Chapter 18

90K 10.1K 1.4K
                                    

A mask of his life.

____________

KITA punya jatah bahagia masing-masing dalam hidup, dan tak ada seorang pun yang berhak mengambilnya. Itu yang pernah Bang Abil katakan padaku. Satu hal yang kulupakan dari kata-kata tersebut. Kita juga punya jatah ujian dan kesedihan masing-masing dalam hidup, dan tak ada seorang pun yang bisa menghindarinya. Yang bisa kita lakukan sebagai manusia hanyalah belajar dan menerima, learn to accept whatever it is and make thing better.

"Sorry Shaf, nggak nemu yang anget. Cuma kepikiran beli ini." Pria dengan celana jeans krem yang dilipat di atas mata kaki itu duduk agak jauh dariku, setelah menyerahkan sekotak susu full cream yang dibawanya. Tempat ini masih belum begitu ramai, beberapa orang hanya terlihat hiking santai dan bersepeda. Ini memang week end, tapi puncaknya adalah besok.

Firman membawaku ke tempat ini setelah kami keluar dari Stasiun Gambir tadi. Dia menyuruhku menunggu di kursi taman di bagian halaman dekat gerbang masuk Monas sebelum akhirnya pergi entah kemana, dan sekarang aku tahu dia baru saja dari mini market.

"Chatime di Gabir belum buka jam segini. Nyari agak jauh, malah nemu tukang bubur ayam. Biasanya kemana-mana aku prepare bawa tumbler yang isinya air panas di mobil. Buat bikin kopi kalau lagi kejebak macet, tapi hari ini kebetulan lagi nggak bawa," kata Firman.

"Kamu nggak bawa obat apa gitu buat nenangin tremornya, Shaf? Tangan kamu masih gemeter begitu. Perlu ke RS nggak?" tanya Firman lagi. Aku menggeleng pelan, ini sudah lebih baik dibandingkan saat di dalam stasiun tadi.

"Nanti juga reda sendiri kok, kalo udah tenang total. Makasih ya," jawabku sembari membuka susu kotak itu dan meminumnya. Firman hanya mengangguk pelan menanggapinya. Dia juga mulai meneguk original cappuccino kemasan botol yang dibelinya.

Hening berlangsung agak lama, kami hanya duduk menatap orang-orang yang sedang beraktifitas dengan cahaya matahari yang mulai menghangat. Seperti biasa, aku kehabisan topik pembicaraan dan tak tahu harus mengatakan apa lagi selain ucapan terimakasih tadi.

"Gimana kamu sama Najwa?" tanyaku membuka lagi pembicaraan. Akhirnya satu pertanyaan itu muncul dibenakku.

"Hah? Aku? Ya ... nggak gimana-gimana," jawab Firman.

"Nggak gimana-gimana? Tapi nganterin Najwa ke Gambir juga?" tanyaku lagi. Firman sedikit tertawa ketika mendengar pertanyaanku yang agak menyelidik itu.

"Aku sama Najwa udah selesai, Shaf. Dari dulu-dulu. Tadi cuma nganterin aja. Kasian juga Najwa sama Mamanya kalo harus naik taxi pagi-pagi dari Jaksel ke Gambir, ditambah barang bawaanya banyak. Ya udah aku nawarin nganter. Ngebantuin temen kan?" Jawab Firman.

Ketika mendengar Firman melabeli relationshipnya dengan kata 'teman', aku bisa menyimpulkan bahwa tidak ada yang berubah di antara mereka.

"Memangnya setelah semua yang terjadi. Kamu masih bisa ketemu dan bersikap biasa aja sama Najwa? Pura-pura seolah semuanya baik-baik aja gitu? Don't you feel broken, Man?" tanyaku. Firman tertawa lagi untuk kesekian kalinya. Aku hanya penasaran bagaimana respon makluk yang mengandalkan logika, ketika mereka gagal dalam sebuah hubungan.

"Just because you lose something, doesn't mean you need to lose yourself, Shaf."

"I'm totally fine. Sama sekali nggak pura-pura. Buat apa kita kehilangan diri sendiri, karena hal-hal yang bukan ditakdirkan jadi bagian kita? Beberapa kondisi memang nggak bisa kita manage dan keluar dari planing awal."

"Bukan berarti Najwa menolak, terus silaturahim aku sama dia jadi keputus, kan? Nolong orang nggak harus pilih-pilih, asal jangan dibarengi harap dan pamrih aja. Kalau menjauh sama aja kayak lari dari takdir. Ya udah jalanin aja, toh Allah udah ngatur sebaik mungkin jalan hidup aku kayak gimana," jawabnya.

SHAF ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang