Dari Bayangan Hutan (12)

7K 1.3K 544
                                    

Jadi hari ini di Palembang udah diumumkan satu pasien +covid-19 dan tau nggak ...  Emak langsung stres,  asam lambung naik, migrain kumat, batuk juga ikutan kambuh.

Yes ini psikosomatis sih, normal apalagi  buat seorang ibu yang mengkhawatirkan anggota keluarganya. Tapi memang kayaknya emak perlu puasa medsos doakan Emak cepat pulih ya gaeys.

Puasa sosmednya gak berikut puasa wattpad kok. Wattpad tetep main kayak biasa dong ah!

So yang masih kangen Abang  Dewa dan Kana nih emak bawain part terbaru.

Ditunggu komen sama votenya yaaa ...

Aku terbangun dan sedikit merasa disorientasi dengan situasi sekitar saat menyadari kegelapan masih membungkus pemandangan di luar Istana Parimala.

Mau tak mau aku teringat lagi dengan apa yang Bang Dewa katakan tentang belantara aroma. Tempat ini memiliki kegelapan abadi sejak berpindah dimensi ratusan tahun lalu.

Meski demikian, dari aroma pohon dan bunga yang tercium tidak sekuat saat kami datang semalam aku bisa menebak kalau saat ini bisa disamakan dengan waktu siang hari manusia.

Aku ingat, setelah kehadiran Incik kami masih terus berbincang mengenai banyak hal sebelum keduanya memaksaku tidur setelah memberiku asupan makanan cair yang tercium seperti aroma sup jamur yang dibumbui rempah eksotik dari aneka jenis tumbuhan.

Meski Bang Dewa ingin aku pindah ke kamar, pada akhirnya keinginanku untuk tidur di bilik peranginan seraya tetap dia temani dikabulkannya.

Tapi saat aku membuka mata Bang Dewa justru tidak ada.

Perlahan aku bangkit dari posisi berbaring. Hal pertama yang aku lakukan begitu sudah duduk adalah menarik nafas dalam-dalam untuk merasakan jejak luka dalam yang masih tersisa di tubuhku.

Berbeda dengan sebelumnya, kali ini tarikan nafasku terasa lapang tanpa rasa sesak yang menekan di dada juga sakit di ulu hati. Berarti darah naga yang diramu Incik Kaseh untukku memang ampuh.

Aku kembali meraih gelas minumku dan menuangkan air embun dari kendi kaca. Rasanya yang segar, nyaris mirip natural sparkling water impor mahal yang hanya aku nikmati saat ikut jamuan makan malam di resto-resto mewah saat masih berstatus advokad magang di salah satu firma hukum papan atas Indonesia.  

Keadaan fisik yang lebih baik membuatku tertarik untuk menjelajah ruangan lain di dalam istana Parimala.

Pintu kayu berdaun ganda yang mengarah ke aula luas membuatku takjub begitu menyadari kalau itu ternyata bukan sekedar aula biasa melainkan ruang singgasana yang menjadi simbol kedudukan pemiliknya.

Seluruh ruangan di dominasi warna hitam dan keemasan. Pada karpet dan tirai, pada cushion pelengkap kursi-kursi pejabat istana, bahkan pada panji-panji bersulam pohon kehidupan, bintang dan sepasang harimau yang tergantung pada dinding di belakang singgasana yang terbuat dari emas dan bertatahkan mutiara dan batu mulia berwarna merah yang diapit dua patung harimau emas di sisi kiri dan kanannya.

Selagi aku berdiri mengagumi semua keindahan itu pintu disisi yang berlawan dengan tempatku berdiri terbuka dan kulihat Bang Dewa yang melangkah lebar-lebar diikuti dua orang laki-laki muda yang menggunakan pakaian melayu seperti yang umumnya dipakai pemuda-pemuda dalam upacara adat.

Melihatku membuat langkah ketiganya terhenti, Bang Dewa menoleh ke sisi kanan dan mengangguk pada pemuda yang lebih tinggi dari yang lain.

Jarak yang cukup jauh membuatku tidak mendengar suara mereka, dan setelah kedua pemuda itu berlalu menuju luar istana, Bang Dewa mendekatiku.

“Sudah bangun!” serunya heran. “Kamu kan baru tidur sebentar.”

“Aku sudah merasa lebih baik,” gumamku pelan. “Dan tertarik ingin melihat-lihat.”

Bang Dewa tersenyum tipis dan mengikuti arah pandanganku yang tertuju ke kursi singgasana.

“Bagaimana menurutmu?”

“Luar biasa. Apa Abang harus duduk di sana saat membahas urusan kerajaan?”

“Bukan kerajaan,” dengan cepat Bang Dewa membenarkan. “Wilayah Senepis setara dengan kadipaten seperti halnya Pakualaman dan Mangkunagaran di Jawa, sementara pusat kerajaan berada jauh di jantung Sumatera, dan sebagai penerus kedudukan Ayah yang sudah mengundurkan diri dari urusan pemerintahan, Abang memang harus duduk di sana.”  

Aku tersenyum canggung, “dulu setiap kali mendengar cerita-cerita tentang orang yang tersesat ke alam gaib, dan menemukan komunitas yang mirip dengan kerajaan masa lampau aku hanya menganggapnya sebagai pengkhayal kelas tinggi atau justru sedang mabok jamur.”

“Itu bukan reaksi yang mengejutkan,” Respon Bang Dewa datar. “Banyak manusia yang skeptis dengan keberadaan kami justru sangat menguntungkan.”

Kutatap dia tak mengerti, “kenapa begitu?’

“Karena keyakinan justru membuat manusia ingin mencari lebih dalam jejak keberadaan kami, dan percayalah … itu sangat menganggu,” Bang Dewa lalu membimbing langkahku mendekati singgasana.

Berdiri dari jarak dekat dengan tangga lantai tahta membuatku bisa melihat kalau warna hitam yang menghias belang pada patung harimau emas berasal dari batu onix yang disusun menyerupai corak bulu si kucing besar, sementara matanya terbuat dari sepasang batu yang warna juga coraknya seperti mata kucing.

“Bahkan dalam tahap paling sepele, gelombang kekuatan pikiran manusia yang tertuju ke kami bisa membawa efek getaran yang bisa mempengaruhi lingkungan disekitar hutan ini.”

“Lalu apa yang harus kalian lakukan untuk mengatasinya?”

“Ada banyak cara, pantulan energi pikiran adalah salah satunya,” Bang Dewa menepuk kepala salah satu dari dua patung harimau pengapit. “Terlihat seperti patung biasa bukan? Padahal nyatanya batu-batu ini menyerap gelombang apapun, termasuk gelombang pikiran manusia yang sifatnya halus.

Pada orang-orang pilihan, kami memberikan akses untuk masuk ke dalam dan menyerap segala jenis informasi yang mereka butuhkan, sementara untuk orang-orang yang memiliki niatan tidak baik lebih dulu akan kami deteksi dan selidiki, apabila membahayakan kami akan mengembalikan energi pikiran jahat itu lebih kuat berkali lipat dari semula.”

“Dan apa yang akan terjadi?”  

Pengantin BunianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang