Follow Me

29 5 8
                                    

"Kamu suka kopi, teh, pokoknya minuman berkafein."

Lelaki itu kini sudah duduk tepat di sebelahku. Belum sempat aku menanyakan kenapa dia tahu namaku, dia malah menyodorkan pernyataan yang membuatku semakin bertanya-tanya.

Sedangkan ketika aku ingin mengeluarkan pertanyaan itu dari mulutku, lelaki itu langsung berdiri lagi dan menarik tanganku. Kalj ini dia seperti ingin membawaku ke suatu tempat.

"Eh jangan tarik-tarik dong!"

Lelaki itu tetap saja tak melepaskan genggamannya sambil bejalan di depanku.

Aku yang masih belum tahu siapa lelaki itu, rasanya ingin meminta tolong. Takut-takut dia adalah orang jahat yang ingin membawaku kabur atau menculikku. Ah, inilah yang aku takutkan jika berada di kota orang.

"Kamu siapa sih?"

"Bagas," jawabnya tanpa menileh sedikitpun dan tetap menarikku berjalan.

"Ini mau kemana? Jangan macem-macem kamu ya. Aku bisa teriak nih. Tolong..."

Seketika dia menoleh dan mendekap mulutku dengan tangan yang satunya.

"Apaansih pake teriak segala. Aku mau nunjukin kamu sesuatu. Tenang aja, aku bukan penculik. Aelah, takut banget sih kamu." Dia melepaskan tangannya dari mulutku.

"Yaudah gak usah ditarik-tarik. Jalannya juga santai aja kali. Capek tau!" Aku berusaha melepaskan eratan tangannya.

"Yaudah ayok jalan lagi."

"Kemana?"

"Ikutin aja. Pasti kamu suka!"

Akhirnya aku mengikuti instruksinya. Lumayanlah ada yang mengajakku jalan. Daripada aku harus duduk termenung sendirian seperti tadi.

Dia membawaku ke nol km Jogja, lalu menuju alun-alun, dan berbelok ke lorong jalan yang entah apa namanya.
Aku mengurungkan niat untuk betanya lagi padanya. Lebih baik aku ikuti saja dia. Aku penasaran ke tempat apa aku akan dibawanya.

Setelah berjalan memasuki lorong--seperti perumahan yang cukup sepi, aku malah takut jika dia berniat jahat. Hanya ada beberapa pengguna motor yang berlalu lalang di sini.

Aku yang sedari tadi hanya mengikutinya di belakang tanpa berkata apapun lagi, akhirnya memutuskan untuk berbalik arah dan kembali ke nol km. Karena aku memggunakan sepatu kets, akupun berlari menjauhi Bagas. Aku ingin kabur saja ke tempat yang lebih ramai agar mudah mencari pertolongan.

Namun aksiku gagal karena Bagas lebih dulu mengetahui suara lariku dan berusaha menghentikan langkahku. Dia berhasil menraih tanganku dan terjadilah sedikit tarik-menarik diantara kami.

"Tolong... Tolong!" Aku berteriak di tengah jalanan sepi ini, berharap ada seseorang yang lewat.

"Udah deh jangan kayak anak kecil pakai teriak segala. Aku tuh gak bakal jahatin kamu."

"Kamu mau apa sih bawa aku ke tempat sepi gini?"

"Kamu capek ya daritadi berjalan? Yaudah sini duduk dulu."

Dengan terpaksa aku duduk di sebeahnya. Sedikit menjauh. Dia memgeluarkan air mineral dalam botol kecil dan menyodorkannya padaku.

"Nih minum dulu kalau capek. Tenang aja, itu gak aku kasih racun kok."

Aku menatapnya heran. Tapi tetap kuminum juga air yang diberinya. Tenggorokanku sudah kering rasanya setelah berjalan di tengah terik seperti ini.

"Kamu siapa sih sebenarnya. Kok kamu tahu nama aku?" tanyaku yang sudah amat penasaran dari tadi.

"Kan sudah kubilang aku Bagas."

"Iya, tapi kenapa bisa tahu nama aku, gitu loh?"

"Mungkin kita jodoh."

"Apa sih! Enggak nyambung."

Anak ini cukup membuatku kesal juga. Untung saja dia cukup manis wajahnya. Sempat dia jelek, hmm sudah aku tabok dia.

"Bakpianya tadi enak?" Dia berusaha mencairkan suasana.

"Lumayan lah. Rasa keju enak juga. Eh... Kok kamu..."

"Tadi aku lihat snapgram-mu, lagi makan bakpia kan di bangku taman di depan Mall Malioboro."

"Oh iya? Kok kamu tahu instagram aku? Kita sudah se-follow-an?"

"Bacot ya kamu! Nanya mulu daritadi."

"Habisnya kamu tau semua tentang aku. Pernah ketemu aja kagak." Aku manyun.

Kukeluarkan hp dari dalam tas untuk melihat postingan snapgram-ku satu jam yang lalu. Aku klik ikon mata untuk mengetahui siapa saja yang meilhat snapgram-ku tadi.

Aku mencari sebuah nama yang sekiranya itu instagram Bagas. Sudah scroll ketiga kalinya, masih tidak kutemui nama bagas di daftar akun yang melihat snapgram-ku.

"Mana instagram-mu? Enggak ada kok di daftar orang yang melihat." Aku menyodorkan hp dan memperlihatkan kepadanya.

"Readlle." Bagas menunjuk sebuah nama akun Instagram.

"Oalah ini instagram-mu. Alay juga." Aku menyunggingkan bibir.

"Ada filosofinya itu. Jangan tanya apa!"

"Ditanya pun tetap saja alay." Sekali ini aku malah tertawa.

"Follback dong!" Pintanya.

"Loh, kasian ya belum aku follback."

Bagas tak merespon.

"Iyadeh aku follback. Gitu aja ngambek. Dasar alay."

"Sekarang gimana?" Bagas menatapku.

"Apanya yang gimana?"

"Masih capek gak? Kita lanjutin jalan lagi kalau enggak."

"Mau kemana dulu? Bisa aja kamu mau jahatin aku kan"

"Iya aku emang bukan orang baik."

Aku sedikit memundurkan posisiku. Bersiap lari jika dia macam-macam.

"Tapi setidaknya aku bukan orang jahat." Bagas melanjutkan ucapannya menyadari aku menggeser dudukku menjauhinya.

"Ayok lanjut! Kamu bakal nemuin sesuatu yang bagus untuk inspirasimu menulis nanti."

Bagas sudah berdiri. Tangannya membantuku bangun. Kami kembali berjalan dan belok lagi di suatu gang. Di depannya aku melihat plang bertuliskan "Taman Sari".

Duh, inspirasi dari mana jika aku harus diajak ke taman yang pastinya banyak anak-anak kecil main perosotan. Paling-paling aku cuma bisa jajan cilok di sana nanti. Batinku sedikit kesal mengetahui Bagas membawaku ke taman itu.

TITIK SEMUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang