SEPULUH: Lengah

291 49 4
                                    

Lydya POV


Sejak awal kami duduk, hingga saat ini, Lilia tak juga mengangkat wajahnya. Ia hanya menenggelamkan kepalanya kebawah sambil memeluk erat kedua lututnya. Tapi dari semua orang yang lalu lalang disepanjang koridor, tak ada satu pun yang peduli dengan posisi jongkoknya di atas bangku tunggu itu.

Aku tahu dia malu berada di kantor polisi. Tapi ini bukan hal yang memalukan, posisi kami hanya sebagai dua orang saksi yang kebetulan pertama kali menemukan mayat Rania.

"Harusnya aku tak ikut rahma" gumam Lilia. Suaranya samar karena posisi wajahnya yang masih saja begitu.

Aku hanya bisa mengusap-usap punggungnya, mencoba menenangkannya. Meskipun kondisi kami berdua sebenarnya tak jauh beda. Semua ulahnya Rahma, hantu gentayangan yang meresahkan itu. Kalau sampai kami berdua dihukum, ia juga harus ikut, bagaimanapun caranya.

Wajahku baru mulai memerah ketika sosok mas Bayu berjalan dari pintu kaca luar kantor polisi itu. Tanpa pikir panjang, aku menghablur ke arahnya.

Pada saat itu, barulah tangisku pecah. Semua kepura-puraanku untuk tegar di depan Lilia agar ia bisa sedikit tenang, akhirnya terbongkar juga. Ibarat gelombang laut yang akhirnya menembus dinding dam penahan. Mas Bayu tak bicara apapun. Hanya terus-terusan mengusap kepalaku.

Butuh waktu lama, hingga akhirnya aku bisa mengatur emosiku kembali.

"Jadi kalian gimana?" tanya pak Oji. Aku bahkan baru sadar kalau beliau ada di antara kami sejak tadi.

"Masih menunggu giliran pak" ujar Lilia. "Tapi kami enggak mungkin jadi tersangka kan?" tanyanya lagi.

"Enggak lah" jawab mas Bayu. "Mana buktinya?"

Aku mengangguk setuju. Meskipun tak sepenuhnya yakin dengan hal itu.

Tapi kematian Rania jelas tidak baru. Dari lalat yang sudah mengerubung begitu banyak dan darah yang terlihat sudah mengering, jelas itu sudah terjadi cukup lama.

"Pokoknya, kalian jawab sejujur-jujurnya" jelas mas Bayu. "Jangat takut!"

Seorang polisi keluar dari salah satu ruangan memanggil aku dan Lilia untuk masuk ke sana.

Tepat di dekat pintu ruangan itu, aku masih menoleh ke arah mas Bayu yang memberikan kepalan tanggannya seperti mengisyaratkan aku untuk berani. Rasanya seperti masuk ruang ujian hidup dan mati.

***

Dibandingkan denganku, wajah Lilia punya perubahan yang sangat jauh dibandingkan saat kami belum dimintai keterangan. Persis seperti orang yang baru saja memenangkan lotere ratusan juta.

"Benar kan apa yang mas bilang tadi?" goda mas Bayu.

"Iya, tapi masih harus kesini lagi kalau nanti dipanggil" ujar Lilia cepat. Aku hanya tertawa.

"Semoga saja enggak dipanggil lagi, ya" ujar pak Oji.

Semua mengamini do'anya pak Oji barusan.

Grusakkk..

Wajahku tanpa sadar, langsung menoleh ke arah asal suara barusan. Di pojokan jendela dekat pintu masuk, ada sosok pria sedang memukul-mukul mesin minuman otomatis. Wajahnya tak begitu jelas karena lampu koridor sudah dipadamkan sebagian. Mungkin karena memang saat ini sudah pukul 10.30 malam. Hanya ada sedikit cahaya masuk dari lampu luar. Dari siluetnya, aku seperti mengenalinya.

Entah apa yang aku pikirkan, aku tak langsung mengikuti rombongan mas Bayu ke luar. Justru aku berjalan ke sosok pria itu, hanya untuk memuaskan rasa penasaranku.

THE STITCHES (Sibling 2nd season)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang