratara turut menaikkan bahana teriakannya. Ditambah, Gema tanpa ragu mengangkat hasta, seraya menyebar sebuah sapa. "Hai, Yiril. Hai, cewek cengeng."

Setelahnya, Ranggema dengan tak tahu tata krama menggeser raga Yiril dan Ivy secara paksa. Agar pemuda itu lekas masuk tujuannya.

"Ril, kok lo bisa kenal sama cowok itu?"

Pertanyaan Ivy tak ia hiraukan. Ia juga punya jutaan pertanyaan yang saat ini menanti jawaban. Dengan segera, Yiril menutup gapura. Membiarkan pemudi yang masih teringin bersua dengan Ranggema dirubung kecewa.

"Bro, mana nih sambutan meriah buat gue?" tanya Gema sembari bersila di pojok meja milik Nerundra.

"Bukannya lo tadi udah disambut sama cewek-cewek satu sekolah? Apa belum cukup meriah?"

Ranggema melepas tawa. Baginya, Nerundra masih jadi pemuda yang tak kenan menanggapi canda. "Meriah kok. Apalagi ada Yiril yang ikutan nunggu depan pintu. Ah, jadi terharu."

Yiril yang mendengar asmanya dibawa dalam cengkrama milik mereka lantas berkata, kendati tak berniat mendekatkan raga. "Cih. Dasar SKSD, DELA pula."

"Hah? DELA?"

"PEDE GILA!"

"Makasih cantik."

"Memang."

Ranggema terkekeh karenanya. Ah iya semesta, tolong suarakan tanya pada Yiril, barangkali dia perlu lensa. Karena sepertinya, dia dan Gema tak jauh berbeda. "Gue nggak muji lo kok Ril. Gue muji si cengeng. Iya kan Ru, si cengeng cantik?"

"Cantikan Yiril," gumam Nerudra yang Gema yakin tak bisa singgah di telinga pemudi yang cukup dawa menjeda jarak darinya.

"Apa Ru? Nggak dengar, yang keras dong."

"Gue bilang, duduk, bentar lagi bel masuk."

我疯了

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

我疯了

Saya gila, sekiranya begitu maknanya. Ranggema menggelengkan kepala begitu secarik kertas yang sedari tadi merekat di punggung dapat diraihnya. Jadi ini, kausa timbulnya tawa tiap kali Tiga Abjad melangkahkan kaki? Aksara China sederhana yang ditoreh tak rapi memang yang telah menarik atensi. Belum lagi, pemudi ini cukup lama berdiri di samping Yiril untuk turut mengantre.

"Wǒ fēngle? Siapa yang udah nempelin ini ke punggung dia? Kayak anak SD aja sih masih mainan begituan. Nggak malu?" ujar Gema.

Yiril yang tak sengaja mendengar tutur Gema bersegera merampas kertas yang sudah tidak lagi dibaca sang pemuda. "Gue ulangi, siapa yang udah nempelin kertas ini ke punggungnya Nea?!"

"Udah Ril, aku nggak papa kok. Lagian udah biasa juga," ucap Alinnea bak menahan Yiril agar tak lagi bicara.

"Justru karena udah biasa, takutnya malah jadi kebiasaan. Lo mau terus-terusan ditindas kayak gini?"

"Sabar Ril. Tenangin diri lo dulu," timpal Ivy yang tak digubris sama sekali.

"Nggak ada yang mau ngaku?!"

"Heh Yiril, lo nggak capek apa setiap hari nyari ribut terus? Lo dengar kan tadi Nea ngomong apa? Nggak usah diperpanjang. Perempuan kok kelakuannya kayak preman," tutur Kaluna sembari melipat tangan di depan dada.

Yiril tertawa meski tak lama. "Gue? Capek? Nggak akan, kalau lo, lo, dan lo masih terus ngebully Nea kayak gini," balasnya sembari mengorbitkan jari ke arah wajah tiga pemudi yang acap kali mencari perkara.

"Ngebully? Kita cuma bercanda kali. Nggak usah baperan makanya," bela Reraya. Pemudi yang tak pernah alpa menyokong Kaluna untuk merundung Nea.

"Oh, jadi selama ini kalian bercanda? Waktu kalian ngefitnah Nea nyuri, itu juga bercanda? Kalau gitu, bercanda kalian itu keterlaluan. Nea bukan bahan candaan. Kalau gue lihat kalian ngerjain Nea lagi, gue bakal seret lo bertiga ke lapangan."

Ranggema nyaris saja bertepuk tangan atas perkataan yang baru saja dilontarkan. Yiril benar-benar tampak pemudi yang dicipta untuk menegakkan keadilan.

"Sekarang, lo udah tau kan, kenapa gue bilang kalau Yiril itu beda?" tanya Neru yang disambut anggukkan kepala Gema.

Batavia, kau tenang saja. Ranggema tak akan pernah menaruh hati padanya. Serupa yang telah diucap Nerundra, Yiril memang berbeda. Tapi semesta, Gema tidak suka pemudi yang berlagak seolah-olah dia adalah seorang pemuda. Dan ia tidak akan pernah lupa akan seleranya.

catatan! ::

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

catatan! ::

akhirnya bisa memperbarui cerita ini
walaupun nggak tau masih ada yang
nunggu   apalagi   rindu.   yang    jelas
terima  kasih     sudah   membaca   ya!

©DE-HANA
🐧🐧🐧🐧🐧

Getting a Plot for YouWhere stories live. Discover now