12. Seminggu Tiga Kali

19.8K 1.5K 132
                                    

Di kursinya, Aira tertawa jengkel tanpa suara seraya menghempaskan punggungnya ke sandaran kursi. Matanya menatap lurus ke arah ponsel yang ia pegang. Membaca berulang kali chat yang ia kirim untuk Amar yang ceklisnya tak kunjung berubah jadi biru. Sementara ia dengan sadar betul melihat Whatsapp Amar sedang online.

Aira Anindita:
Mar, nanti malam kita ketemuan di Jco Penvil ya.
Jam 8. Aku tunggu ya. See you :*

Sejak kapan pengaturan ceklis biru Whatsapp Amar berubah jadi abu-abu? Jadi selama ini chatku cuma dibaca tapi nggak dibalas sama Amar?

"Ahh..." Aira merengek sedih dan kecewa sambil menutup wajahnya dengan kedua tangan. Menghempaskan ponsel ke atas meja begitu saja. Sampai semua karyawan di Hello Craft menoleh ke arahnya, lalu saling berpandangan seolah bertanya 'Mbak Aira kenapa?' dan tak lama kemudian mereka saling menggeleng menjawab tidak tahu.

"Teh manisnya, Ibu Aira," suara Ainun berhasil membuat Aira menurunkan tangannya dari wajah.

Sejak melihat Aira cemberut dan terus memasang wajah kesal, Ainun segera membuat dua cangkir teh hangat. Siapa tahu Ainun bisa menemani Aira curhat sambil ngeteh sore.

"Mumpung masih hangat," tambah Ainun sambil tersenyum. Ia duduk menghadap ke arah pintu depan Hello Craft, bersebrangan dengan Aira yang memunggungi pintu.

Sambil Ainun mengaduk pelan teh manis miliknya, sambil sesekali ia menatap Aira, lalu menatap pintu, dan kembali ke cangkir. Begitu seterusnya.

Aira melihat secangkir teh pemberian Ainun yang masih mengepulkan uap panas di hadapannya. "Makasih ya, Ai," serunya lesu.

Ainun menyesap teh buatannya. "Chat kamu masih belum dibalas sama Amar?"

"Iya. Dan kamu tahu nggak, Ai?" Aira menggantung kalimatnya. Ainun memasang wajah penasaran ingin tahu. "Amar ganti pengaturan ceklis biru di Whatsapp-nya jadi nggak aktif lagi, Aiiii. Aku nggak tahu sejak kapan. Aku juga baru sadar," nada bicaranya terdengar lesu bercampur gemas.

"Serius?" Ainun ikutan kesal jadinya. Ia meletakkan cangkir tehnya di meja. "Telepon saja kali, Ra."

"Nggak diangkat, Ai. Aku sampai telepon Tio, berharap bisa ngomong sama Amar karena aku pikir mereka lagi sama-sama di studio," nada bicara Aira mulai meninggi karena kesal bercampur kecewa. "Tio bilang Amar lagi keluar, ada janji ketemu sama klien."

"Ehm, mau ketemuan di mana sih memangnya?" tanya Ainun.

"Di Jco Penvil jam delapan nanti malam. Aku bakal tunggu dia sampai datang."

"Oh... Di Jco Penvil," kata Ainun sambil mengulang kalimat Aira dengan suara agak tinggi.

Aira mengernyit heran mendengar suara Ainun yang meninggi. Ia berdecak sebal karena merasa Ainun terlalu berlebihan. Apa Ainun sengaja melakukan itu agar seluruh karyawannya tahu malam ini dia akan janji ketemuan dengan Amar?

Tatapan Aira beralih ke paperbag putih yang bertengger manis di ujung meja. "Aku kangen banget sama Amar, Ai," lirih Aira. Ia sangat berharap malam ini berpihak padanya dan mempertemukannya dengan Amar.

"Kalian kenapa break sih?" Ainun menegakkan posisi duduknya. "Kalian tuh pacaran sudah lama, harusnya bikin rencana buat nikah. Bukan malah break dan nggak jelas begini," celetuk Ainun.

Aira mendengkus. Ia menatap Ainun kesal. "Kamu pikir aku mau break sama Amar? Kamu kan tahu kalau Amar yang minta break, bukan aku."

"Kenapa kamu nggak nolak kalau kamu keberatan?"

DENGANNYA TANPAMU ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang