19. Kepastian

17.4K 1.7K 314
                                    

"Kenapa nggak bilang kalau kamu nggak punya sepeda?"

Sepeda Riza melaju dengan santai di track khusus sepeda ke arah Balairung UI. Riza memilih rute track sepeda yang melewati kawasan Pusgiwa UI. Selain rutenya lebih dekat menuju Balairung, Riza ingin sekalian bernostalgia.

Dulu, saat Riza masih jadi mahasiswa dan aktif jadi anggota mahasiswa pencinta alam, dia lebih sering main ke basecamp mapala ketimbang ke kelas buat kuliah. Banyak cerita, pengalaman, dan kenangan yang tertinggal di sana.

Di atas roda belakang sepeda, Aira berdiri dengan kaki bertumpu di footstep sepeda milik Riza. Awalnya, Aira ingin meminjam sepeda kuning yang disediakan di shelter sepeda oleh pihak kampus UI. Tapi Riza malah melarang, lalu memaksanya untuk naik berboncengan di belakang seperti ini.

Dengan terpaksa, Aira menuruti perintah Riza karena dia datang ke sini naik ojol, bukan sepeda. Terakhir kali Aira punya sepeda saat SMP, sebelum akhirnya sepeda itu rusak dan berakhir di tukang rongsokan yang keliling setiap tiga hari sekali di komplek rumahnya.

Awalnya Aira merasa sungkan untuk naik sepeda dengan posisi berboncengan berdiri di belakang seperti ini, sebab mau tidak mau dia harus berpegangan. Satu-satunya pegangan yang bisa Aira capai hanya kedua pundak Riza. Di sanalah kedua tangan Aira sekarang berpegangan erat.

Sesekali Riza mengayuh sepedanya dengan kecepatan tinggi. Bahkan saat melewati track belokan, Riza sering membuat Aira jantungan karena gerakan sepeda yang menukik tiba-tiba sampai nyaris jatuh. Belum lagi saat ada track menurun, Riza melepas semua rem dan membiarkan sepeda meluncur dengan ekstremnya. Entah sengaja atau memang begitu cara Riza dalam bersepeda, semuanya berhasil membuat Aira berteriak kaget dan ketakutan sambil mencengkeram kaus Riza kuat-kuat.

Untung masih bisa kontrol diri dan nggak reflek meluk leher Riza, batin Aira gemas di sela-sela dentuman jantungnya yang masih syok.

"Lupa, Za," jawab Aira setengah berteriak. "Nggak kepikiran juga. Aku lebih kepikiran gimana caranya biar cepat sampai sini. Kaget juga pas tahu kalau kamu masih nunggu aku di pintu Kutek."

Senyum Riza mengembang, beradu dengan hembusan angin yang menerpa wajahnya. Entah mengapa suasana hatinya sangat baik hari ini. "Kalau kamu bilang nggak punya sepeda, kan, aku bisa bawain dua sepeda, Ra."

Di belakang Riza, Aira tersenyum sambil menyelipkan helai-helai rambut yang tertiup angin ke belakang telinganya. Dengan bersemangat, kepala Aira mendekat ke arah samping kiri kepala Riza. Gerakan itu sampai membuat keseimbangan sepeda Riza sedikit oleng.

"Jadi sekarang sudah tahu, kan, alasan kenapa aku lebih suka rebahan daripada sepedaan?" seru Aira sambil terkekeh pelan.

Riza mendengus di sela-sela tawanya begitu Aira menjauhkan kembali wajahnya. Mendengar suara kekehan Aira yang terasa begitu dekat dengan telinganya tadi, Riza langsung menghela napas sering-sering. Jantungnya mendadak berdetak tidak senormal biasanya.

Pasti karena gowes sepeda, jangan mikir aneh-aneh, Za! Pikir Riza.

"Kok kamu masih nungguin aku sih, Za? Aku kan telatnya lama banget tadi," tanya Aira begitu sepeda melewati danau yang ada di depan halte bikun kampus PNJ. Di sini, suasananya sangat sejuk karena banyak pohon dan sangat rimbun di sekitar danau. Oksigen seperti sangat berlimpah di daerah sini.

Aira sempat memejamkan mata, menghirup udara yang berlimpah di sana sebanyak-banyaknya. Ternyata, begini saja sudah membuatnya bahagia dan bisa sejenak lupa dengan masalah-masalah yang dari kemarin mengkungkungnya.

"Jangan-jangan kamu berharap banget aku datang yaaa? Hayo ngaku, hayooo," ledek Aira dengan senangnya sambil memaju-mundurkan bahu Riza seenaknya.

"Jangan GR! Aku sudah mau pergi kok tadi pas kamu datang," elak Riza.

DENGANNYA TANPAMU ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang