Part 11 - H-1 Sebelum Lamaran

3.5K 350 2
                                    

Fathur sakit sehabis pulang dari Malaysia. Walau ia tahu bahwa yang ia temui adalah Ayah Najia. Tetap saja Fathur tidak bertemu dengan perempuan itu. Pastilah Darius menghalangi pertemuan mereka sedaya upaya. Agar luka anak gadisnya tak terbuka lagi.

"Baba cepet sembuh. Besok mau lamaran kok malah sakit sih. Nggak kece." Rheni mengompres kepala Fathur menggerutu tapi merawat dengan sayang.

"Rhen.. Masakin Baba sup." Fathur menghiba. Rheni akhirnya mengangguk ia sudah belajar masak sup dari Najia lewat telpon saat ia belajar masak beberapa hari lalu. Ternyata masak itu gampang.

"Kok bawa ponsel?"
"Loh emangnya kenapa?"
"Nanti gosong lagi karena kamu asik chatingan." Fathur berkata dengan nada lemah namun mencibir. Rheni terkekeh karena kebiasaan buruknya. Ia pun meninggalkan ponsel di atas meja dekat kasur Fathur. Lalu keluar menuju dapur.

Fathur mengambil ponsel Rheni, mendial nomor seseorang lewat hpnya dan menunggu panggilannya terangkat.

"Halo? Assalamualaikum?"
Sunyi.
Fathur memejamkan mata saat mendengar suara itu. Kenapa ini? Untuk apa ia menelpon gadis itu?
"Halo?? Siape tu?"

Fathur menarik nafasnya perlahan-lahan. Suaranya serak karena sakit tenggorokan. Apakah gadis ini akan mengenal suaranya?

"Eh.. Kalau tak jawab saye tutub je ni." Gadis itu mulai galak. Membuat Fathur terkekeh dan itu didengar oleh orang di seberang. "Ha! Siape ni? Panggilan dari lua negare pulak tu.. Eii awak tak takut pulsa awak habes ke?"[Ha! Siapa ini? Mana ini telpon dari luar negri lagi. Eh, kamu tidak takut pulsa habis ya?]

"Assalamualaikum." Fathur akhirnya berujar. Ia bangkit dan menuju arah jendela. Duduk di kursi sofa tanpa sandaran yang sengaja diletakkan di depan jendela. Lokasi paling favorite saat minum secangkir kopi.

Setelah mengucap salam tadi, gadis itu terdiam lama. Fathur bisa menebak bahwa Najia tahu bahwa dia yang menelpon. "Maaf Pak. Saya nggak tahu kalau Bapak yang telpon. Ada apa ya, Pak?" suara Najia berubah 180 derajat.

"Tidak ada." Fathur kebingungan memilih topik. Ia saja juga merasa aneh pada dirinya yang menelpon Najia.

"Kalau nggak ada apa-apa saya tutup telpon-"
"Kamu akan menikah?"
"Ha??"
"Harus saya ulangi pertanyaannya?" Fathur terbatuk karena tenggorokannya sakit. Najia hanya diam. "Tentu saja saya akan menikah. Kata Rheni Bapak akan lamaran besok ya? Gimana? Jadi pake chef dari restoran Ayah? Makanannya enak kan?"
"Kamu menangis?"
"Nggak.. Bapak jangan sok tahu." Fathur menunduk. Dadanya sakit, ia mendengar suara isakan tertahan dari sana. Mengapa ia harus menelpon Najia saat ini? Hanya untuk kembali menyakiti hati perempuan itu?

"Saya senang." dua kata itu akhirnya terucap dari mulut Najia setelah mereka berdiam diri beberapa menit.

"Kamu tidak menyukai saya lagi? Karena saya tidak ingin rasa itu ada."
Bodoh!! Kenapa kalimat itu yang keluar??

"Saya akan menikah juga. Tentu saya harus melupakan rasa cinta bodoh ini." Najia sedikit mulai tenang. Fathur mengulur rambutnya ke belakang, kembali menatap luar jendela. Dadanya berdetak namun terasa sakit. "Bagus lah kalau kamu akan menikah." lelaki itu mengigit bibir.

"Iya."
"Paling tidak orang itu akan pantas bersanding dengan mu dibanding saya."
"Pak? Bapak kira anda siapa yang bisa menilai pantas atau tidak pantasnya seseorang untuk saya?"
Mereka diam. Najia kembali mengeluarkan air mata.

"Hati saya. Saya yang punya. Saya yang tahu."
"Saya tidak pantas untuk kamu."
"Hah! Seandainya cinta saya tidak berlabuh pada laki-laki pengecut seperti Bapak. Mungkin tidak akan sesakit ini." Najia menarik nafas dalam, dan menghembusnya perlahan.

"Jika kamu mencintai saya, seharusnya tidak cepat bagi mu pindah kelain hati dan memutuskan menikah dengan orang lain."

"Jangan egois."

Fathur memejamkan mata. "Apa??" aku egois?

Najia keheranan karena Fathur tampak tak konsisten dengan ucapannya. Apakah lelaki ini sedang kacau?

"Oke saya akui sampai saat ini hati saya masih milik Bapak. Tapi apa gunanya, saya terlanjur malu. Harga diri saja jatuh. Bagi saya usia dan masa lalu bukanlah hal penting. Tetapi bapak terlalu pengecut untuk melangkah. Pasti mbak Luna merasa begitu dulu kan."

"Kamu? Tahu Luna?" Fathur kaget.

" Itu tidak penting. Saya tidak tahu rasa ini akan menghilang kapan. Tapi jangan khawatir. Saya tidak akan menganggu Bapak lagi. Bapak harus memaafkan masa lalu bapak. Mbak Luna pun pasti sudah memaafkan kesalahan itu. Semua orang punya kesalahan. Bukankan tidak ada manusia yang sempurna?"

"Najia."
"Tolong jangan sebut nama itu." Karena saya tidak akan sanggub menerima keputusan Bapak besok.

"Kamu masih menyukai saya. Cinta kamu hanya milik saya saja bukan?"

"Kamu jangan egois!!" teriak Najia keras. Ia menarik nafas tanda emosi.

Panggilan terputus begitu saja tanpa salam.

Fathur memejamkan mata. Ia kemudian mendial nomor seseorang.
"Halo, Ma.. Fathur mau bicara."

Tbc~

Segelas Cappuchino (End)Όπου ζουν οι ιστορίες. Ανακάλυψε τώρα