Tak Terduga

36 5 10
                                    

"Di tamannya ada apa aja, Gas?"

"Ada orang lah! Enggak enak banget dipanggil Gas. Emangnya gas LPJ." Muka Bagas mulai kusut.

"Lah, siapa suruh punya nama itu." Aku cengengesan. "Jadi panggil apa? Bag? Tambah enggak enak kedengerannya."

"Panggil sayang aja!"

"Eh ...."

"Fix, nggak boleh protes," sela Bagas sambil sebelah tangannya menyekap mulutku sebelum aku selesai bicara.

"Ih, dasar aneh, Gas, Gas."

"Sayang! Udah dibilangin juga."

Tidak terlalu masalah sih kalaupun harus dengan panggilan sayang. Lumayanlah biar aku tidak kelihatan jomblonya.

"Okedeh, Gas. Eh, sayang maksudnya."

Bagas melebarkan senyumnya mendengar persetujuanku untuk memanggilnya sayang. Ya, walaupun aku masih sangat canggung dengan panggilan itu ke orang yang baru aku kenal. Tapi it's okelah. Cuma sebatas panggilan doang. Toh, dia sendiri yang minta, bukan karena aku yang mau.

Karena kami berjalan kaki, jadi kami tidak perlu memarkirkan apapun di parkiran. Jadi, kami langsung lanjut lagi.

Ada beberapa rumah yang kami lewati. Pohon tinggi membentuk bayangan di sekitaran rumah. Cukup suram kelihatannya. Tapi aku tetap mengikuti Bagas tanpa bertanya.

"Di dalamnya bagus, Nin."

Kami sampai di lorong dengan tangga ke bawah dan mulai masuk ke dalamnya. Kelihatan seperti penjara bawah tanah tanpa sel. Aku pernah melihat tempat ini di postingan instagram akun-akun yang mempublikasikan tempat wisata.

Oh iya, aku ingat. Tempat ini hits di Jogja. Duh, bagaimana aku bisa lupa dengan tempat ini. Kukira Taman Sari seperti taman dengan perosotan anak-anak pada umumnya.

"Di dalamnya bagus, Nin. Apalagi kalau ambil foto dari masjid bawah. Keren banget pasti."

"Oh gitu." responku datar.

"Kenapa toh? Kok nggak seneng gitu?"

"Ya iya. Aku nggak butuh omongan, buktiin aja langsung."

"Siap. Kita langsung ke spot itu aja ya."

Aku hanya menganggukkan kepala tanda tidak sabar dengan yang Bagas katakan.

Memang kalau ke tempat wisata, apalagi yang dicari selain spot foto yang bagus. Sejarah? Kebudayaan? Jaman sekarang orang banyak tidak peduli dengan itu. Yang penting sampai di objek wisata, cari spot bagus, cekrek-cekrek, pulang. Jangan lupa di posting deh.

Meskipun sebenarnya yang aku cari bukan itu. Bagiku spot foto hanyalah bonus. Yang terpenting adalah pengetahuan dari objek wisata tersebut dan semoga saja bisa menjadi inspirasiku menulis nanti.

Di sepanjang lorong dan tangga yang aku lalui, selalu ada orang yang berfoto ria. Sebagian saling mengantri, namun ada juga yang nyetobot begitu saja tanpa memikirkan bahwa itu akan merusak view foto orang lain.

Dari masjid bawah tanah aku dan Bagas melihat ke atas ada lobang besar yang menghadap langsung ke arah langit.

Dari masjid bawah tanah aku dan Bagas melihat ke atas ada lobang besar yang menghadap langsung ke arah langit

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sungguh ini sangat menakjubkan. Aku tidak habis pikir, bagaimana orang jaman dulu membuat bangunan dengan seni yang sedemikian unik ini.

Pantas saja ramai sekali. Meskipun ini adalah bangunan tua milik kerajaan, namun tak kalah indah dari tempat wisata buatan yang katanya instagramable.

Bagas hanya diam saja. Memandang ke arah lobang besar itu membuatnya bergeming. Aku diam saja. Padahal banyak yang ingin kutanyakan. Aku tahu dia sedang menikmati keindahan ini. Aku tak ingin mengganggunya.

Lama juga Bagas bergeming.

"Bagas,"

"Iya."

"Di tempat kita berdiri saat ini, ada sepasang kekasih, ...." Bagas melanjutkan dengan masih menatap ke arah yang sama.

"Bukan! Sepasang kekasih itu tengah berdiri di tempat ini dengan pasangan yang berbeda sekarang." Belum selesai Bagas berbicara, aku memotong.

"Nin...." Bagas melihatku heran.

"Yang satu dengan kekasih barunya. Sedangkan aku dengan orang asing yang memaksa dipanggil sayang." Mataku memandang ke arah tangga di atas sana.

"Nin. Kesambet apa toh?" Bagas memeriksa keningku. "Masih normal kok. Pasti inspirasi untuk nulis ya? Cepetan dicatat, nanti lupa."

"Inspirasi untuk nulis?" Kubalikkan pertanyaan itu pada Bagas. Aku menyungginggkan bibir dan melirik Bagas. Sok tahu sekali lelaki di sampingku ini.

Tanganku menunjuk dua orang di atas tangga yang sekarang berjalan memunggungiku.

"Heh, jangan nunjuk-nunjuk orang." Bagas menepis tanganku. "Kamu kenapa sih, Nin? Fix sih ini kesambet."

Aku menarik Bagas keluar dari tempat itu. Menaiki anak tangga terasa lebih berat daripada biasanya. Tiba di tangga atas, tepat di tempat yang aku tunjuk tadi, aku mempercepat langkah. Tangan Bagas masih kugamit erat.

"Pelan-pelan, Nin."

Aku sengaja tak menggubris Bagas. Aku sudah melewati puluhan orang tak terkecuali sepasang kekasih yang sedang saling merangkul.

"Kamu lapar ya, Nin?"

"Mungkin."

"Habis ini mau makan apa?"

"Orang!" kataku ngegas.

"Kayak Sumanti aja makan orang." Langkah Bagas mulai melambat seiring dengan langkahku yang mulai teratur.

"Mereka siapa? Nanti ceritain sama aku. Itupun kalau kamu mau."

Langkahku terhenti. Sontak mataku menatap Bagas.

"Eh, ada banjir." Bagas mengambil ujung jilbabku.

"Lap pakai ini. Aku gak punya tisu." Dia memberikan ujung jilbab ke tanganku. Dia tersenyum. Aku pun mengikutinya

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 27, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

TITIK SEMUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang