5] b. Merengkuh Petaka

18.7K 1.8K 197
                                    

Setelah libur beberapa hari Emak balik lagi dear, maklumin ya, udah mau deket-deket hari raya Emak jadi sibuk bikin cemilan buat lebaran salam suasana psbb kali ini.

Kadang ada niat unggah pas sore eh malemnya udah keburu bobok sampe sahur 😔😔😔

Maklumin ya.

Lanjut lagi deh sama Bang Banyu yaaa ... jangan malea vote sama komen dong ya, oke selamat membaca.

Padmawangi mengikuti Banyu masuk ke aula Puri dengan langkah terburu. Lelaki bunian itu nyaris menyeretnya disepanjang jalan kembali dari taman. 

“Ada apa?” Padma bertanya keheranan, “Apa benar yang lelaki itu katakan? Ada mayat di sini?”

Banyu menghentikan langkah kemudian berbalik menghadapi Padma, tatapannya dingin tertutupi oleh kemurkaan yang membuat Padma terkesiap ketakutan.

“Kau tidak bisa mencium aroma padmawangi adalah pertanda memang itu yang terjadi.” Banyu menjawab pertanyaan Padma tanpa berusaha menyembunyikan atau memperhalus kenyataan.

“Teratai air padmawangi pasti telah menawarkan aroma mayat-mayat itu. Sial!” Banyu mengumpat keras kemudian kembali menarik Padma melangkah melewati selasar panjang yang menghubungkan aula utama dengan deretan ruang-ruang lain yang ukurannya lebih kecil.

Lelaki itu berhenti pada ruang terakhir di penghujung lorong dan mendorong pintu kaca yang ada di hadapannya.

Padma sedikit heran melihatnya. Ruangan dengan pintu kristal dan dominasi warna putih itu terkesan demikian berbeda dari seluruh bagian lain di dalam puri yang berwarna keemasan. Akan tetapi Padmawangi tidak bisa menahan diri untuk tidak merasa lega karena warna putih di ruangan itu memberi kesan terang yang tidak dia dapatkan di ruangan lain.

“Ini ruangan apa?” Padma bertanya keheranan.

“Kamarku.” Sahut Banyu singkat, lelaki itu melepas cekalannya di pergelangan tangan kanan Padma dan bergerak menuju salah satu bagian dinding yang ada di sana.

Padmawangi menatap sekitarnya terheran-heran. Ruangan itu sama sekali tidak layak di sebut kamar karena faktanya memang tidak terdapat tempat tidur di sana.

Hanya ada sofa mewah berlapis alas duduk berwarna senada dengan motif rumit yang disulam dengan benang emas.

“Aku tidak melihat ranjang di sini,” protes Padma pelan.

“Tidak ada bunian yang benar-benar butuh tidur di ranjang, Jelita,” sahutnya datar, tangan panjang Banyu menyentuh permukaan tembok di sana, meraba-rabanya dengan kehati-hatian luar biasa sampai menemukan permukaan bergelombang yang dia cari.

Saat dirinya menggeser pelan dinding tembok Padmawangi yang kebetulan memerhatikan terkesiap kaget melihat deretan senjata mengagumkan yang tersusun rapi layaknya benda pusaka yang tengah dipamerkan di museum.

“Jumlahnya bahkan lebih banyak di sini dari pada yang di depan!” Padma mendekat ke sisi Banyu dengan takjub. “kau pasti salah satu warlord di duniamu ini, iyakan?”   

“Warlord?”

“Panglima perang, penguasa yang memiliki kontrol atas pasukan yang hanya setia padanya, sebutan yang menyebabkan kau sampai bisa mengoleksi senjata sebanyak ini. Tuan Buaya.”

Banyu terdiam lama memandangi koleksi senjatanya. Wajahnya tampak terganggu dengan kata-kata Padma barusan meski demikian dia terlihat seperti sedang berkosentrasi memilih senjata yang akan dia ambil.

Melihat sikap diam Banyu Padma kembali melanjutkan kata-katanya.

“Beberapa kehidupan jelas dirancang khusus untuk orang-orang tertentu,” Padmawangi melanjutkan kalimatnya sambil berbalik dan mendekat ke arah sofa. “Biasanya aku memandang rendah pria-pria dengan kelakuan primitif sepertimu … tapi entah kenapa kekerasan justru cocok denganmu.” Gadis itu mengakhiri kalimatnya sambil menghempaskan diri ke sofa dan memilih untuk duduk menyamping menghadap Banyu yang masih terpaku di  depan etalase senjatanya.

Pengantin BunianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang