Di sampingku ada Lala, sahabat karib satu-satunya di kampus ini.

"Ray, hari ini kan kita cuma ada satu kelas, gimana kalo abis ini kita nonton?" Lala memberi jeda, "Nanti gue ajak Arya juga." Arya itu pacarnya Lala sejak masuk kuliah di sini.

"Jadi obat nyamuk dong gue? Ogah ah." tolakku langsung.

"Enggak dong, Ray, gue nggak akan ngacangin lo kok. Please, mau ya?" Mana bisa aku percaya pada spesies bucin tingkat akut ini.

"Hari ini gue ada jadwal latihan tennis, La, nggak bisa." tolak gue lagi.

"Yah, yaudah deh kalo gitu." Meskipun kecewa, tapi Lala mengerti sama hobiku yang satu itu.

Obrolan kita terhenti ketika dosen yang terkenal killer masuk kelas. Tatapan matanya begitu tajam seolah mengintai seluruh kelas.

"Kalian pasti sudah tau nama saya, 'kan?" katanya dengan tegas, lalu berjalan ke tengah kelas.

"SUDAH PAK!" jawab semua serempak.

Jelas semuanya sudah tau dosen killer ini. Namanya Pak Tatang, kepalanya plontos, kumisnya yang tebal dan badannya yang sedikit berisi itu sudah dikenal seantero kampus ini.

"Bagus, kalau begitu kita mulai kelasnya sekarang."

Aku bernapas lega tak ada sesi perkenalan lagi yang membosankan. Akhirnya Pak Tatang mulai menjelaskan materi. Jujur aja, cara mengajarnya bikin sedikit mengantuk. Sampai sudah dua kali Lala menyenggol tangan supaya aku nggak tertidur.

"Angkat tangan yang tau apa itu public speaking for public relations?"

Rules nomor satu, jangan berkontak mata dengan sang pembicara kalau tidak mau ditunjuk. Rules nomor dua, pura-pura sibuk.

Keadaan kelas langsung hening. Menandakan tidak ada yang tau atau malas menjawab pertanyaan itu.

Sampai akhirnya Pak Tatang buka suara, "Kalo begitu bapak jelaskan. Setelah itu, bapak akan tunjuk satu orang untuk menjelaskan ulang. Siap?"

Semuanya mendesah mendengar itu. Tapi kemudian memasang kedua telinga lebar-lebar mendengar Pak Tatang menjelaskan materinya.

Jujur saja, aku masuk jurusan Ilmu Komunikasi ini karena suruhan dari Kakek yang sangat ingin aku bekerja di bidang jurnalis nantinya seperti paman. Dan aku menurut saja dan berusaha menjalaninya dengan serius. Karena sekarang cuma kakek yang kupunya, dan aku nggak mau dia sampai kecewa.

"Untuk kelas berikutnya, bapak berhalangan hadir. Jadi kalian akan diberi tugas."

Semuanya mendengarkan dengan seksama, tentu kentara sekali dalam hati merasa berbunga. Termasuk aku.

"Buat kelompok yang terdiri dari empat orang dan buat makalah tentang public speaking for public relations. Tugas dikumpulkan dua minggu lagi." Pak Tatang memberi jeda, "Kalian bebas pilih teman kelompoknya." lanjut pak Tatang.

"IYA PAK."

Aku bernapas lega, seenggaknya aku bisa tenang kalau satu kelompok bareng Lala.

Sesuai intruksi, semua orang mulai ribut mencari anggota kelompok masing-masing.

"Ajak siapa nih, La?" tanyaku.

Lala mengedarkan pandangannya untuk mencari anak yang cocok untuk diajak bergabung dengan kelompok kami.

"Bentar."

Aku ikut mengedarkan pandangan, mengamati semua siswa yang semuanya baru kutemui hari ini dan belum akrab satu sama lain. Sampai ketika ada satu suara yang menginterupsi dan membuatku menoleh untuk mendapati seorang laki-laki yang kini sudah berdiri di samping meja kami.

Travel To You Where stories live. Discover now