SEMBILAN BELAS

219 41 4
                                    


Bayu POV


Akhirnya setelah seluruh drama tak penting semalam, aku sampai rumah pukul 4 subuh. Rasanya benar-benar tak nyaman kalau harus menetap di rumah bu Nino barang sebentar saja. Terkadang aku tak paham kenapa pilihan yang harus diambil dalam hidup tak pernah mudah. Aku tahu bu Nino menyayangi adiknya, tapi ia mengorbankan banyak hal, termasuk membunuh banyak orang.

Lydya menatapku bengong dari ujung lorong. Mataku benar-benar bengkak karena tak bisa tidur di sepanjang perjalanan pulang. Ia berjalan dari dapur sambil membawa 2 cangkir kopi hangat, seperti sudah tahu kalau aku akan pulang jam segini.

"Bagaimana mas?" tanyanya.

Aku mengangguk. Lalu terduduk antara lemas, bingung dan benar-benar mengantuk.

"Apa yang iya?" tanyanya sambil menaruh satu cangkir kopi di atas meja dan mengaduk satu cangkir lainnya. "Indira adalah Adri?"

Aku mengangguk sambil mengulurkan tanganku berusaha meraih cangkir kopi di atas meja. "Itu kopi untukku, kopi susu, kau jelas tak menyukainya"

"Oh" ujarku mengurungkan niat. "Itu?" tunjukku pada cangkir kopi di tangannya.

"Tunggu dulu, belum selesai diaduk" jawabnya. "Lalu, bu nino benar kakaknya Indira?"

Aku mengangguk lagi. Fokusku saat ini lebih ke kopi di hadapanku. Rasanya aku butuh minuman itu untuk mengembalikan semua kesadaran yang terpecah-pecah tak karuan ini.

"Berarti ia membunuh ratma?"

Aku mengangguk lagi. Kali ini dengan wajah sememelas yang aku bisa meminta cangkir kopi itu dari tangannya Lydya. "Lyd, kopiii..." ujarku memohon.

Ia sedikit terkekeh. "Lalu pak Oji?"

Aku mengambil beberapa tegukan kopi hangat itu. Aromanya seperti pijatan di sekujur tubuh. Ahh, setidaknya aku masih bisa menikmati kopi hangat lagi hari ini.

"Mas, kok malah tersenyum sih!"

"Eh, iya tunggu dulu. Ini kopinya enak loh" kataku sambil tertawa.

"Jadi gimana?" tanya Lydya yang masih tak henti menaruh penasaran.

"Dia tak memberi jawaban apapun" balasku.

"Kalau gitu kita tak bisa berbuat apa-apa sampai ada clue dimana pak Oji"

"Pagi semua" Lilia keluar dari kamar dan bergabung bersama kami. Aku baru sadar anak itu juga masih tinggal disini.

"Aku ingin meminta bantuan polisi"

"Nah, akhirnya, kenapa tak dari dulu saja sih mas?" Lydya tampak begitu semangat.

"Sejujurnya, kemarin rasanya masih ada harapan kalau ini bisa diselesaikan baik-baik"

"Kau seperti Ratma" celetuk Lilia. "Kenapa orang sejahat pak Adri masih terus dapat pengampunan dari banyak orang?"

"Maksudnya?" tanyaku bingung dengan istilah pengampunan yang digunakannya.

"Mas Bayu, Ratma, kalian memberinya peluang untuk terus menjadi jahat hanya karena berharap ia bisa berubah, kan?"

"Bu nino juga" tambah Lydya.

Aku tak bisa menjawabnya. Tanpa disadari aku melakukannya. Satu-satunya alasan aku tak memberitahukan hal ini pada polisi, aku takut terjadi hal sama pada pak Oji seperti pada Ratma dulu. Bagaimana kalau Indira tahu kalau kami membawa polisi? Bagaimana kalau ia langsung menghabisi pak Oji?

"Mas, tentang polisi tadi..." ucap Lydya.

"Tunggu dulu..." ujarku.

"Apa? enggak jadi?" Lilia kembali bersuara.

"Kita harus mengamankan pak Oji dulu, baru meminta bantuan polisi"

"Lah, kok?"

"Aku tak tahu siapa saja yang membantu Indira, tapi ia selalu mendengar rencana kita" jelasku.

"Ratma, pasti dia yang menguping" ujar Lydya. "Kenapa harus berurusan dengan hantu bodoh sepertinya sih, kita sudah cukup sulit dengan orang gila yang masih hidup"

"Atau orang lain juga, terakhir kali aku diculik dari apartemenku, ada banyak orang yang menjadi anak buahnya" jelas Lilia. "Ia jelas tak sebodoh itu bergerak sendirian" jelas Lilia.

Aku mengangguk setuju. Melihat bagaimana kejahatan Indira bisa serapih ini tak tercium oleh publik, jelas sekali ada banyak orang yang bekerja sama dengannya.

"Pokoknya, kita pikirkan cara menyelamatkan pak Oji dulu" ujarku.

DING!!!

Pesan masuk ke ponselku. "Akhirnya..." ujarku bersorak.

"Kenapa mas?" tanya Lilia dan Lydya bersamaan.

"Bu nino memberi alamat pak Oji" jelasku tersenyum.

"Dimana?" tanya Lydya.

"Gudang bawah tanah kantor Indira" ujarku sumringah. Akhirnya ada yang bisa segera kami lakukan. Membayangkan pak Oji selamat saja aku rasanya sudah bahagia.

"Tunggu dulu, kami berdua dari dalam sana, rasanya tak ada orang lain selain jasad di atas meja" jelas Lydya.

Lilia mengangguk ragu. " kau tahu kan aku hanya ketakukan sepanjang waktu disana"

"Ayo bersiap dulu" ujarku berusaha meyakinkan.

DING!!!

Pesan masuk lagi dari Bu Nino.

Jangan kesana, ia menjebakmu.

"Apa ini?" tanyaku kesal.

"Kenapa lagi, mas?" tanya Lydya bingung melihat raut wajahku seketika berubah drastis dari bahagia kembali kesal.

"Ada dua pesan berbeda"

"Ini seperti waktu itu" jelas Lydya. "Kau ingat kita dulu pernah tertipu karena pesan-pesan ini?"

Aku mengangguk. Mengingat bagaimana nyawa kami berdua hampir melayang di rumah keluarga Lydya dulu.

"Kita harus hati-hati" ujar Lydya lagi. "Orang gila itu punya banyak sekali cara"

Mana yang harus kupercaya? Sampai detik ini yang ku tahu dua-duanya pembohong. Rasanya sekarang keduanya sama saja, tak ada bedanya.

***

THE STITCHES (Sibling 2nd season)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang