20. Desta

305 50 11
                                    

Sebenarnya aku malas menemui Sherin sekarang. Apapun yang mau dia bicarakan, bisa lewat telepon, atau besok saja ketika bertemu lagi. Alasan lain, aku sudah mau pulang membawa Hesti. Aku bahkan sudah merencanakan mau mengajaknya makan bakso dadakan nanti ketika melintasi gapura kompleks margerejo.

Namun, Sherin memaksa dengan lambaian. Aku sungkan untuk menolaknya. Bagaimana pun juga dia senior.

Menghampirinya, aku memasang wjaah ramah dan tersenyum santai. "Ada apa, Kak?"

"Mau ngomong hal penting. Ganggu nggak?"

"Nggak kok, nggak sama sekali."

Dia mengintip melalui atas pundakku. "Widih, mau ke mana sama Hesti?"

Gugup aku tertawa. "Nggak ke mana - mana, kak."

"Waah terus, kenapa bisa duduk di motormu tuh? Apa kalian jadian?"

"Enggak kok, bukan begitu." Kok jadi aku yang harus panik? "Ibunya nyuruh antar jemput ke sekolah."

"Dibayar berapa sampai mau dijadiin supir gitu? Aku daftar boleh? Pengen diantar jemput juga."

"Hah?" Kaget aku mendengar pertanyaannya. Kenapa bisa ke sana arah pembicaraannya?

Sherin menahan tawa. "Kamu lucu kalau panik. Mirip sigung. Nggak kok, aku cuma bercanda aja. Tapi, kalau kamu mau ya nggak apa - apa."

Aku bingung harus apa sekarang kecuaki tertawa bersama Sherin. Ketika aku mau mengecek Hesti di motor, Sherin lanjut bicara.

"Gini loh, aku mau beli buku pelajaran buat semester baru. Kamu mau ikut nggak?"

"Beli buku? Maksudnya buku paket?"

Sherin mengangguk. "Kalau beli banyak, bakal dapay diskon. Nah, kan kamu belum beli buku paket. Sekalian aja sama aku. Ntar aku rekomendasikan buku yang bagus buat tambahan, gimana?"

Aku mau menoleh ke belakang, mengecek Hesti, tapi lagi - lagi sherin bicara.

"Mau nggak? Kalau mau, kita nggak sendiri kok. Ntar banyak yang ikut."

Aku pinya rencana mau mengajak Sherin beli buku. Sekalianbmenjelaskan semua masalah yang terjadi jaman kita masih kecil dulu. Tapi, menolak tawaran Sherin juga nggak enak.

"Ajak Hesti, boleh kak?" tawarku.

"Hesti? Hmmm gimana ya...."

"Kan katanya makin banyak, ntar daoat diskon. Aku yakin dia juga belum punya rencana beli buku."

"I-iya nggak apa - apa. Takutnya cuma, dia mau naik apa beli buku? Nggak ada bus kota ke arah Tioga Mas Surabaya."

"Gampang, ntar aku bonceng."

"Lah rencanaku malah mau menghemat bensin, bonceng kamu....."

Sudah terbaca sekarang, apa tujuan Sherin mengajak beli buku. Emang ya, jadi cowok ganteng tuh susah - susah gampang. Selalu jadi rebutan cewek. Ganteng tuh anugerah apa kutukan, sih?

"Desta. Mau ya, please, biar hemat bensin aku tuh. Ntar Hesti suruh nitip buku aja, gimana?"

"Iya deh iya. Sabtu?"

Sherin mengangguk. "Sabtu. Oke deh. Aku pulang dulu ya. Kalau butuh apa - apa, bisa hubungin aku. Nomorku kamu simpan, kan?"

Nggak sih. "Iya aku simpan kok."

Aku melepas kepergian Sherin dengan lambaian dan senyum. Setelah semua usai, aku menghela nafas. Aku kenal tabiat Hesti. Dia pasti marah. Bagaimana cara meredam amarah si cewek bar - bar.

Ketika berbalik, aku mendaoati notorku parkir tanpa ada Hesti. Halte bus pun dipenuhi Mahasiswa dan beberapa orang berseragam SMA.

"Hesti? Hesti!" Aku mengangmbil helm yang tadi dia kenakan. Ingin banget aku melempar helm. Tapi, harganya mahal.

Aku memukul mukul jog motor, memejam sejenak. Pasti dia kesal menunggu lama dan pulang naik bus.

Setela kejadian itu Hesti kembali cuek kepadaku. Beberapa kali aku melihatnya di teras rumah, tapi dicurkin.

Esoknya, aku menunggu dia di baeah pohon Mangga buat mengantarnya ke sekolah. Dia duduk santai di teras.

"Heeh, ayo, ntar telat." Satu jam aku menunggu. "Mau naik motor apa berangkat sama Dian?"

Dia diem sambil main HP. Apa nggak nyebelin? Aku menunggu lama di motor, setidaknya beri kepastian dia mau berangkat sama aku apa nggak.

Ketika Dian datang, dia sumringah menghampirinya dan mereka pergi tanpa memperdulikanku. Nih cewek bar bar maunya apa? Aku lebih senang kalau dia teriak - teriak maki - maki aku daripada didiemin seperti ini.

"Hesti, kamu kenapa sih?" Aku menghalangi langkahnya. "Aku nunggu lama, loh. Kemarin kenapa ngilang gitu aja?"

"Dian, kamu nyium bau kotoran nggak? Terus kok ada suara aneh ya? Kayak suara kucing ngeong gitu?"

Dian cekikikan. "Nggak kok, nggak dengar. Harum kok, nggak kayak kotoran."

Hesti nyelonong begitu saja sama Dian. Sebelum pergi, aku menangkan lengan Dian.

"Temanmu kenapa?" tanyaku.

"Ya nggak tahu. Coba deh, kamu tanya pada diri sendiri. Kira - kira kenapa. Uhm, berapa lama nunggu Hesti di sini?"

"Sejaman ada...."

"Nggak enak, kan?" Dia ketawa, pergi mengejar Hesti.

Aku udahan ngejar mereka. Aku udah tahu alasan dia cuek dan itu mengocok perutku.

Selama di sekolah dia cuek, dingin seperti Es. Dia seperti jijik melihatku, selalu membuang muka ketika berpapasan. Bahkan ketika aku menunggu di halte untuk mengantarnya pulang, dia tetap cuek. Cewek emang begini kalau ngambek. Lucu juga, padahal kita bukan sedang pacaran, loh.

Aku memberanikan diri menghampirinya di halte dan seperti biasa dia membuang wajah.

"Dian. Kamu udah beli buku belum?" tanyaku. Aku tahu, Hesti pasti mendengar.

Yang ditanya kaget, hingga keselek teh. "Beli buku paket? Belum, rencananya mau jalan sama Hesti. Kenapa? Mau ikut?"

Hesti bicara, "Dian ungat ya, kita perginya sama cewek cewek doang. Jangan ajak cowok apalagi bawa kucing. Ntar ngerusak acara kita."

"Tuh, denger," Dian senyum lebar.

"Sebenarnya aku mau ngajak kamu sama teman - temanmu beli buku hari Sabtu ini. Ada tempat berdiskon gede banget. Lumayan, kan. Uang sisanya bisa buat beli bakso. Kamu mau ikut nggak?"

"Beli bakso Hesti beli bakso." Dian menghoyang goyang lengan Hesti. "Ikut Desta aja, yuk. Enak loh, makan bakso."

"Apaan sih, bakso bakso. Ntar gue beliin bakso kalau ku mingkem!" Si bar bar mulai ngamuk.

"Kalau minat, ngumpul pulang sekolah di gapura. Ntar berangkat sama - sama." Aku punya ide buat manas - manasin Hesti. "Dian, kamu mau nggak aku anter pulang. Nih ada helm nganggur."

"Eh, boleh boleh. Sore ini rame, bis penuh, ntar kayak kemarin ketemu om om genit." Dian ngambil helm aku, sambil ngelihatin Hesti. "Ti, ini ada helm, mau naik bus ala naik motor?"

Tanoa banyaj bicara, Hesti melomoat bersama om om dan beberapa murid SMA, naik bus yang berhenti di halte.

Aku terkekeh ketika Dian memakai helmku. "Kamu bawa motorku pulang kayak kemarin, aku pulang nemenin Hesti naik bus."

Dian nengerti apa maksudku. "Kamu mending minta maaf. Hesti beneran ngambek, kemarin nunggu kamu lama banget."

Aku mengangguk. "Yaa, nggak enak banget nunggu orang."

Ketika aku hendaj naik, kernet bus mencegahku. "Penuh penuh."

"Pak, tapi temenku---"

"Penuh!" Kernet menepuk nepum body bus dan bus pun pergi tanpaku.

Untubg Dian belum cabut. Dia menyodorkan helm kepadaku.

Susah banget ternyata, berurusan secara langsung sama cewek barbar.

****
Jangan lupa vote, ya.

Magnetic LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang