1. Walking Alone

Mulai dari awal
                                    

"Kalau gitu lo juga harus punya alasan yang kuat buat tau soal ini."

"Karena gue..." Jasper berhenti, genggamannya perlahan melonggar. Cowok itu diam untuk waktu yang cukup lama dan kesempatan itu segera gue gunakan untuk menepis lengannya.

"Kita nggak sedekat itu buat ngomong soal ini. Gue mungkin juga nggak bakal ngomong sama lo seandainya kita nggak ketemu di sini," kata gue, berusaha kelihatan biasa aja. "Gue bakal anggap semua ini nggak terjadi, silahkan lanjutin apapun yang lo lakuin sebelum gue datang."

Kemudian gue berbalik, setengah mati berharap Jasper nggak menahan kali ini. Tapi sialnya, untuk dua kali, cowok itu menghampiri. "Nggak usah, gue aja yang pergi. Lo kayaknya lebih butuh tempat ini daripada gue. Iya nggak?"

Gue menggeleng, Jasper malah nyengir. Gue masih mematung di tempat saat cowok itu tiba-tiba bersuara, mengusap bagian belakang kepalanya sesaat. "Oh iya, Riani. Lo bilang bakal anggap ini nggak terjadi. Lo bakal pura-pura lupa kan?"

"....."

"Tolong pura-pura lupa juga... kalau lo liat gue nangis."

***

Gue pernah denger seseorang bilang, aktivitas di sekolah mendadak intens ketika lo berada di tahun ketiga, mendekati masa-masa akhir menjelang lulus. Semua kegiatan menulis, ngerjain tugas, atau bahkan tidur pun jadi lebih berarti karena masa-masa itu nggak terjadi dua kali.

Masa-masa ketika lo kewalahan menyiapkan berbagai macam praktek bersama teman sekelas, mau itu praktek sains di laboratorium, praktek untuk tugas seni, ataupun praktek memasak yang selalu jadi agenda rutin di mapel kewirausahaan. Atau ketika melakukan sesi foto untuk buku tahunan, foto bersama wali kelas untuk yang terakhir kalinya, foto di kelas yang bertahun-tahun ditempati untuk terakhir kalinya, atau foto bersama teman sekelas sebagai anak SMA untuk terakhir kalinya.

Nggak, gue bilang begitu bukan karena kelulusan sudah di depan mata, masih lama, semester satu baru berjalan tiga bulan. Gue cuma penasaran... seperti apa perasaan antusias dan sendu menjelang tamat, seperti apa perasaan ketika lo mendadak kepingin sekolah lebih lama karena nggak mau berpisah terlalu cepat. Gue nggak pernah mengerti perasaan itu, karena selama ini, satu-satunya yang ada di pikiran gue ketika memasuki tahun ketiga adalah pada akhirnya bisa lepas dari tempat yang menyesakkan itu.

Gue berharap gue bisa antusias, tapi mengharapkan hal-hal seperti itu cuma bakal bikin gue jadi bahan tertawaan. Karena itu, setiap ada agenda kelas tiga yang berhubungan dengan kelulusan, gue selalu menghindar.

"Sendiri?"

Gue mengangguk, lantas buang muka, berusaha nggak melihat bagaimana raut Aaron—si ketua kelas—yang prihatin. I hate that. I'm not pitiful, I don't need sympathy.

"Gue bisa."

"Praktek kelompok dikerjain berkelompok, bukan sendiri."

"Gue... bisa sendiri."

"Ini bukan masalah lo bisa atau bukan."

Gue menarik nafas, memaksakan diri menatap ke arah Aaron. "Gue tau, tapi gue bisa apa kalau semua orang keberatan satu kelompok sama gue selain ngerjain sendiri?"

"Nggak semua," pandangan Aaron masih sama. "Lo belum tanya gue."

Gue menggigit bibir, kemudian bertanya dengan ragu, "Lo yakin temen sekelompok lo bakal setuju?"

"Gue udah tanya, dan mereka setuju."

"Bener-bener... setuju? Nggak ada paksaan?"

Aaron mengangguk, tapi gue yakin dia bohong. Gue menoleh ke arah kumpulan orang yang sedari tadi melirik ke arah gue, dan langsung mengalihkan wajah mereka. Tapi gue nggak punya pilihan lain selain setuju.

May The Flowers BloomTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang