Mengetahui

50 8 10
                                    

Ibu kota, 31 Januari 2018
Ajis

Bel istirahat baru saja berbunyi. Aku kembali bersantai di pelataran atap sekolah usai mengunjungi kantin dan ruangan ekstrakurikuler seni lukis. Tak ada tujuan khusus ke sana, hanya ingin melihat-lihat lukisan siswa dan siswi sekolah ini.

Ada satu benda yang menarik perhatianku saat masuk ruangan itu, yakni sebuah gitar. Bukan gitar biasa, melainkan gitar milik Mindy. Entah bagaimana bisa benda itu ada di ruangan khusus seni lukis. Mungkin Mindy anggota ekstrakurikuler ini atau ada teman dari ekstrakurikuler ini yang meminjamnya. Apa pun itu, kini benda tersebut ada padaku. Kurasa aku bisa bertemu Mindy kalau membawa gitar ini.

Jujur saja, aku tak bisa menahan tawa karena terlalu senang. Walau aku tahu Mindy pasti marah nantinya mengetahui aku mengambil benda ini tanpa izin.

Aku memindahkan gitar ke pangkuan seraya memetik senarnya perlahan. Suaranya masih bagus. Pasti Mindy sering memainkan benda ini.

Sudah lama rasanya sejak terakhir aku memainkan gitar. Jari-jariku terasa kaku, tetapi perlahan mulai terbiasa. Aku mencoba memainkan lagu yang mudah sebagai pemanasan. Namun, belum sampai lagu itu berakhir tiba-tiba terdengar derap langkah kaki yang terburu-buru. Aku mendongak, mendapati sang pemilik gitar tengah memandang penuh marah. Mulutku sampai menganga tatkala ia mencoba merebut gitar yang tengah kudekap.

"Siapa bilang lo boleh minjem ini?"

Aku mengedikkan bahu santai, masih mempertahankan gitar dalam dekapan. "Enggak ada."

"Masih aja dipakai!" Mindy tampak begitu kesal. Volume suara gadis itu lebih keras dari saat kami bertemu kemarin. Tak kusangka ia akan semarah itu.

"Sengaja, biar Kak Mindy marah," ujarku sambil menyerahkan gitar padanya. Kulihat kening Mindy mengerut. Mungkin, ia berpikir aku gila karena ingin melihatnya marah.

"Seneng, ya, lo bikin gue emosi!" Tangan Mindy meremas gitar cukup kuat, seakan-akan ingin memukul kepalaku dengan benda itu. Aku lantas beranjak, sengaja sedikit merunduk untuk mendekatkan wajah padanya.

"Apa?" Gadis itu membentak.

"Bukannya Kak Mindy mau mukul aku?" tanyaku percaya diri. "Pukul aja," kataku seraya memejamkan mata.

Selama beberapa detik, tidak ada yang terjadi. Aku tertawa dalam hati. Mindy tentu tidak benar-benar berani melakukannya.

"Adududuh!"

Tepat saat aku membuka mata, Mindy mencubit pipiku dengan satu tangan. Gadis itu terus menariknya dengan gemas, bahkan sambil menggertakkan gigi. Aku rasa itu luapan rasa kesalnya padaku sejak kemarin. Puas membuat pipiku merah, Mindy lantas berhenti. Ia membuang napas kasar tanpa menoleh padaku, sementara aku sibuk mengusap-usap pipi untuk mengurangi rasa sakit. Ternyata benar bahwa gadis yang sedang marah besar bisa bertindak kasar.

Sebelum aku sempat berkata lagi, Mindy lebih dahulu menjauh. Aku tahu gadis itu akan meninggalkan pelataran atap, tak ingin berlama-lama denganku. Meski begitu, aku meraih tangannya sebelum benar-benar mencapai tangga.

"Apa lagi?" Gadis itu membentak lagi. Sebelum kemarahannya kembali meledak, aku buru-buru meraih sebungkus biskuit cokelat dari saku celana seragam.

"Buat Kak Mindy," ujarku sembari menaruh biskuit ke genggamannya. Aku tahu Mindy menyukai camilan itu.

"Enggak usah!" Gadis itu langsung menolak.

"Udah, Kak Mindy ambil aja. Itu tadi stok terakhir di kantin," ucapku jujur. Kuharap ia menyadari aku tulus memberikan ini.

Gadis itu terlihat ragu-ragu sebelum akhirnya menarik kasar biskuit yang kuulurkan.

"Makasih," ucapnya ketus, seperti kemarin ketika berterima kasih perihal jasa antar pesananku.

Setelah itu, Mindy menuruni tangga dengan terburu-buru. Tanganku tak menahannya lagi. Aku hanya ingin gadis itu memakan biskuitnya begitu sampai kelas.

 Aku hanya ingin gadis itu memakan biskuitnya begitu sampai kelas

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
No Longer | Park JisungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang