Kesal

107 9 23
                                    

Ibu kota, 29 Januari 2018
Mindy

"Febiola Mindy!"

Aku yang tengah memainkan gawai lantas mendongak dan mendapati seorang siswa asing berlari mendekat. Bibirnya agak terbuka karena baru berlari, sementara matanya tampak takjub kala memandang wajahku dari dekat. Aku tak tahu apa maksud tatapannya sampai ia mendadak memelukku usai melirik nama yang melekat pada seragamku. Apa-apaan? Aku bahkan baru saja tiba di sekolah!

Tanganku lantas mendorongnya keras. "Lo gila, ya?"

Tak ada perkataan lain yang terlintas di benakku saat ini. Beruntung, waktu masih menunjukkan pukul 05.45. Sekolah masih sangat sepi sehingga hanya udara dan benda mati yang menjadi saksi bisu kami.

"Ah, maaf," ujarnya sambil menyatukan telapak tangan. "Aku senang kita bertemu."

Pemuda itu menggunakan bahasa yang agak formal. Entah apa maksud ucapannya, tetapi tindakannya barusan membuatku waswas. Memeluk seseorang tanpa izin, apalagi tak saling mengenal, bukankah itu mencurigakan? Lantas aku berlari menuju kelas, memilih abai pada pemuda aneh itu.

Aku sempat memastikan pemuda itu tak mengikutiku begitu sampai ambang pintu kelas, sedikit kesal karena pagiku yang tenang terusik. Tanganku terarah untuk memastikan debaran jantung yang rupanya masih cepat. Entah ini karena berlari atau karena pemuda itu.

Semuanya begitu tiba-tiba. Aku pergi ke sekolah seperti biasa tanpa ada firasat buruk. Bahkan, malamnya aku tak memimpikan hal aneh.

"Ajis Fabian ...," gumamku, mengingat nama yang tertera pada seragamnya. "Siapa dia?"

***

Suara sendok dan garpu yang beradu dengan mangkuk merebak hampir di seluruh penjuru kantin. Istirahat berlangsung sejak lima menit yang lalu. Aku duduk di samping Ayu, teman sebangku sekaligus kawan dekatku. Kami memesan menu yang sama, mi ayam dan teh hangat, sementara Chaerin yang juga kawan dekatku mengambil posisi berlawanan. Gadis itu memilih soto dan es rasa taro yang sebenarnya jarang sekali ia minum.

Sebelum aku sempat menanyakan alasannya, suara Ayu mengalihkan atensiku.

"Ferli! Sini!"

Perhatian Chaerin dari sesuap soto yang akan masuk mulutnya ikut teralihkan. Tangan Ayu melambai, memberi isyarat pada lelaki yang berada tak jauh di belakang Chaerin untuk menghampiri kami. Terhitung kurang dari lima detik, ekspresi Ayu berubah. Lengan yang tadi mengudara kini turun perlahan.

"Ferli kenapa?"

Chaerin menghela napas pelan. Aku yakin itu bukan pertanda baik.

"Kita putus," ujarnya tanpa minat.

"He?!"

Aku dan Ayu memekik bersamaan. Beberapa pengunjung kantin sampai memandang heran, tetapi kami tidak peduli.

Demi Tuhan, Chaerin pasti bercanda.

"Kok, gitu?" Ayu tampak kecewa, begitu pun aku. Kurasa inilah alasan mengapa Chaerin memesan es rasa taro.

"Katanya bosen." Chaerin memberi tanggapan di sela-sela menyeruput minumannya.

"Cuma itu?" Ayu melongo. "Namanya pacaran pasti ada jenuh. Gue juga enggak sekali dua kali bosen sama Bimo."

"Oh, gitu? Kok, enggak pernah bilang?"

Kursi kosong di samping kiri Ayu tiba-tiba terisi. Lelaki yang baru tersebut namanya menyahut. Di tangannya ada sepotong kebab mini, sedangkan tangan satu lagi membawa sebotol air mineral. Terlihat sekali kudapan dan minuman itu baru dibeli.

No Longer | Park JisungWhere stories live. Discover now