Untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun, Subjek 88 dapat kembali merasakan secercah harapan di hatinya.

Jakarta [6°12'S 106°49'E]

Seminggu sejak kejadian tersengat batu tablet itu, tidurku tidak bisa tenang. Pekerjaanku memang menjadi lebih mudah, tapi malam hariku dipenuhi oleh mimpi-mimpi aneh. Mimpi-mimpi yang hanya berisi kilasan-kilasan tak beraturan. Sesekali, aku bisa melihat beberapa objek dengan jelas—kadang bola mata sehitam batu onyx yang cemerlang, atau tangan dengan jari-jari yang dialiri darah di kali lain.

Selain objek-objek, lebih sering aku melihat kelebat-kelebat warna yang kaya, seperti saat kau duduk di kereta dan memandang keluar jendela. Aku tidak bisa mengerti makna dari kelebatan itu, tetapi aku juga tidak bisa melupakannya.

Siang hari, aku mengerjakan laporan tanpa kenal lelah. Membandingkan aksara di tablet Kediri dengan aksara lain yang Jena kumpulkan dari seluruh dunia. Ditambah dengan informasi-informasi tambahan dari institusi lain yang memiliki artefak pohon di dalam hexagon. Beberapa dari mereka menyebutnya the Mystery Tree of Life.

Tetapi, sejak munculnya kemampuan anehku ini, aku juga bisa membaca aksara-aksara lain yang ada di artefak-artefak itu, meskipun gaya goresannya berbeda. Sesuai dengan dugaanku sebelumnya, aksara-aksara itu memiliki bentuk dasar yang sama.

Aku mengetik tanpa henti, menyelesaikan kalimat-kalimat terakhir dari bab kesimpulan. Sedikit lagi, aku bisa menyerahkan laporan ini pada Pak Zam. Di sebelahku, Jena juga membuka laptop, membantuku mengerjakan bagian lampiran dan daftar pustaka yang luar biasa panjangnya.

Ketika akhirnya laporan itu mulai dicetak printer kantor, barulah aku menyandarkan punggung ke sandaran kursi. Mataku serasa membayang saking lamanya memelototi layar. Aku dan Jena baru saja menyelesaikan pekerjaan yang biasanya butuh bertahun-tahun dalam waktu tujuh hari.

"Jadi, ini alphabet, atau sillabary?" tanya Jena sambil meneguk kopi, mengecek lembar demi lembar laporan yang keluar dari printer.

"Alphabet. Aku bahkan sudah membuat tabel terjemahannya, tapi nggak ku masukkan di laporan," jawabku sambil menutup mata.

"Lah, kenapa nggak?" Jena bertanya lagi.

"Terlalu mencurigakan. Untuk hipotesa saja aku sudah gagap-gagap menulisnya. Untung artefak yang dari Mesir itu lumayan membantu, bisa dijadikan sumber."

"Benar juga sih."

Aku membuka mata, menemukan Jena yang manggut-manggut di depan gelas kopinya. Gadis itu tersenyum padaku.

"Kamu istirahat Ran,biar nanti aku suruh AsPenDa—Asisten Peneliti Muda—terimut di LPN Arkeologi yang ngejilid ini semua," ujar Jena menenangkan.

Keningku malah berkerut. "AsPenDa terimut?"

"Iya, si Cipto," Jena terkekeh.

Mau tak mau, aku ikut tertawa bersamanya.

Beberapa hari kemudian.

Pekerjaanku kembali ke rutinitasnya yang biasa. Tablet batu Kediri sudah dimasukkan ke dalam kotak dan disimpan di inventori LPN. Seperti kata Mr. Rayan Ali dari Near Eastern Archaeological Museum, ini bukan tipe temuan yang bisa dipublikasikan ke khalayak ramai, mainstream audience. Terlalu banyak misteri yang menyelimutinya, dan terlalu banyak pertanyaan yang tak bisa dijawab dengan logika. Terlalu aneh jika dibandingkan dengan sejarah-sejarah yang telah ada selama ini. Seolah artefak-artefak itu berasal dari dunia yang berbeda.

J A G AWo Geschichten leben. Entdecke jetzt