Naluri

35 7 12
                                    

Ibu kota, 1 Februari 2018
Mindy

Sedari bangun pagi hingga tiba di kelas, aku terus mengingat permintaan Fabian untuk menemuinya di pelataran atap sekolah. Belum ada satu pun dugaan yang menurutku tepat, perihal apa yang ingin ia tunjukkan padaku. Sikapnya yang suka tiba-tiba membuatku berekspektasi agak tinggi tentang itu.

Sementara itu, aku melihat Chaerin baru saja memasuki kelas. Momen ketika Wahyu menghampirinya kemarin kembali terlintas di benakku. Aku yang masih penasaran, lantas mencecah bahu gadis itu.

"Chaer," panggilku. Chaerin yang memang duduk di depanku menoleh.

"Kemarin Wahyu ngomong sesuatu ke lo?" tanyaku.

Chaerin tampak sedikit terkejut, kemudian mengangguk. "Dia nanya tentang anak X IPS 2 yang deketin lo itu."

Dugaanku kemarin terbukti benar. Mungkin Wahyu mengira pemuda itu kekasihku atau semacamnya, makanya urung bertanya langsung padaku. "Lo bilang gimana?" tanyaku lagi.

"Gue bilang, 'Siapa pun dia, enggak ada urusannya sama lo.'"

Chaerin menirukan gaya bicaranya kemarin, membuatku tertawa kecil. Kata-katanya terdengar cukup tajam untuk membungkam rasa penasaran Wahyu.

Gadis itu kembali sibuk dengan gawainya, sementara pikiranku masih terus berkelana perihal sesuatu yang ingin Fabian tunjukkan. Sungguh, aku penasaran. Semoga saja waktu istirahat segera tiba.

***

Kali ini, nasi tumis kacang panjang yang berpadu dengan tempe menjadi alasanku melewatkan kunjungan ke kantin. Begitu Ayu dan Chaerin meninggalkan kelas, aku buru-buru menuju pelataran atap sekolah. Tentu saja membawa bekal tadi dan sebotol minum. Aku tak ingin menahan lapar seperti tempo hari.

Meski semalam aku berucap pada Fabian untuk menemuinya sebentar saja, aku yakin waktunya lebih dari itu. Fabian tak akan membiarkanku pergi dengan mudah. Selain itu, aku belum tahu seperti apa hal yang ia tunjukkan. Ada kemungkinan aku tak ingin cepat pergi dari sana jika itu sesuatu yang menarik.

Sampai di pelataran atap, aku tak melihat sosok Fabian sama sekali. Hanya embusan angin yang menyambut dengan cara menerbangkan poni dan rambutku. Lantas aku duduk di salah satu kursi usang. Keempat kakinya masih lengkap, tetapi tidak begitu kukuh. Rasanya benda ini akan hancur kalau aku banyak bergerak.

Menikmati tumis adalah hal pertama yang kulakukan. Ini baru kali ketiga aku sempat memasak untuk bekal sekolah. Rasanya tidak buruk, membuatku bibirku tersenyum tanpa bisa kutahan.

Kau begitu sempurna. Di mataku kau begitu indah.

Aku tersentak saat mendengar sebuah suara yang tak asing. Mulutku secara otomatis berhenti mengunyah, memilih berfokus pada sosok pemuda yang kini bersenandung dengan semringah.

Kau membuat diriku akan slalu memujamu.

Melihat tangannya yang seolah-olah tengah memetik gitar, aku tertawa kecil. Pasti bukan kebetulan Fabian menyanyikan lagu itu untukku. Pertanyaannya, dari mana ia tahu itu salah satu lagu favoritku? Pemuda ini selalu penuh dengan kejutan.

Di setiap langkahku, aku kan slalu memikirkan dirimu. Tak bisa kubayangkan hidupku tanpa cintamu.

Senyumku mengembang tanpa bisa kutahan. Suara Fabian tidak buruk. Aku menyukai karakter suaranya yang dalam dan penuh perasaan dalam membawakan lagu.

Tolong Kak Mindy tetap di sini. Jangan beranjak meninggalkan aku. Ada hal yang ingin aku tunjukkan.

Sontak aku terkejut dengan lirik yang sepenuhnya berbeda. Jelas sekali ia sengaja melakukan itu.

Improvisasi yang bagus, Fabian.

Kak Mindy-lah darahku. Kak Mindy-lah jantungku. Kak Mindy-lah hidupku, lengkapi diriku. Sungguh Kak Mindy begitu ... sempurna.

Aku bertepuk tangan tanpa suara, mengapresiasi penampilannya barusan. Pemuda itu menggaruk belakang lehernya malu-malu, terlihat menggemaskan. Aku mengakuinya dengan jujur. Lagi pula, ia tak bisa mendengar isi hatiku.

"Jadi, itu yang mau lo tunjukin?"

Fabian menggeleng. "Ini baru awalnya."

Pemuda itu mendekat, memindahkan kotak bekal yang kupangku dan membantuku berdiri. Ada rasa seperti tersengat listrik kala jemarinya menggenggam tanganku. Aku tidak tahu perasaan apa ini, tetapi semakin lama terasa hangat.

Bolehkah aku berharap ini berlangsung lebih lama?

"Ini yang mau aku tunjukin."

Fabian membawaku mendekati sebuah meja yang tertutup kain. Aku memandangnya penasaran, sementara ia hanya menaikturunkan alis sebagai isyarat untukku menyingkap benda tipis itu. Mau tak mau, aku melepas genggaman tangannya.

Tak ada ekspektasi khusus dariku tentang apa yang tersembunyi di balik penutup itu. Karenanya, begitu benda tipis itu tersingkir, aku tak sanggup berkata-kata.

Apakah itu aku? Gadis yang terlukis dengan senyum cerah itu, benarkah itu aku?

"Kak Mindy suka?"

Aku masih mengagumi lukisan itu dalam diam. Gambar wajahku memenuhi sisi atas meja, membuatnya terlihat begitu besar. Setiap detailnya juga tampak indah. Tak kusangka Fabian juga ahli dalam bidang ini.

"Kenapa milk candy?" tanyaku, menyadari tulisan yang tertera di sisi bawah kanan. Semalam Fabian juga mengatakan itu via telepon, tetapi aku masih belum tahu maksudnya.

Fabian tak menjawab, padahal suaraku cukup lantang untuk ia dengar. Satu detik, dua detik, tiga detik ... aku akhirnya mendongak untuk melihat wajahnya.

Cup.

Aku tercengang. Fabian baru saja mencium pipiku tanpa izin! Apa maksudnya? Ini bahkan lebih mengejutkan daripada lukisan karyanya!

 Fabian baru saja mencium pipiku tanpa izin! Apa maksudnya? Ini bahkan lebih mengejutkan daripada lukisan karyanya!

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
No Longer | Park JisungWhere stories live. Discover now