SEPULUH: Lengah

Start bij het begin
                                    

Baru ketika hanya berjarak dua langkah, aku tahu siapa orang itu.

"Loh, kakak asistennya kak Indira kan?" ujarku.

Ia menoleh, separuh terlonjak.

"Lagi ngapain kak?" tanyaku.

"I..ini.." ujarnya menunjuk mesin minuman itu.

"Bukan, maksudku di kantor polisi?"

"Oh, itu.." Suaranya terbata-bata. Seperti menyimpan banyak kata di lidahnya.

"Iya?"

"Itu, mau lapor kehilangan" jawabnya akhirnya setelah sekian menit berlalu. "Dompetku kecurian" ujarnya lagi.

"Oh, kapan?" tanyaku.

Tapi belum sempat pria itu menjawab. Mas Bayu sudah menjerit memanggilku.

"Lyd, ayo pulang" ujarnya.

"Tuh kamu sudah disuruh pulang" ujarnya. "Nanti lagi ya..." ujarnya sambil tergesa-gesa pergi. Kakinya sampai beberapa kali menabrak ujung pegangan bangku tunggu yang bersandar di dinding koridor itu.

"Siapa?" tanya mas bayu yang sudah sampai di dekatku.

"Itu, duh siapa ya namanya aku lupa" ujarku tersenyum kecil.

"Ya, sudah, yuk pulang"

***

Beberapa hari kemudian

"Loh, mau kemana mas?" tanyaku melihat mas Bayu buru-buru turun dari lantai 2. Bahkan jaketnya dipakai sambil menuruni anak tangga itu.

"Eee, nanti saja ya mas jelasin, belum pasti soalnya" jawab mas Bayu singkat.

"Apanya?" tanyaku masih penasaran.

"Nanti saja!" bentaknya. "ya..." Suaranya melembut ketika sadar ia baru saja mengeluarkan suara yang cukup keras. Tak seperti biasanya.

"Mas mau ke rumah pak Oji" ujarnya.

"Eh, aku ikut saja ya?" ujarku menawarkan diri.

"Kemana?" tanyanya bingung kali ini.

"Itu, ikut mas Bayu lah" jawabku. "Kayaknya ada yang gawat"

"Pakai motor?"

"Iya, gak apa" ujarku. "Kafe juga sepi, nanti aku titip kunci ke anak yang piket saja kalau kita kesorean pulangnya"

Mas Bayu hanya mengangguk dan berlari ke parkiran, mengambil motornya.

Sepanjang jalan, ia tak bicara apapun. Hanya fokus ke depan jalan.

Entahlah, apa pikirannya saat ini juga sefokus wajahnya. Sebab dari caranya membawa motor secepat ini saja, aku tahu ada yang sedang dipikirkannya.

Ada apa memang dengan pak Oji?

Sebegitu cepatnya mas Bayu, kami bahkan sampai ke rumah pak Oji hanya dalam waktu 2 jam. Padahal dengan jarak sejauh ini dan juga menghitung jumlah lampu merah yang dilalui, normalnya kami sampai ke sini 3 jam setengah.

Belum sampai betul ke halaman rumah pak Oji, mas Bayu buru-buru memarkirkan motornya dan lompat ke arah pintu.

Tok-tok-tok

Tak ada yang menyahut. Bahkan hanya sepi yang kami dapat. Kami bergegas mengelilingi rumah, tapi tetap saja tak terlihat adanya aktivitas di dalam rumah.

Mobil pak Oji ada, masih di depan rumahnya. Meskipun memang ada yang janggal dengannya. Daun-daun rontok dari pohon di pinggir jalan tampak memenuhi halaman rumahnya. Bahkan kaca depan mobilnya.

BRAKKK...

Tanpa pikir panjang lagi, mas Bayu menghantamkan bahunya ke daun pintu hingga berhasil terbuka hanya dalam satu kali percobaan. Kami menghablur ke dalam, tapi tetap saja sama, tak ada siapa-siapa, semuanya tampak normal saja. Bahkan tak ada bekas perampokan atau semacamnya. Semuanya tampak normal.

"Pak Oji kemana?" tanyaku bingung.

"Sudah sejak kita pulang malam itu" ujar mas Bayu membuka cerita yang dari tadi hanya dibilangnya nanti saja itu.

"Loh, ku pikir pak Oji menginap di rumah mas"

Aku ingat betul setelah mengantar aku dan Lilia malam itu, hari sudah pukul 2 malam. Mas Bayu tak mungkin melepas pak Oji pulang. Apalagi dengan kondisi pak Oji yang sudah berumur itu, untuk mengendarai mobil sendiri.

"Harusnya aku melarangnya pulang" ujar mas Bayu lagi. Ia membanting tubuhnya di sofa.

"Oh, coba kita tanya ke tetangga lain" ujarku.

"Kau benar" ujar mas Bayu yang langsung mengambil aba-aba lari keluar rumah.

Hampir satu barisan rumah di sana kami tanyai. Tetap saja tak ada yang tahu.

"Ayo pulang!" ujar mas Bayu dingin.

Aku tahu dia sudah putus asa dan kebingungan juga.

"Tapi pak Oji?" tanyaku yang kini mulai merasa kesal karena tak juga menemukan kejelasan keberadaan pak Oji.

"Sudahlah, lapor polisi saja" ujarnya, pasrah.

***

Di sepanjang jalan pulang, Mas Bayu kembali tak bicara apa-apa seperti sebelumnya ketika kami pergi. Tapi kali ini, ia nampak lesu.

Setelah membuat surat laporan kehilangan, kami kembali ke kafe.

Kak inidira yang nampaknya baru saja habis makan siang di kafe langsung berjalan menghampiri kami.

"Kenapa Bay? tanyanya. Tapi mas Bayu tak bilang apa-apa. Ia hanya segera berjalan naik ke kantornya meninggalkan kami berdua.

"Dia kenapa Lyd?" tanyanya bingung.

"I...itu kak, kami tadi habis dari rumah pak Oji"

"Kenapa pak Oji?"

"Pak Oji hilang kak" jawabku.

"Kok bisa?" tanya lagi. "Pak Oji belum pikun kan?"

"Setahuku tidak kak" jawabku sekenanya.

AAArgh....!

Aku dan kak Indira saling bertatapan mendengar suara jerit kesal itu. Suaranya berasal dari ruang kantornya. Terdengar suara menjerit keras, suara mas Bayu.

Tanpa pikir panjang lagi, aku dan kak Indira berlari cepat ke atas.

Mas Bayu tampak begitu kesal. Wajahnya benar-benar memerah. Aku hanya melihat ke arah ponsel di atas kursi yang masih menyala. Lantas mengambilnya.

Sebuah pesan yang nampaknya baru saja dibuka di ponselnya. Mungkin juga itu penyebabnya mejerit keras.

Jangan libatkan polisi,

atau mungkin ayah angkatmu ini bisa jadi tambahan koleksiku.

Tubuhku bergetar hebat menatapi isi tulisan itu. Pesan ini seolah menjawab dua hal yang kami risaukan sejak beberapa minggu yang lalu. Pertama, keberadaan pak Oji. Dan kedua soal pak Adri yang telah kembali lagi.

"Jadi selama ini mas Bayu sudah mendapatkan pesan dari pak Adri?" tanyaku memastikan.

Ia hanya mengangguk, tapi tampak jelas di wajahnya raut kesal.

Apa yang harus kami lakukan untuk menyelamatkan pak Oji?

Pikiranku benar-benar tak dapat bekerja kali ini. Apalagi setelah membaca semua pesan-pesan dari pak Adri.

*** 

THE STITCHES (Sibling 2nd season)Waar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu