2] Kematian yang ditangguhkan

20.4K 1.9K 284
                                    

Hei dear, berhubung cuaca Palembang lagi kayak pacar ngambek, Emak dan anak-anak kena imbasnya.

So maafkan kalo unggahan nggak selancar biasa, dan untuk sementara properly in love sama PTM hiatus dulu, karena gak sanggup ini badan handle banyak.

Ya udah langsung aja serbu ini si Banyu, jangan lupa dukungan vote dan komennya ya. Semoga suka.

Padmawangi tidak tahu sudah berapa lama dirinya tertidur-atau justru tidak tidur-tapi semuanya seakan terjadi sudah selamanya.

Rasa panas yang membakar tiap inci anggota tubuhnya, terutama kepala, membuatnya ingin menjerit. Hanya saja, bagai lumpuh, dirinya tidak bisa melakukan apapun selain mendengarkan semua yang terjadi dari dalam kegelapan yang membelenggunya.

Setiap derit pintu yang dibuka dan ditutup dapat dihitungnya. Juga helaan nafas, pembicaraan para dokter, perawat, juga anggota keluarga yang mengunjungi. Namun diantara semua itu, Padmawangi bisa merasakan kehadiran 'sesuatu' yang lain,yang tidak meninggalkan jejak apapun, baik berupa suara, helaan nafas, aroma, atau bahkan suara nadi yang berdetak.

Tapi dirinya sepenuhnya tahu 'sesuatu' itu mengawasi meski kehadirannya tidak dapat dirasakan secara kasat mata di dalam ruangan tempatnya berada. Seharusnya dia merasa ketakutan, akan tetapi rasa penasaran justru mendominasi pikirannya.

Padmawangi sungguh ingin melihat sosok 'hantu' yang menemaninya itu.

Seakan mengerti keinginannya, Padma merasakan sang hantu mendekat. Hawa sedingin es terasa di punggung tangan kanannya, tepat di titik antara telunjuk dan ibu jari, rasa dingin itu mampu menenangkan kesakitan yang menghujam-hujam dari dalam.

Padmawangi ingin menyentuh rasa dingin itu. Menggenggam, agar semua kesakitannya bisa terhalau pergi.

Tekad membuatnya berusaha melawan ketidakberdayaan yang membekapnya, tapi upaya itu hanya terwujud dalam satu gerakan kecil jari telunjuknya yang membuat rasa dingin itu refleks menjauh.

'Jangan pergi!' Padmawangi memohon-mohon. Akan tetapi ... 'sosok' yang dia butuhkan sudah menjauh. Meninggalkannya pada kelam yang masih memenjarakan jiwa dan raga.

*****

Pintu kantor Tengku Raja terbuka dengan suara bantingan menggelegar bak diterjang tornado. Tengku Jingga muncul dari baliknya dengan wajah merah padam dan terlihat murka hingga membuat tiga pria yang ada di dalam ruang itu menahan nafas.

"Singkirkan dia sekarang juga!!" bentaknya berang.

"Oke, itu gampang" Tengku Raja yang cepat pulih dari kejutan itu bersuara seraya menggaruk dagunya bingung. "Tapi siapa yang harus aku singkirkan?"

"Siapa lagi! Buaya sialan itu."

"Oh!"

"Raja, aku tidak mau dia ada di apartemen kita. Kau tahu, Selat Malaka itu luas, tapi kenapa kau tempatkan dia di apartemen kita!"

"Jingga ... Banyu sekarang dalam pengawasan khususku."

"Oh, begitu!" Tengku Jingga menatap berang sepupunya. "Apa menyediakan berpuluh-puluh wanita panggilan termasuk pelayanan istimewa dalam pengawasanmu untuk tamu barumu?"

"Uh ... ehm, coba tanya dia," Tengku Raja yang seakan kehilangan kata-katanya menunjuk ke arah Traya Adikara yang duduk berhadapan dengan Tengku Saga pada sisi lain sofa tamu diruangan itu.

Traya Adikara mengangkat kedua tangannya ke atas, membuat gerakan seolah-olah dirinya menyerah pada gadis cantik jelita dihadapannya. "Aku berada di bawah ancaman keji saat melakukannya, Jingga."

Pengantin BunianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang