Part 14 - Mengaku Kalah

4.1K 389 2
                                    

Fathur gugub sekali ditinggal berdua dengan Darius. Rasanya keringatnya sudah sebesar biji jagung. Dadanya berdetak tak tentu arah. Dia tidak pernah mengalami perasaan seperti ini.

Dengan Luna, semua begitu lancar karena di jodohkan.

"Kamu berharap Najia belum menikah?"

Fathur mengernyit binggung. Pertanyaannya tadi belum di jawab sama sekali. Ini maksudnya apa?

"Sebenarnya Athaya itu calon suami Fiya. Saya memancing kamu tapi kamu makan mentah-mentah pancingan saya. Cemen." Darius ketus berujar, Fathur meringis.

"Saya tidak akan jawab pertanyaan mu tadi. Tanya sendiri sama Najia. Kamu ini..  kok telat." Fathur berdegub kencang saat mendengar ucapan Darius barusan. Telat?

"Ada pembelaan?"

"Tidak.. Ini semua salah saya." Fathur mengalah. Dari ucapan Darius barusan ia dapat menyimpulkan bahwa kedatangnya sudah sangat terlambat untuk mengubah semuanya.

Ia memang pengecut nomor satu.

Dari pembicaraan ini apakah Najia sebenarnya sudah menikah dengan orang lain? Bukan Athaya tapi lelaki lain yang lebih baik?

"Pergilah.. Temui Najia dan sudahi semua ini." Darius berujar dingin dan serius. Fathur pun tak tau berkata apa-apa, kemudian pamit untuk menemui Najia.

"Ayah Najia tidak seram kan?" Ummi berkata sambil tersenyum. Fathur hanya mengangguk dan ikut tersenyum. Walau tadi lebih banyak diam sampai berjam-jam tetap saja rasanya seram.

"Saya minta izin berbicara dengan Najia."
"Boleh.. Najia ada di taman belakang. Masalah Rheni biar sama Ibu." Ummi lantas meninggalkan Fathur menuju ruang tengah keluarga. Disana ada anak-anak Ummi -adik Najia- dan beberapa sepupu bersama Rheni. Rumah ini memang selalu ramai.

Fathur menarik nafas dalam-dalam dan menghembusnya pelan-pelan. Ahh.. Dia seperi bujang tanggung yang akan bertemu pujaan hati saja. Fathur bahkan merangkak ke umur lima puluh. Dia sudah tua, walau paras dan perawakannya tetap prima dan tampan.

"Assalamualaikum."
"Eh.. Waalaikumsalam." Najia tersenyum kaku. Bagaimana pun juga sudah dua tahun berlalu kan.

"Kabar mu bagaimana?" Fathur berbasa-basi. Ingat, ia harus sudahi semua ini. Begitu ucapan Darius.

"Seperti yang Bapak lihat. Saya sehat-sehat saja. Bapak bagaimana?"

"Saya tidak baik." Fathur yang duduk dengan jarak satu meter melirik Najia sekilas. Mengembuskan nafas lelah.

"Tolong jawab pertanyaan saya tadi."
"Yang mana?" Najia deg-degan.
"Kamu... " Fathur mengulum bibir sejenak. Perlu keberanian jika bertanya langsung kepada si pemilik badan. Ini gila sekali.

"Kamu.. Susah menikah apa belum?" Fahur akhirnya melepas pertanyaan itu dalam bentuk kalimat yang jelas.

"Bapak maunya bagaiamana?"
"Loh??" Fathur mengernyit, ditatapnya wajah Najia yang terkekeh pelan. Perempuan ini bahkan tidak berubah. Syukurlah.
"Saya sih pengennya udah menikah lama. Tapi nggak ketemu yang cocok. Saya sih nungguin aja."

"Jadi?" Fathur geregetan dibuat anak gadis orang ini. Gemas rasanya, pengen nyubit tapi bukan mahram.

"Belum nikah."
"Serius?"
"Ck! Ngapain bohong sih, pertanyaan yang saya nggak suka dari teman-teman Ibu ya itu. 'Udah nikah belum?' sebel."

Fathur terkekeh. Gadis ini sempurna masih sama seperti dulu. Tapi apakah hatinya masih tetap sama?

"Kamu tidak berubah ya." Fathur menerawang sambil melihat Najia yang melempar pelet ikan. "Hati kamu berubah tidak?"

Segelas Cappuchino (End)Where stories live. Discover now