5

25 7 2
                                    

"Ih ayah sama mamah bikin iri Ubis aja deh. Awas ya nanti kalo Khan udah jemput Ubis, pasti bunda sama ayah yang akan iri lihat Ubis." Setelah mengatakan itu Anindya langsung berlari kecil menuju kamarnya menyisakan kedua orang tuanya yang tersenyum geli melihat tingkah anaknya.

"Oh iya mas, aku tadi ketemu Iren dan Malik ternyata mereka sudah kembali ke sini sejak kemarin." Yuliya mulai membuka suara setibanya di ruang keluarga.

"Mereka bilang mau berkunjung kesini sama kedua anaknya minggu depan." Lanjut Yuliya setelah berhasil melepas jas di tubuh suaminya sambil menenteng tas kantornya.

"Kedua anaknya? Maksudmu sekarang mereka punya dua anak?." Tanya Rahadi pada sang istri karena sedikit tak paham dengan ucapan Yuliya.

"Iya mas, kamu lupa? Kalau Iren lagi hamil saat pindah ke luar kota? Dan anak kedua mereka perempuan mas lucu sekali kalau tidak salah usianya sekitar 8 atau 9 tahun."

"Oh iya aku lupa. Ya sudah nanti minggu depan aku usahakan mengosongkan waktu agar bisa bertemu dengan mereka. Apa putri kita sudah tahu jika Khannya itu sudah kembali?." Yuliya menggelengkan kepalanya.

"Aku sengaja belum kasih tahu kabar ini. Biar jadi kejutan, kamu tahu kan dia begitu kehilangan sahabat kecilnya itu."

"Iya kamu benar. Ya sudah aku mau mandi dulu dan tolong ya sayang buatkan aku kopi candumu itu." Tanpa permisi Rahadi pergi meninggalkan istrinya yang tersipu mendengar gombalannya itu.

Di ruang makan ini Anindya dan kedua orang tuanya sedang menyantap makan malam bersama dengan keheningan, suara sendok dan garuda yang saling beradu menjadi penyerta bagi keluarga hangat ini.

Selesai menyantap makan malam itu, Rahadi sebagai kepala keluarga memulai percakapan mengenai hal yang ingin disampaikannya. "Ubis! Minggu depan kamu engga ada acara di luar sekolah kan?." Anindya tampak berpikir sebentar.

"Kayanya sih enggak ada yah, emangnya ada apa minggu depan?." Anindya berbalik tanya pada ayahnya.

"Minggu depan akan ada teman lama ayah yang mau berkunjung jadi ayah ingin kamu juga ikut menyambut mereka."

"Ok ayah! Anakmu ini akan menjadi tuan putri yang anggun di depan tamu ayahnya."

"Kamu ini ada-ada aja." Sahut Yuliya setelah mendengar jawaban putrinya. Anindya dari dulu memang merupakan sosok anak perempuan yang ceria dan sangat menurut pada mamah dan ayahnya. Tak pernah sekalipun ia membangkang ucapan kedua orang tuanya.

"Hehe ya gapapa kan bun, yah. Yaudah deh aku mau ke kamar dulu ya ada tugas dari sekolah buat besok." Anindya pun bangkit dari duduknya menghampiri kedua orang tuanya dan mencium pipi keduanya baru kemudian melenggang menuju kamarnya.

Di sisi lain yang cukup jauh dari kediaman Rahadi dan Yuliya, satu keluarga lain pun tengah melakukan hal yang sama yaitu menyantap makan malam di atas meja bundarnya yang diisi oleh Malik, Iren, Aditya dan putri kecilnya bernama Syafita. Tak seperti di kediaman Rahadi yang hening di sini sedikit berisik karena Aditya yang usil mengganggu adiknya yang sedang makan.

"Ih abang diem deh! Fita kan lagi makan. Papah lihat, abang gangguin Fita terus." Adu Fita pada sang papah dengan diakhiri bibirnya yang mengerucut.

"Abang jangan gangguin adiknya terus dong...  kamu ini sudah besar juga. Masih aja ganggu Fita yang lagi makan!." Ini adalah suara Iren yang menegur Aditya.

"Ya habisnya si kecil ini lama banget makannya. Lihat kan kita udah selesai makan semua tapi dia masih aja ngunyah hahaha." Kejahilannya diakhiri dengan mengacak ujung kepala Syafita.

"Adit.... sudah jangan ganggu Fita makan. Dengerin papah mau bicara. Minggu depan papah minta kosongkan jadwalmu, papah enggak mau dengar alasan mau main atau hangout dengan temanmu." Kini Malik mulai bersuara hingga Adit berhenti jahil dan menatap ke arahnya.

"Loh emangnya ada apa?." Tanya Adit heran.

"Minggu depan kita akan mengunjungi rumah Gadismu." Jawaban sang papah tak membuat Aditya merasa puas hingga kembali bertanya.

"Maksud papah? Gadisku yang mana? Aku engga punya pacar kok."

"Itu loh yang jepit rambutnya sering di bawa sama abang. Yang kalo Fita minta enggak pernah boleh itu." Seketika senyum tak bisa disembunyikan oleh Aditya.

"Dih abang udah gila! Senyum-senyum sendiri lagi!." Sindiran dari sang adik membuat Aditya kembali ke alam sadarnya. 

"Yeee anak kecil komen aja! Udah selesaikan dulu ini makan lambatmu. Abang ke atas dulu ya pah, mah."

Sesampainya di kamar, Aditya langsung merebahkan badannya dengan mata yang menatap langit-langit kamar sembari pemikirannya menyalang jauh memikirkan minggu depan.

Aditya merasa tak sabar melihat bagaimana Ubisnya tumbuh dewasa pasti sangat cantik. Ah iya! Bicara soal Ubis, dia jadi teringat dengan jepit rambutnya. Apakah siswa baru itu sudah menemukannya? Aditya membatin disela pemikirannya dan dia pun bertekad pagi nanti akan menemui siswa baru itu, tak terasa matanya mulai memberat hingga akhirnya tak lama Aditya terlelap dalam mimpinya.

_____

Matahari sudah menampakkan seringainya pada penduduk bumi yang juga sama menyapa mentari pagi. Sama halnya dengan apa yang dirasakan oleh Anindya yang merasa harapan baru akan datang setelah pagi ini karena inilah hari terakhirnya memantau para siswa baru di masa MPLS. Seperti biasa setelah sarapan dan berpamitan pada orang tuanya kini Anindya tengah berjalan kaki menuju sekolahnya, sedangkan sang ayah ternyata tadi pagi buta harus berangkat ke luar kota dan berakhirlah Anindya yang sekarang menyusuri jalanan.

Tiba-tiba dari belakang ada kendaraan motor yang berhenti tepat di depannya membuat Anindya mengerutkan dahi menunggu orang itu turun dari motor dan melepaskan pelindung kepalanya. "Pagi....!"

"Loh kak Adit?! Kakak Kok bisa lewat sini?." Tanya Anindya pada pengendara motor tadi yang ternyata adalah Aditya.

"Ya bisalah! Rumah kita kan emang satu arah, lo lupa gue pernah nganterin lo pulang, hah?!." Adit pun menyentil dahi Anindya kecil karena merasa gemas pada adik kelasnya yang satu ini.

"Oh iya ya?! Gue lupa kak maaf."

"Yaudah ikut gue aja yuk kita berangkat bareng. Ini pakai helmnya biar kalo jatuh otak lo enggak makin hancur." Ucapan Adit membuat Anindya sedikit cemberut tapi juga ingin tertawa secara bersamaan.

Setelah memberikan helmnya dan memastikan jika Anindya sudah duduk dengan tenang di belakangnya barulah Adit mengendarai motornya.

Selama perjalanan ada banyak hal yang dibicarakan oleh Adit dan Anin salah satunya tentang kenapa Anindya yang berangkat sekolah dengan jalan kaki. "Oh iya Nin. Lo kok tumben jalan kaki berangkatnya? Kemarin gue lihat kamu diantar pakai mobil?."

"Oh iya kak, tadi pagi ayah pergi ke luar kota jadi gue jalan kaki deh sekolahnya.... gapapa kan ya sekali-kali olahraga hehe..."

"Lain kali kita berangkat bareng aja kalau ayah lo emang sibuk atau lagi enggak bisa nganter lo, gimana?." Anindya tampak berpikir sejenak dan itu bisa dilihat oleh Adit dari spionnya.

"Boleh kak! Tapi gue kasih tahu kakaknya lewat apa?."

"Nanti gue kasih nomor telfon gue ke lo ya." Tanpa melihat pun Adit bisa merasakan jika Anindya mengangguk di belakang sana.

🎀🎀🎀

Halo-halo hai....
See again with Khan&Ubis...
Chapter ini gimana? Seru belom😆
Ok jangan lupa tinggalkan jejaknya ya...💕❤

#stayhealthy
#pakaimaskermu

Beautiful MessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang