Siapa Dia?

37 7 5
                                    


"Tidak ada yang salah dengan semua perjalanan. Termasuk berjalan sendirian di tengah kota yang baru pertama kali kau pijaki"


Aku ingin mengoleksi semua hal dari kota ini. Akan kumasukkan ke dalam memori di otak. Agar ketika sekembalinya dari sini, aku tetap bisa mengenang tempat ini sampai ke hal terkecil sekalipun. Karenanya aku berdiri tepat di tengah tempat pejalan kaki berlalu-lalang. Kurentangkan tangan dengan mata tertutup sambil menghirup dalam-dalam aroma yang mengapung di udara, lengkap dengan debu jalanan yang ada.

Memang benar kata orang, "Yogyakarta kota istimewa." Tapi aku tidak mau terhanyut hanya dengan kata-kata yang beredar di linimasa media sosial. Aku akan membuktikan sendiri di tempatnya langsung. Apa kalimat tersebut benar adanya atau hanya sebagai pemanis saja agar orang tertarik untuk ke kota ini.

Saat semua aroma kota sudah berhasil menembus penciuman, kubuka mata kembali. Deru angin terus menabrak wajah. Juga seorang pejalan kaki tak sengaja menyenggol bahuku karena berjalan sambil menatap ponselnya. Beberapa orang melihatku dengan tatapan heran. Mungkin menurut mereka, hanya orang katro yang melakukan hal konyol seperti yang kulakukan barusan. Namun peduli apa. Aku senang dengan kekonyolan itu. Setidaknya, aku senang jika harus berbeda dengan orang normal biasanya. Beda itu biasa. Yang tidak biasa ialah orang yang tidak bisa menerima perbedaan.

Banyak sekali penjual makanan berjajar di koridor jalan. Ada soto, bakso, sate tusuk, cendol, telur gulung, dan semua makanan yang membuat cacing di perutku berdendang. Tapi semua makanan yang terlihat tidak ada satupun yang membuatku tertarik utnuk membelinya. Aku butuh makanan khas daerah Jogja. Kalau yang kusebutkan tadi sih, semuanya juga ada di kotaku.


"Bakpia. Bakpia. Bakpia." 

Suara yang sangat asing itu menawarkan dagangannya yang tidak asing bagiku. Bakpia di Palembang mah juga ada. Tapi mari kucoba. Siapa tahu rasanya berbeda. Kan bakpia makanan khas Jogja. Biasanya sih begitu. Beda rasa antara makanan khas yang dijual di kota orang dibanding yang di jual di kota asalnya.

Tanpa tawar menawar kubeli sekotak bakpia basah rasa coklat dan keju. Cukup murah. Hanya perlu mengeluarkan uang Rp 10.000 saja. Di salah satu bangku taman kosong, aku duduk dan mulai menikmati tiap gigitan bakpia ini.

Gimana ya. Enggak tau deh rasanya gimana.

Aku berusaha mengingat rasa bakpia di kotaku. Tetapi aku lupa bagaimana rasanya. Jadi agak sulit untuk membedakan dengan yang sedang aku makan ini. Ah yasudahlah. Setidaknya cacing-cacing di perut tidak lagi menuntut jatah makan siangnya.



Duduk di bangku taman tanpa dipayungi awan membuat keringatku mengalir di sekitaran dahi. Belum lagi yang di leher. Semua luruh diserap baju kaos yang kukenakan. Aku yakin bagian belakang bajuku sudah lembab. Semoga saja basahnya tidak sampai terlihat orang. Lagipula aku juga berjilbab. Jadi, cukup membantu untuk menyembunyikan bercak keringat.

Binar mentari cukup menyilaukan. Aku tidak jadi menyematkan kacamata anti radiasi ke atas kepalaku. Benda itu berhasil mengubah terik menjadi kekuningan di mata. Jadi teriknya tidak langsung mengenai mataku.

Bakpia yang kumakan sudah habis setengah kotak. Aku menyimpan sisanya ke dalam tas. Kulanjutkan untuk berjalan-jalan lagi. Mencari titik nol km Jogja sama saja seperti mengikuti arus sungai. Entah dimana aku harus berhenti melangkah. Pasalnya, aku sama sekali tidak berani bertanya kepada siapapun di jalan ini. Seandainya ada sedikit saja keberanian itu, pasti aku sudah tahu kemana kaki akan tertuju.



Kususuri sepanjang jalanan Malioboro. Tapi tak ada sedikitpun tanda-tanda nol km dengan kursi batu bundar. Padahal aku sudah berjalan jauh sekali. Aku takut jika aku ternyata berjalan malah berlawanan dari arah nol km. Aku juga tidak tahu harus seberapa jauh lagi aku berjalan.

Kuputar haluan. Kembali ke arah tempat aku duduk pertama kali. Masih dengan ketidaktahuan sampai mana aku harus menghentikan langkah. Kakiku sudah berada di tempat semula saat aku turun dari ojek. Aku ingat ada dinding besar—sepertinya dinding Mall—dengan cat berwarna-waeni membentuk lukisan yang ceria. Kulewati saja tempat itu dan terus melaju ke depan. Sampai akhirnya kelelahan, aku duduk kembali di sembarang kursi yang kosong.

Semakin banyak yang berlalu-lalang di depanku. Ada empat sekawanan wanita sebaya yang duduk di bangku sampingku. Mereka tampak kelelahan juga. Aku hanya bisa bergeming dan menatap ponsel. Meskipun aku tidak tahu apa yang harus kulakukan dengan benda itu. Aku tetap bergeming menatap siapa saja yang lewat. Sampai orang di sampingku tadi sudah beranjak pergi, maish saja tidak ada yang menegur dan kutegur. Jadilah aku seongok jiwa yang hampir mengering di bawah terik yang garing.


Aku berniat mengeluarkan buku dari dalam tas ransel mini. Tapi sangat tidak kondusif untuk membaca di tengah situasi hiruk seperti ini. Akhirnya kuurungkan niat. Kali ini masih menatap layar ponsel yang tidak bernotifikasi itu.

Kenapa tidak ku-posting saja di snapgram kalau aku berada di sini, batinku kegirangan. 

Siapa tahu salah satu teman online-ku ada yang membalas dan mengajakku meetup setelah melihat snapgram-ku.

Kuambil sebuah pemandangan jalan tepat di depan. Tidak lupa menyematkan lokasi Jl. Malioboro. Kirim. Selesai sudah. Tinggal menunggu notifikasi seperti yang kuharapkan.


Setengah jam berlalu. Sudah ada 230 akun yang melihat postinganku. Tetapi rata-rata teman kuliahku di Palembang, juga teman SMA-ku di Aceh. Hanya ada beberapa akun olshop dan akun yang tidak kukenal. Pupus sudah harapanku. Aku agak kecewa dengan diriku sendiri yang masih belum bisa mengajak orang lain berinteraksi. Sudah dua jam di sini. Masih saja aku berteman dengan kesendirian dan kebingunganku.

"Hai, Aku Bagas."

Seseorang tiba-tiba duduk di sebelah membuyarkan kekesalanku. Tanpa mengulurkan tangan bersalaman, kutanggapi perkataannya yang seolah mengajakku berkenalan.

"Aku Ninda."

"Iya. Sudah tahu kok!"

Lagi-lagi kebingungan menyergapku.


*****************************************

Terima kasih sudah membaca :)

Klik tanda bintang (vote) ya

Tinggalkan juga jejak di kolom komentar

Beri kritik dan saran untuk cerita ini

Follow untuk dapat update-an semua tulisan aku :)

Okeyyy 

TITIK SEMUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang