SATU: Surat Kaleng

1.8K 91 12
                                    

Senja Bayu POV

Tanganku berhenti mengusap layar ponsel, beranjak menatapi wajah gadis yang duduk bersebrangan denganku. Ia tertidur di bangku kereta sambil memeluk tas ransel berwarna biru tua miliknya. Ia sudah seperti adik perempuanku sendiri, mengingat dirinya yang bernasib sama denganku, sudah tidak punya siapa-siapa lagi. Kami seperti saudara satu nasib.

Hanya bedanya, keluarganya direnggut oleh penjahat seperti pak Adri. Seorang psikopat yang saat ini keberadaannya entah kemana. Tapi setidaknya, 3 tahun berlalu dengan baik-baik saja. Nama dan wajah pak Adri bahkan sudah sedikit memudar dari kepalaku.

Dua jam perjalanan kami dengan kereta dari tempat kakaknya Lydya dimakamkan ke Jakarta jelas melelahkan. Sudah pukul 4 sore dan ini masih separuh perjalanan lagi. Kereta sore nampaknya jauh lebih ramai. Aku masih belum mendapatkan bangku kosong sejak pertama masuk tadi. Tapi setidaknya untuk berdiri masih terasa nyaman. Tidak seperti biasanya yang selalu berdesak-desakan.

Lydya masih saja tertidur. Aku tahu lelah yang kami dapat dari perjalanan ini bukan hanya karena jauhnya perjalanan kami, tapi lebih kepada kenangan yang harus diulang lagi. Tentang semua kejadian menakutkan yang membuat kami trauma. Terutama bagi Lydya yang hampir separuh kehidupannya di rumahnya dulu dihabiskan bersama arwah saudarinya, yang bahkan tak tahu jika ia sudah tiada.

Ku arahkan kamera ponselku ke wajahnya. CKREKK...

"Kau memotretku?" tanya Lydya yang terbangung karena suara kameraku hidup.

"Itu satu-satunya cara agar kau terbangun" ujarku mengalihkan pembicaraan.

"Hapus fotoku" ucapnya geram tapi tak beranjak dari tempat duduknya. Tubuhnya jelas masih limbung karena terbangung tiba-tiba dari tidurnya. Hanya tangannya yang berusaha menggapai-gapai ponselku.

"Iya nanti aku hapus" jawabku sambil tertawa.

Seorang penumpang wanita di sebelah Lydya turun ketika sampai di dua stasiun sebelum tempat kami meninggalkan kereta ini.

"Akhirnya" ujarku sambil segera mengambil tempat kosong itu.

"Kafenya mau dibuka hari ini?" tanya Lydya.

"Terserah" jawabku. "Kau bosnya, aku hanya pegawai"

"Apa tak usah dibuka saja ya?" tanyanya. "Hari ini aku benar-benar lelah"

"Besok saja kalau begitu"

"Baiklah" jawabnya singkat, lalu kembali ke kondisinya yang sebelumnya, tertidur memeluk ranselnya.

Aku kembali mengutak-atik layar ponselku sembari memberi stiker disana-sini pada foto Lydya tadi.

"Hey, hapus fotoku"

Tangan Lydya secepat kilat menyambar ke arah ponselku. Kami berdua hanya termenung melihat ponsel yang baru sedetik lalu di genggamanku kini melayang di dalam gerbong kereta ke arah penumpang lainnya.

BRUKK...

Ponsel itu jatuh tepat di bawah kaki seorang wanita muda.

"Hancur sudah ponselku" ujarku menggerutu sambil bangkit dari bangku.

Wanita muda itu menunduk menggapai ponselku.

"Maafkan kami, kak" ujarku padanya.

Ia hanya tersenyum sambil segera menjulurkan ponsel di genggamannya. Membuatku semakin merasa malu.

Secepatnya aku kembali ke bangku-ku tadi. "Kamu sih!"

"Hehe, tapi kan jadinya bisa nyapa kakak-kakak cantik, bang" ujar Lydya sambil tertawa puas. "Tuh, lihat! Kakaknya masih melihat ke arahmu bang" godanya tak habis-habis.

Jujur saja, kalau bukan ku anggap adik sendiri, sudah ku maki-maki karena merusak ponselku dan membuat malu dalam waktu yang bersamaan. Tapi di satu sisi, melihatnya tertawa seperti ini, bagus juga. Ia melupakan apa yang baru kami lewati dari desa Batu seharian ini. Meski sejenak saja.

***

DING!!!

Notifikasi pesan WA masuk ke ponselku. Padahal baru saja selimut ku tarik menutupi wajah.

0823-xxxx-xxxx

Bayu, gimana kabarmu?

Bu Nino

"Bu Nino?"

Sejujurnya sudah satu tahun ini kami tak saling bertukar kabar. Apalagi setelah kuputuskan untuk meninggalkan kontrakan di tempat beliau.

0812-xxxx-xxxx

Baik bu, ibu apa kabar

0823-xxxx-xxxx

Ibu sangat baik, haha. Sekarang tinggal dimana?

0812-xxxx-xxxx

Masih di jakarta utara bu. Bukannya waktu itu sudah bayu kasih alamatnya? Oh ya, dendeng sapi kiriman ibu waktu itu sudah sampai bu. Maaf lupa mengabari.

0823-xxxx-xxxx

Oh, iya ya. Ibu cuma mau memastikan kalau kamu belum pindah. Ibu mau kirim dendeng lagi.

Pesan itu baru berakhir begitu saja setelah aku memberikan alamat lengkapku. Jujur saja, kata-kata bu Nino waktu itu masih membuatku separuh tak percaya dengannya. Bagaimana dia bisa begitu yakin kalau pak Adri tak akan mengejarku lagi. Apalagi dengan kematian rahma dan suara tembakan di lorong waktu itu. Aku tak menuduh bu Nino ada hubungan dengan pak Adri. Tapi malam itu, jelas ada yang membantu pak Adri untuk kabur. Tapi siapa dan apa alasannya aku tak tahu. Hanya saja, orang lain selain polisi, aku, Lydya dan Rahma, bu nino juga mengetahui rencana kami.

"Apa memang roh vivi yang melakukannya?" gumamku sendiri.

" Ah sudahlah" ucapku sambil mengetuk pelan dahiku dengan ponsel. "Aku sudah terlanjur berjanji untuk tidak mengingat soal semua yang terjadi di desa Batu lalu.

BRAKKKK !!!

Sesuatu terlempar masuk dari luar jendela kamarku. Aku melompat kaget dan terjatuh di pojok kamar dekat pintu. Napasku benar-benar sesak karena kaget.

Apa itu tadi?

Masih dalam posisi awas, aku mencoba untuk diam dan memusatkan telingaku pada suara-suara yang sekiranya akan muncul. Tapi tak ada. Hanya satu suara pecahan kaca tunggal tadi saja.

Pelan-pelan aku merayap ke arah saklar lampu.

KLIK...

Cahaya lampu membuat serpihan kaca yang terlontar seperti sekumpulan pasir kuarsa, menyilaukan. Semuanya berserakan hingga ke karpet kecil di dekat kasur. Dan mataku langsung tertuju pada batu sebesar kepalan tangan dan sebuah bungkusan kain yang diikat bersama batu itu.

Apa ini?

Pelan-pelan ku buka bungkusan itu. Ada secarik kertas, sobekan kemeja berwarna hijau tosca dan sesuatu yang seketika membuat isi perutku bergejolak ingin keluar dari kerongkongan. Beberapa helai rambut, lengkap dengan kulit kepala, sedikit daging dan cairan merah kental yang merembes ke bungkusan tadi. Seperti baru saja dikuliti dari sumbernya.

Tapi yang membuat tubuhku benar-benar terduduk lemas adalah tulisan pada sobekan kertas itu:

Kau tetap yang teristimewa, kepalamu tetap jadi koleksiku yang ke 100. Mari kita mengulang semuanya kembali dari awal.

Tak perlu sebuah nama untuk menjelaskan darimana surat itu berasal. Jelas bukan dari orang biasa. Harus seseorang yang sekejam dan setega pak Adri.

Apa maksudnya mengulang kembali dari awal?

Dan kulit kepala itu, jelas bukan kalimat main-main.

Ku pikir hidupku sudah benar-benar normal, Tuhan.

***

THE STITCHES (Sibling 2nd season)Where stories live. Discover now