4. Mood Breaker

20.2K 2.4K 124
                                    

Happy reading 😊
.
.
.

Saat keluar kamar, aku menemukan Bangbi sedang berkutat di dapur. Dia masih memakai celana selutut dan singlet. Artinya, belum siap untuk ke restoran. Kulangkahkan kaki mendekat, lalu memeluknya dari belakang. Bangbi terkejut, tapi langsung berdecak geli saat tahu pelakunya adalah aku.

"Masak apa, Bangbi? Wanginya enak!"

"Tumis sawi, sambal goreng ati sama telur orak-arik." Bangbi mengaduk sebentar tumis itu dan membiarkanku mendusel-dusel punggung bidangnya. "Kamu udah siap berangkat emang?"

Aku bergumam, menempelkan pipi di sana. Memeluk abangku satu ini, merupakan kebiasaan yang tidak pernah membuatku bosan. Di antara dua abangku, aku memang lebih dekat dengan Bangbi. Tentu saja karena Bangrai memilih pendidikan asrama saat SMP dan SMA, kuliah pun di Jogjakarta. Sehingga tidak setiap hari bertemu denganku. Papa juga sibuk bekerja. Sehingga yang selalu memanjakanku di rumah hanya Mama dan Bangbi.

Usia Bangbi yang terpaut lima tahun dariku, membuatnya menjadi seorang abang favorit. Meski kadang jahil, tapi dia banyak mengalahnya. Dia juga lebih susah untuk memarahiku, di antara semua laki-laki di keluarga kami. Bahkan sampai sekarang pun, pelukan Bangbi selalu jadi favoritku, setelah Papa. Itu membuat Bangrai sering iri. Makanya, sejak bekerja aku senang-senang saja tinggal di apartemen. Kalau soal yang ini, Papa yang iri dan sok ngambek.

"Lepas dulu. Bantu pindahin ke piring."

Aku terkikik. Melepas pelukan, lalu bergeser untuk mengambil piring di rak. Kami menata meja bersama-sama. Tak lupa, aku mengambil salad di dalam kulkas dan menyajikannya dalam mangkuk.

"Kirain mau makan nasi."

"Nasi tetep kok. Tapi buat bekal aja." Aku menyengir.

Bangbi berdecak. "Nggak usah diet-diet segala kenapa, sih? Badan kamu itu udah kecil, Dek. Abang nggak suka ya kamu kekurangan nutrisi!"

"Ya ampun, Bangbi Sayang. Kekurangan nutrisi apa? Aku dietnya juga cuma pakai buah, kali. Nasi juga tetep makan, kan? Tapi nanti. Lagian, mana bisa sih aku nolak masakan Abang yang the best ini?"

Bangbi berdecak, meraup mukaku dengan telapak tangan besarnya. "Makanya kamu itu belajar masak dong, Dek. Sampai kapan coba mau dimasakin Abang terus?"

"Nanti, dong."

"Nanti kapan?"

"Kalau udah nikah."

"Kalau udah punya suami, baru mau belajar masak?"

Aku menggeleng. "Kalau udah nikah, nanti suami aku yang masakin."

Bangbi berdecak takjub, sementara aku terbahak-bahak. "Ya Allah, adik hamba gini amat. Ketuker kali ya dulu pas lahir?"

"Woy, sembarangan!" Aku memukul lengan Bangbi. Tapi Bangbi tak mau kalah, dan langsung memiting leherku. "Abang, lepas! Ini rambut aku berantakan, Abang!"

"Bodo. Biarin entar telat ke butiknya!"

"Abaaang. Udah cantik ini akunya. Ketek Abang bau asem, woy!"

"Biarin. Cium nih cium."

"Papa, Bangrai, tolongin princess!"

Aku terus teriak-teriak sambil berusaha melepas dekapan Bangbi. Tapi pria ini malah makin erat menaruh leherku di bawah ketiaknya. Lima menit kami bergulat hingga jatuh di sofa, masih dalam posisi berpelukan. Sampai suara bel membuat kami sama-sama menoleh ke arah pintu.

"Bukain sana, Bang."

"Durhaka kamu perintah-perintah orang tua!" Walaupun begitu Bangbi tetap bangkit juga, setelah sebelumnya mengacak-acak rambutku dengan semena-mena.

"Abaaang!"

Punggungku menyandar di kepala sofa. Bangbi kembali masuk setelah membuka pintu untuk seseorang yang mengekorinya di belakang.

Aku terkesiap, nyaris tersedak ludah. "B-bangcat...."

"Mulai sekarang Dave nebeng sarapan di sini, Dek." Aku mengernyit heran. Bangbi tersenyum lebar, menaikturunkan kedua alis. "Kasihan kali, Dek. Dokter ini jarang banget sarapan makanan rumahan."

Tatapanku beralih ke arah pria yang sudah hampir seminggu ini tidak kulihat. Kata Bangbi, dia sibuk di rumah sakit dan lebih memilih tidur di sana, daripada pulang ke apartemen. Pagi ini dia memakai pakaian hitam-hitam. Jeans hitam dan kemeja hitam slim fit. Sepertinya warna itu memang favoritnya. Kebanyakan pakaiannya memang warna hitam, entah itu formal atau yang santai.

"Kusut banget baju kamu." Bangcat menautkan kedua alis, menatap penampilanku yang berantakan. "Abis ngapain?"

"Hah?"

"Lo apain Agnes?" Bangcat melayangkan pandang ke arah Bangbi dengan sorot menuduh.

Abangku itu melongo sejenak, sebelum berdecak. "Apaan?"

"Lo apain Agnes sampai bajunya kusut gitu? Gue juga dengar tadi dia teriak-teriak."

"Elah, Dave, biasa aja kali. Sesama saudara bukannya udah biasa saling ngerecokin?" Bangbi lalu menarikku mendekat, tanpa aba-aba memberantakkan kembali rambutku. "Kayak gini."

"Abang!" Aku beringsut menjauh.

Bangcat mendengus. "Bocah banget lo. Dia mau kerja."

"Sensi amat lo. Bilang aja iri karena nggak punya adik." Bangbi tersenyum mengejek. "Udah sono sarapan, daripada ngurusin hal nggak penting gini. Gue mau mandi."

Bangbi bergegas masuk ke kamarnya. Bangcat beralih menatapku. Aku menundukkan kepala, sambil pura-pura sibuk menyisiri rambuh sebahuku.

"Nggak ada rok yang lebih pendek lagi?"

Aku mendongak. Bangcat berkacak pinggang. Menatapku dari atas ke bawah. Kutatap rok model A-line bermotif kotak-kotak yang membungkus kakiku. Ini rok paling pendek yang kupunya. Sebulan lalu diberi gratis oleh Ririn. Tadinya mau dipakai teman desainerku itu, tapi dia tiba-tiba berubah pikiran dan bilang kalau itu lebih cocok kupakai. Ya sudah, kan? Walaupun menurutku agak kependekan, karena dua sentimeter di atas lutut.

"Itu bajunya nggak bisa lebih tipis lagi? Biar lebih nerawang."

Mataku beralih ke blus biru muda lengan pendekku. Bahannya memang katun yang agak tipis. Tapi aku yakin dalamanku tidak kelihatan. Lagian, aku juga memakai tank top warna senada di dalam.

"Baju aku biasa aja kok ... Bang." Suaraku memelan di akhir kata, karena dia sudah menatapku galak.

"Pakai bikini juga sudah biasa kali buat kamu, ya? Telanjang aja sekalian."

"Hah?" Mulutku menganga. Rasanya ingin sekali aku mengolesi bibirnya dengan sambal buatan Bangbi. Biar pedas sekalian!

"Ganti baju."

"Hah?"

"Ganti baju, Dek." Mulai ngegas lagi. 

"T-tapi Bang ... aku nyaman pakai ini." Kuberanikan membalas tatapannya.

Dan matanya melotot. "Atau Abang yang musti gantiin?"

Secepat kilat aku berlari masuk ke kamar. Kusandarkan punggung di daun pintu, lalu menyentuh dadaku yang degupnya bertambah cepat. Sialan. Dia pikir dia siapa sampai berhak mengatur-aturku segala? Hanya karena aku kelihatan takut—yang sebenarnya memang iya—, dia jadi bisa bertingkah seenaknya? Bangcat bangsat!

Seminggu tidak bertemu kenapa mulutnya jadi pedas begitu, sih? Atau ... jangan-jangan dia marah soal pertanyaannya di dalam Miko waktu itu? Karena aku tidak menjawab? Haish! Harusnya waktu itu aku jawab jujur saja, kalau aku tak suka dengannya. Sangat tidak suka. Kalau perlu, ditulis capslock, italic, bold, dan underline. Biar jelas sekalian di telinga mood breaker itu!

















Walaupun setelahnya hidupku akan TAMAT.

***

Magelang, 27 Maret 2020

Direpost 21 Mei 2022

Aww-dorable You (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang