Chapter 8

85.5K 10.1K 1.9K
                                    

Annoying lunch.

____________

MORNING breakfast, I had imagined all this would happen. Meja makan telah beralih fungsi menjadi ruang pengadilan. Ayah hanya menyantap sarapan paginya sembari mendengarkan perdebatan kami yang tak kunjung menemukan titik temu. Dia sudah seperti Karni Ilyas di Indonesia Lawyers Club, menjadi moderator yang menyimak dan sesekali menengahi—sometimes also giving criticism—lalu kemudian memberi nasihat layaknya orang tua pada umumnya.

"Beneran semalam kamu cuma pergi meeting doang? Nggak pergi ketempat lain lagi? Kok meeting bisa sampe pulang semalam itu? Terus darimana kamu dapet semua makanan ini?" introgasi Bang Abil. Dia masih tidak percaya kalau aku ada meeting mendadak kemarin.

"Ya nggak lah, Bang. Memangnya aku mau pergi kemana lagi malam-malam begitu? Rapat FOKUS aja kemarin aku batalin juga. Kalo Abang masih nggak percaya. Nih, aku kasih nomernya Athaya. Abang pastikan aja sama orangnya langsung, makanan aja dia yang kasih," jawabku sembari mengotak-atik handphone hendak mengirimkan kontak Athaya pada whatsappnya.

"Apa gunanya ada handphone? Telepon kek kalo memang bakalan pulang malam. Nggak harus bikin khawatir seisi rumah, kan? Gara-gara kamu tuh, temen Abang nunggin kemarin. Abang kan jadi nggak enak."

Lah, suruh siapa dia mengenalkan temannya padaku?

Masalahnya mana mungkin aku bisa mengirim pesan, kalau semalam aku ketiduran saat meeting. Meskipun aku tidak melakukan hal-hal yang melanggar, tapi aku tetap tidak berani menceritakan bagian ketiduran itu, apalagi kejadiannya di hotel. I know how my father and brother were when they got angry, it was terrible. Sangat malah.

"Pokoknya mulai hari ini, kalo Abang nggak ada jam kuliah. Abang yang anter-jemput kamu ke kantor," katanya lagi.

"Dengan senang hati," jawabku tanpa merasa keberatan sama sekali. Aku malah senang kalau Bang Abil mau mengantar-jemputku, mengingat kuliah S2 memang tidak sering ada kelas seperti saat kuliah S1.

Proporsi waktu yang dihabiskan bersama dosen lebih sedikit, malah lebih banyak dihabiskan untuk belajar, riset dan mengerjakan tugas. Dan yang paling penting, aku jadi tidak perlu bermacet-macetan di jalan dan pegal memegang stang motor.

"Kenapa atasan kamu tiba-tiba ngasih makanan?" tanya Ayah. Sejak tadi aku menyusun jawaban untuk pertanyaan itu. Aku sudah menebak bahwa salah satu dari dua pria dihadapanku ini akan menanyakannya.

"Entahlah ... mungkin nggak enak aja kali, Yah. Kemarin dia nyuruh meeting mendadak padahal aku udah mau pulang," alibiku senormal mungkin.

"Jangan sembarangan nerima sesuatu dari laki-laki, apalagi kalau pemberiannya mengandung maksud lain. Jangan ngasih harapan duluan sama orang, kalau ujung-ujungnya kamu nggak mau," kata Ayah.

Kenapa Ayah malah berpikiran ke arah sana sih? Siapa juga yang memberi harapan? This is only one of the good things from the boss to his secretary, nothing more. Tidak ada maksud lain dari pemberian makanan ini kecuali permintaan maaf.

Tapi mana mungkin juga kukatakan terang-terangan "Ini bentuk permintaan maaf, Yah. Kemarin jam dua pagi, bosku menelepon dan mengatakan hal yang tidak-tidak tentangku. Dia juga menjadikanku bahan taruhan waktu hari minggu." Bisa-bisa tekanan darah Ayah langsung naik dan Athaya menghilang dari Bumi esok harinya.

"Ayah sepenuhnya percaya sama kamu. Ayah juga yakin kamu udah cukup dewasa untuk bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Kamu pasti tahu batasan-batasannya sampai mana."

SHAF ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang