Chapter 11

17.5K 1.4K 11
                                    

(Aku ganti username, jadi jangan bingung ini siapa ya 😂)

⚜️⚜️⚜️

Mata gelap Agaam menyorot dingin. Punggungnya menyender pada kursi kebesarannya. Ekspresinya menggambarkan emosi yang di tahan. Agaam bukanlah sosok yang dapat mengontrol kesabarannya dengan mudah.

Pria di hadapannya berdiri kaku dari enam menit lalu. Sepenuhnya siap menerima amukan dari bosnya. Kedua tangannya terlipat di belakang punggung. Menundukkan pandangan tanpa menatap ke depan.

"Tahu apa kesalahanmu?" Nada dingin Agaam mengisi kesunyian di ruangan itu. Astmosfer terasa naik setelah Agaam mengelurkan suara.

"Saya tahu, Sir. Saya benar-benar meminta maaf atas kesalahan yang saya perbuat," jawab pria itu sama datarnya.

"Aku benci orang yang tidak teliti. Dan dengan mudahnya kau melakukan kesalahan fatal itu?" ujar Agaam menusuk.

"Saya berjanji kejadian ini tidak akan terjadi lagi. Juga, Lady sudah diberitahukan tepat setelah saya mendapat informasi tersebut."

"Sampai aku tahu kalau wanita itu kembali menyakiti gadisku. Kau juga akan menerima akibatnya, Derston."

Derston mengangguk patuh. Menunggu perintah lebih lanjut dari Agaam. Dia berada dalam unit utama di gedung perusahaan. Agaam menyandang gelar penting di bangunan megah itu. Perusahaan ini memang cukup menyita perhatian Agaam sejak awal. Jadi ketika ayahnya meminta mengambil alih, dia terima-terima saja. 

"Keluar," ujar Agaam dengan tatapan jatuh pada layar laptop.

Derston meninggalkan ruangan milik Agaam. Kini, seluruh pikiran laki-laki itu terpusat pada gadisnya. Tangan kirinya mengambil Ipad yang tergeletak di sisi meja, lalu mencari posisi Mora lewat GPS. Keningnya berkerut, mengecek sekali lagi agar dugaannya keliru.

Bibirnya berdecak kesal. Kenapa dia tidak dapat melihat keberadaan Mora. Padahal, isi semua gawai gadis itu sudah dia retas. Berkali-kali di cek dengan teliti, namun hasilnya tetap sama.

"Fu*k!" umpat Agaam. Dengan tergesa-gesa keluar dari ruangan dan melangkah cepat menuju garasi pribadinya.

Di bukanya pintu mobil berharga fantastis. Alas sepatunya menginjak pedal gas dalam-dalam. Tanpa butuh waktu lama, dia tiba di depan gerbang rumah yang akhir-akhir ini sering dia datangi.

Agaam meninggalkan mobilnya di jalanan. Sebelumnya dia sempat melepas jas kerjanya. Agaam mengetuk pintu terlebih dulu, dia berlaku demikian setelah melihat mobil lain yang terpakir. Sedikit tersentak ketika melihat orang yang membukakan pintu. Namun, ekspresinya kembali datar. Sebisa mungkin bersikap sopan pada pria paruh baya yang menyandang status kepala keluarga rumah ini.

Dapat dilihat, ayah Mora memandang penuh kebingungan dengan tamu asing yang datang.

"Saya Agaam, Om. Pacar Mora," ungkap Agaam menjelaskan. Raut ayah Mora seketika tergantikan dengan sukaria.

Tanpa canggung merangkul bahu Agaam mengajaknya masuk ke dalam. Dua sudut bibirnya tersenyum tipis. Pasalnya, anak perempuannya tidak pernah sekalipun membawa laki-laki berkunjung ke rumahnya.

Setelah melihat Agaam, jelas sekali beliau senang. Sambil meneliti laki-laki yang diakui pacar anaknya tanpa disadari Agaam. Nice choice.

"Saya datang ke sini bermaksud untuk bertemu Mora, Om. Apa dia ada?" tanya Agaam tanpa basa-basi.

"Saya tahu kamu pasti mau mencari dia. Mora ada di kamarnya, kamu naik aja," jawab Agleer menunjuk ke lantai atas. Dia duduk di kursi makan dan melanjutkan acara minum kopi yang sebelumnya tertunda.

"Baik. Kalau begitu saya ke atas, Om."

Agaam membuka pelan pintu kamar Mora. Mengintip ke dalam sebelum mencari keberadaannya. Matanya berhenti ke satu titik. Mora tampak serius dengan benda yang sedang di kerjakannya.

Senyum Agaam muncul. Dia berjalan tanpa menimbulkan suara. Tangan besarnya menyentuh pundak Mora. Punggungnya membungkuk supaya bisa mencium harum dari rambut gadis itu.

Mora tersentak pelan. Kemunculan Agaam benar-benar membuat jantungnya berdetak kencang. Lama-lama, Mora bisa terserang penyakit jantung jika terus dikejutkan seperti ini.

Konsentrasi Mora mendadak pecah. Menjadi tidak fokus mengerjakan kegiatan menggambarnya. Agaam tidak berbicara melainkan hanya menatapnya.

"Kenapa kamu ada di sini?" tanya Mora pelan.

Agaam mengernyit tidak suka. Menarik dagu Mora agar melihat ke arahnya. Matanya memincing. "Kenapa? Kamu nggak suka aku ada di sini?" Agaam berbalik bertanya.

"Bu-bukan. Maksud aku, kamu datang tanpa kasih kabar apa-apa ke aku." Suara Mora terdengar seperti mencicit.

Agaam menghela napas kasar. Menyugar rambut hitam pekatnya kebelakang dengan ruas jari-jarinya.

"Hp kamu di mana?" tanya Agaam. Sedari awal dia tidak menemukan benda tipis itu di kamar Mora.

Mora bingung. "Maksud kamu?"

"Hp kamu. Ada di mana?"

"Hp aku rusak karena jatuh," jawab Mora. Kesekian kalinya Agaam menghela napas kasar. Setidaknya dia bisa lega dengan alasan dibalik kecemasannya.

Agaam mengelus pelan rambut Mora, meneliti setiap lekuk wajahnya. "Kamu habis dari mana? Kenapa pakai baju formal?" Lamunan Agaam buyar kala Mora bicara.

Mora sadar kalau Agaam mengenakan kemeja biru dongker dengan celana panjang hitam katunnya. Tampak seperti orang kantoran. Aneh, padahal Agaam hanya seorang remaja SMA. Tapi berpenampilan seperti orang dewasa.

"Dari tempat kerja. Aku ke sini mau ajak kamu makan siang," timpal Agaam. Sejujurnya kata mengajak tidaklah tepat. Karena Mora tahu Agaam akan tetap memaksanya untuk ikut.

⚜️⚜️⚜️
TBC.
Coba dong, mau tau emoji kesukaan kalian apa aja? 🪐🥀

𝐀𝐆𝐀𝐀𝐌𝐎𝐑𝐀Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang