16. Desta

295 56 2
                                    

Raut wajah Tante cemas melihat anak gadisnya dibawa Kak Fitra masuk rumah.

Kecemasan seorang ibu kepada anaknya tidak pernah gagal membuatku takjub. Tante sama seperti Mamaku yang super khawatir kepada anak - anaknya.

"Terima kasih Nak Desta, repot - repot bawa Hesti pulang. Di sekolah ndak terjadi apa - apa to? Hesti ndak buat onar, to? Dia ndak makan yang aneh - aneh, kan?"

Aku menggeleng kalem. "Nggak kok, Tante. Dia cuma kecapekan hais kegiatan MOS."

"Syukurlah, kejadian di SMP ndak terulang lagi."

Aku kaget mendengar kalimat Tante. Jadi penasaran, sebenarnya apa yang terjadi kala Hesti masih SMP, hingga Tante sekhawatir ini.

Mengingat kita membicarakan Cewek Sus, pasti sesuatu yang gawat banget.

Sayangnya, aku nggak berani bertanya ke Tante secara langsung. Siapalah diriku ini, hanya tetangga biasa.

Aku memutuskan pamit. "Kalau begitu, saya izin pulang Tante."

"Nak Desta tunggu sebentar." Tante masuk rumah membuatku menunggi sejenak. Lalu, beliau keluar membawa bungkusan kecil.

"Ini untukmu. Nak, Tante nitip Hesti ya. Dia suka lepas kendali kalau sedang marah. Tante takut terjadi sesuatu kepadanya."

Aku memasukkan bungkusan roti pemberian beliau ke tas ransel, sambil bersama beliau melangkah menuju pintu gerbang. "Saya usahakan Tante. Kalau Hesti buat masalah, bakal saya coba bamtu."

"Terima kasih banyak, Nak. Kalau ada kamu, Tante merasa aman."

"Bro, satu lagi. Hesti alergi kacang " kak Fitra membukakan pintu gerbang. "Kamu ingat, kan, aku pernah cerita ketika SMP dia masuk rumah sakit. Nah itu gegara dia makan silverqueen sembarangan."

Aku bertanya, "alergi cokelat?"

"Kacang," jawab Fitra.

"Tapi kalau dia tahu alergi kacang, kenapa masih makan silverqueen?"

"Kayak nggak kenal dia aja," celetuk Fitra, sambil terkekeh.

Ya Hesti kalau udah nyangkut makanan, biasanya apa aja dilahap. Tapi kacang di silverqueen? Bagaimana bisa dia memakannya? Kan kacangnya gede gede.

Aku berpamitan pulang sekali lagi kepada Tante dan Kak Fitra, langsung menuju rumah.

Tante begitu percaya kepadaku. Aku harus berusaha menjaga kepercayaan beliau.


Sesampainya di kamar, aku langsung ngecash handphone. Tiba - tiba Sherin menelepon. Aku mendengus membaca namanya di layar handphone

Bukan apa apa, hanya saja aku butuh waktu untuk diri sendiri dan malam adalah waktu pribadiku. Paling malas kalau ada yang menelepon.

Tapi, karena dia senior dan sudah membantuku tadi, aku mengangkat telepon darinya.

Dia membahas masalah makan bersama. Ini salahku, menjanjikan makan bersama kepadanya. Harusnya aku tahu, menjanjikan sesuatu pada gadis bukan lah hal bijak.

Magnetic LoveWhere stories live. Discover now