9. Hesti

331 59 11
                                    

Gue membentang tangan sambil muter melihat gedung sekolah. Ada tiga gedung, semua berlantai tiga. Mirip sekolah di Jepang.

"Bagus banget, mana banyak pohonnya. Seger!"

Dian narik gue. "Udik banget sih. Biasa aja dong, malu dilihat senior."

Sampai lupa kalau banyak senior. Gue perhatiin emang benar kata orang. Nih sekolah sarangnya cowok ganteng dan cewek cantik.

"Hesti Hesti, lihat tuh. Ya ampun ada empat cowok ganteng!" Dian nunjuk emoat cowok sipit sedang mengobrol di anak tangga.

"Terus kihat tuh, ampun orang Jawa tapi ganteng banget."

Sekarang siapa yang udik? Gue jewer telinga Dian hingga dia kembali normal. "Malu woi, dilihat senior."

Ketika gue jewer - jeweran sama Dian, nggak sengaja nabrak orang.

Cewek bersedekap di bawah dadanya yang seperti melon, sambil muter - muter helai rambut. Gue pusing nyium aroma parfumnya, nyegrak banget macam minyak nyong nyong.

"Heh, kalau jalan pakai mata. You junior ya?"

Gue mengangguk sama Dian.

Senior menyeringai sinis. "Dari penampilan, you berdua dari golongan kaum pekerja, kan? Strata tengah. Sooo, gue saranin, jangan ngimpi bisa dapetin cowok ganteng, ngerti?"

Bacot, batin gue, menunduk sama Dian. Gue sebenarnya pengen nampol mulut nih cewek, ngajarin cara ngomong yang baik dan benar, tapi dia senior. Gawat kalau gue terlalu berani.

Gue baca bordiran nama di dada dia, Dhea... cih, namanya bagus, manusianya luknut.

Beruntung dia dan dua temannya pergi. Gue lega banget. Amit amit berurusan sama badut ancol macem dia.

"Eh, lihat tuh di bawah pohon." Dian nunjuk bangku panjang. "Tuh ada cowok ganteng!"

Loh, Desta? Gue kucek mata, tetap nggak berubah. Emang Desta. "Ngapain dia ke sini?"

"Ya sekolah lah, masak iya nyuri mangga," celoteh Dian. "Kasian dia sendirian. Yuk samperin."

Gue menarik mundur Dian. "Ngapain? Dia cowok, kita cewek. Dilihat orang ntar dikira cewek kegatelan nyamperin cowok."

"Hish, dia tuh teman kita."

"Jaga image lebih penting. Lagian dia cuma Desta, bukan Taehyung."

Dian menjadi Dian, dia bersiap teriak. "Des--"

Gue bekap mulutnya sebelum dia teriak. "Jangan teriak teriak, kampungan. Nggak usah ngurusin cowok munafik nggak guna yang lemah macam dia."

"Kalian masih bertengkar? Oh my god, udah tiga tahun lebih loh."

Gue gandeng Dian pergi ke sudut lain lapangan, biar mulutnya nggak ember. Lagian ngapain Desa masuk sini juga. Mengganggu orang aja. Apa alasan dia ke sini? Pasti mau macarin cewek - cewek cantik. Cih, dasar cowok mesum.

Dian menahan tawa. "Kamu belum baikan sama dia?"

"Baikan? Sorry yee. Enak aja baikan. Dia yang salah kok."

Magnetic LoveWhere stories live. Discover now