Part 1 : KACAU

191 29 61
                                    

27 Juli

Pertama kalinya aku menginjakan kaki di kota Jogja, aku langsung diantar seorang lelaki berperawakan sedikit gemuk, menuju hostel yang sudah kupesan melalui aplikasi daring sejak di perjalanan bis Palembang-Yogyakarta. Sesampainya di hostel, aku check in, kemudian lelaki yang mengantarku berpamitan pulang dan menyuruhku menghubungi dia lagi jika ada yang perlu dibantu.

Mbak Ani, penjaga hostel, mengantarku menuju kamar bercat kuning dengan dua ranjang bertingkat seperti ranjang anak asrama. Ruangan ini sangat sederhana, hanya dilengkapi satu kipas angin, pengharum ruangan, satu colokan listrik di sebelah masing-masing ranjang, dan satu lemari terbuka dengan beberapa hanger baju menggantung. Maklum saja, fasilitas sederhana seperti ini sudah sangat mewah untuk aku yang hanya sebatas backpacker dengan budget pas-pasan. Bahkan kalau bisa mencari yang gratisan agar travelling menyenangkan.

"Mbak, apa tidak ada pegunjung lain di sini?" tanyaku penasaran dengan suasana yang sepi di sepanjang koridor hostel.

"Di sini ramai terus, Mbak. Tapi kebetulan semua yang nginap sudah pada check out." Kulirik jam yang terpaku di dinding. Pantas saja sepi. Sudah jam 14.03 waktu untuk check out-nya pun sudah habis.

"Tapi semua kamar sudah ada yang pesan kok, Mbak Ninda. Tinggal nunggu mereka datang saja. Kebetulan hanya kamar ini yang kosong."

"Jadi, tiga ranjang di kamar ini belum ada yang pesan ya? Wah saya sendirian dong tidurnya malam ini."
Aku menunjukan raut kecewa meskipun aku sangat bersyukur sebenarnya.

Toh seorang sepertiku yang masih sedikit susah berinteraksi dengan orang baru, kecuali dengan yang sefrekuensi, merasa sangat beruntung jika tidak ada siapapun di kamar ini. Artinya, tidak perlu repot-repot mengumpulkan keberanian dan mencari bahan obrolan untuk berinteraksi dengan orang asing. Lagipula aku ingin istirahat saja malam nanti.

"Iya, Mbak. Di kamar ini baru Mbak yang pesan. Kalau Mbak Ninda mau buat teh, kopi atau masak, Mbak bisa langsung ke dapur." Mbak Ani menunjuk keluar pintu kamar yang terbuka, tepat di depan kamarku, ada ruang masak dilengkapi peralatan dapur dan bahan minuman lainnya.

"Kamar mandinya di samping, Mbak. Mbak boleh pake yang mana aja kalau kosong. Saya tinggal dulu ya. Nanti kalau perlu apa-apa panggil aja, saya ada di meja depan." Senyum Mbak Ani yang sedari tadi mengembang menandakan begitu ramahnya dia. Sepertinya aku bisa mencari informasi seputar Jogja dari dia sesudah aku membersihkan diri—mandi.

Charger hp kucolokkan ke catu daya. Untung saja sebelum memulai perjalanan ke sini, aku sudah membeli baterai hp yang baru karena yang sebelumnya sudah soak. Aku tidak suka memakai power bank. Ribet, jika harus memegang dua benda pada satu tangan sekaligus. Jadi ketakutanku saat berpergian jauh salah satunya ialah ketika hp lowbat. Aku takut jika harus meminjam hp orang asing. Setidaknya jikapun tersesat di kota orang, aku bisa mencari informasi yang dibutuhkan dari gawaiku saja. Namun, jika baterai habis, aku merasa habis pula hidupku saat itu juga.

Aku hanya membawa satu tas ransel sedang dan satu tas tenteng.  Rencananya setelah selesai mandi, aku ingin berkeliling Jl. Malioboro sendirian. Aku tidak ingin menghabiskan waktu di kamar saja. Sudah susah payah untuk akhirnya bisa ke kota yang katanya membuat rindu ini, masa hanya berdiam diri di kamar hostel saja.

Letak kamar mandi hanya berselang beberapa kamar dari kamar yang aku tempati. Aku segera masuk ke kamar mandi yang pintunya sudah terbuka lebar. Peralatan mandi kuletakkan di atas wastafel. Celana mulai kupeloroti. Aku tidak suka duduk di tempat yang habis dicium pantat orang, sehingga aku berusaha jongkok di wc duduk. Entah mengapa perutku selalu terasa penuh kalau sudah dari perjalanan jauh, sehingga aku harus buru-buru ke wc.

Sambil menunggu sisa makanan dari perutku keluar, mataku mulai menyapu seluruh ruangan kamar mandi. Wastafel yang dilengkapi dengan cermin, gantungan di belakang pintu, shower, hingga keran di bawahnya.

Mungkin jaman sekarang masih ada yang tidak bisa pakai shower sehingga ada keran lain yang dipasang.

Mataku bergeriliya lagi memperhatikan dari atas bawah hingga atas kamar mandi, mulai dari lantai berwarna pink, dinding bercat putih, hingga plafon...

Lah, gak ada plafon!

Dari sebelah sisi dinding, kudengar suara pintu tertutup. Tak lama kemudian, suara aliran air terdengar. Berarti di sebelah ada kamar mandi lainnya.

Duh, bagaimana ini. Keringat mulai muncul satu persatu di dahiku.

Bagaimana jika yang ada di kamar mandi sebelah omes—otak mesum. Nanti kalau aku mandi dan terdengar suara percikan airnya, lalu dia ngintip dari atas gimana. Pikiranku kacau. Segera aku membersihkan kotoran yang masih tersisa di wc. Kucuci tangan dengan sabun lalu mulai mencuci muka dengan amat berhati-hati, sambil sesekali melihat ke atas untuk memastikan tidak ada yang mengintip. Aku segera menyelesaikan mandiku dan memakai baju.

Suara orang di kamar mandi sebelah masih ada. Aku langsung bergegas keluar kamar mandi dan berlari masuk ke kamar.

"Haah..." Aku terperanjat melihat seorang lelaki bule di kamarku. Dia sedang membuka ranselnya.

"Hai," sapanya dengan senyum tipis.

"Hai," Aku sedikit gagap dengan simpul bibir tak karuan.

Aku ingin menanyakan mengapa ia ada di sini, tapi percuma saja. Toh dia pasti juga pengunjung yang akan bermalam di hostel ini, tepatnya sekamar denganku.

Apa aku harus tidur sekamar dengan lelaki malam ini? otakku semakin kacau. Aku menggaruk-garuk kepala.

Duh, aku belum pakai jilbab ternyata.
Segera kupakai jilbabku yang tergeletak di atas kasur.

TITIK SEMUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang