23. Tentang Masa Lalu

Start from the beginning
                                    

“Yol, gue capek berdebat sama lo. Gue minta maaf banget, gue nggak bisa nurutin omongan lo. Ini udah keputusan gue dan gue harap lo nggak ikut campur lagi.”

Lalu Levi pergi dan tidak menghiraukan panggilan Yola lagi. Dalam hal ini, Levi lebih memilih mengikuti kata hati. Baginya Ray memang terlihat misterius, tetapi bukan berarti jahat. Ray memang tak banyak bicara, tetapi bukan berarti Ray tidak bisa bersosialisasi. Buktinya Ray bisa bekerja di dua tempat. Ray juga pekerja keras, karena di usia 19 tahun, Ray sudah mampu menghasilkan uang sendiri sekalipun itu tidak banyak. Namun paling tidak, ketika remaja di usianya masih berfoya-foya menghamburkan uang orang tua, Ray sudah mampu menghasilkan pendapatan sendiri. Jadi tidak ada lagi pendapat yang dapat memengaruhi pilihannya.

Sedangkan di tempatnya berdiri, Yola masih menggerutu karena merasa persahabatannya mulai mengendur sejak hadirnya Ray dalam keluarganya. Kalau saja boleh mengajukan pendapat, dia ingin sekali melarang ibunya menempatkan Ray di dalam rumahnya. Sebenarnya bisa saja ibunya menempatkan Ray di sebuah rumah kost atau tempat lain, yang penting tidak serumah dengannya. Namun dia tidak mengerti alasan apa yang menjadi keputusan mama dan papa sehingga begitu baik menampung Ray di rumahnya.

“Hai, Yol!”

Yola terlonjak kaget ketika tiba-tiba ada panggilan di belakangnya. Spontan dia berbalik dan melihat Pram dengan wajah menjengkelkan.

“Apa?” tanyanya galak dan malas meladeni.

Pram menyeringai. “Ini yang gue suka dari lo. Lo nggak lembek kayak Levi.”

“Maksud lo?” Yola menautkan kedua alisnya, tak mengerti dengan ucapan Pram.

“Entar malem jalan yuk!”

Yola melongo sebentar kemudian bekacak pinggang. “Sejak kapan lo berani ngajak gue jalan? Udah nggak laku lo di jalanan?” tanpa menunggu jawaban Pram, dan sepertinya Yola juga tidak membutuhkan jawaban, gadis itu segera melenggang pergi diiringi lirikan tajam dari mata Pram.

***

Ray melajukan cepat motornya ke bengkel Bang Hiro. Bosnya itu mengirim pesan bahwa bengkel dan tempat cuci motor mobil sedang ramai. Bulan ini musim penghujan sudah tiba. Rezeki besar untuk Bang Hiro karena itu berarti akan banyak mobil dan motor yang datang untuk mencucikan kendaraan mereka.

Ray tak bisa mengantar Levi pulang. Dia hanya mengirim pesan kepada gadisnya itu karena ketika dia keluar kelas, Levi masih berada di ruang ekskul. Dan Levi memang sangat pengertian. Gadis manis yang sangat cocok menjadi pacarnya.

Sejak pukul dua siang sampai pukul lima sore, Ray tak berhenti mencuci motor dan mobil di bengkel. Kalau sedang tak ada yang dicuci seperti sekarang, dia membantu Muhtar memperbaiki motor yang ngadat.

“Udah, besok lagi. Kalian pulang aja!”

“Tanggung, Bang. Bentar lagi juga selesai. Lagian juga gelap banget nih masih jam lima lebih.” Muhtar berceloteh.

“Lo juga boleh pulang, Ray.”

“Iya, Bang. Saya juga udah beres-beres. Motor yang satu itu belum kepegang. Baru dateng barusan aja.”

“Iya digarap besok aja. Gue udah bilang tadi sama orangnya.” Bang Hiro bersedekap kemudian melirik penjual bakso yang berbunyi “ting ting”. “Kita ngebakso dulu deh.”

“Wah, Bang, kebetulan saya laper berat.” Muhtar segera melempar kain kotor yang sedari tadi dipegangnya dan bergegas ke tempat cuci tangan.

“Saya pulang aja, Bang.”

“Udah, lo makan dulu aja. Masih deres juga.”

Ray tersenyum canggung tetapi kemudian menurut. Dan dalam guyuran hujan deras dengan suasana yang sangat gelap padahal belum jam enam, mereka bertiga ditambah dua karyawan lain, menikmati semangkuk bakso panas yang menggugah selera.

Dalam hati Ray bergumam bahwa Bang Hiro bukanlah sosok yang menyenangkan. Bukan pula sosok yang ramah. Bang Hiro termasuk sosok yang dingin dan terkesan galak. Namun dalam kelemahannya tersebut, Ray bisa melihat kebaikan lelaki berumur 30 tahun tersebut. Hal ini membuat Ray menyimpulkan bahwa seseorang tidak bisa menilai orang lain dari luarnya saja, karena setiap orang pasti memiliki kebaikan lain yang belum tentu diketahui oleh orang lain.

“Bang, makasih ya buat baksonya.” Ray melirik Muhtar yang masih saja menambah beberapa tahu goreng, kelihatan kelaparan atau mungkin rakus.

Bang Hiro tidak menjawab, tetapi tangannya mengibas dan menyuruh Ray segera pulang.

Ray tersenyum karena sudah mengetahui karakter Bang Hiro yang tidak suka basa-basi. Pemuda itu segera menuju motor dan mengenakan jas hujan. Saat dia sibuk mengenakan jas hujan dan helm, sebuah mobil berwarna merah menyala berhenti tak jauh dari tempatnya. Kegiatan Ray terhenti dan mengamati sesosok wanita cantik keluar dari mobil itu kemudian menuju Bang Hiro.

Ray melihat wajah Bang Hiro berubah, mengeras. Seperti enggan bertemu dengan wanita itu. Namun wanita itu tetap mengikuti Bang Hiro yang memasuki kamar mungil tempat Bang Hiro beristirahat.

Sejauh ini yang Ray tahu, Bang Hiro memang belum beristri. Dan wanita secantik itu… entahlah. Ray tidak mau kepo dengan urusan orang lain. Sekarang waktunya dia pulang dan menemui Levi. Sungguh, dia kangen.

Ray melajukan motornya begitu kencang seperti seorang pembalap. Berada di jalanan dalam guyuran hujan deras dan suasana gelap, bukanlah suatu yang menyenangkan. Semua orang pasti ingin segera sampai rumah. Namun ketika berhenti di pertigaan jalan, Ray melihat sosok yang tak asing. Dia yakin sekali bahwa gadis yang sedang berdiri sambil memeluk tubuhnya sendiri itu adalah Inge. Gadis aneh yang dijauhi teman-temanny di sekolah.

Kali ini Ray harus sependapat dengan teman-temannya bahwa Inge memang perlu dipertanyakan kewarasannya. Bagaimana bisa gadis itu bisa berdiri sendiri tanpa berteduh malam-malam begini? Tidak mungkin ibunya menelantarkannya kalau bukan gadis itu yang berjalan sendiri tanpa tentu arah.

Dengan sedikit terpaksa, Ray akhirnya berbelok dan menghentikan motornya tepat di depan Inge. Spontan Inge mundur teratur dengan gerakan waspada.

“Lo ngapain malem-malem ujan-ujanan begini?”

Inge tak menjawab. Tatapannya bersorot takut.

“Gue Ray, temen Levi. Lo kenal Levi, kan?”

Ketika nama Levi disebut, Ray melihat gerakan bola mata Inge. Sepertinya gadis itu mulai mengingat siapa pemuda yang ada di hadapannya.

“Lo, pacar Levi?” tanya Inge terbata.

“Iya, gue pacar Levi.” Ray mengambil helm cadangan yang selalu dibawanya. “Gue anter lo pulang,” lanjut Ray sambil menyerahkan helm kepada Inge.

Bukannya menerimanya, Inge justru bengong tak tahu harus melakukan apa.

“Lo mau ke suatu tempat?”

Inge menggeleng.

“Lo nggak dijemput sama nyokap lo?

Lagi-lagi Inge menggeleng.

“Lo mau gue anterin pulang?”

Perlahan Inge mengangguk, sehingga Ray bisa bernapas lega. Ray kini salut kepada Levi yang bisa begitu sabar menghadapi tingkah Inge. Pantas saja teman-temannya yang lain menjuluki gadis itu dengan sebutan ‘tidak waras’.

Ketika Inge sudah duduk di belakangnya, Ray melajukan motornya dengan kecepatan normal. Dia harus berputar arah demi mengantarkan Inge pulang. Keinginannya untuk segera sampai rumah, harus ditunda dulu.

Inge menunjukkan arah jalan pulang. Dan di sepanjang jalan, Ray merasa tak asing dengan jalanan yang ditunjuk Inge. Hingga motornya berhenti di depan rumah yang ditunjuk Inge, Ray tak bisa berkata-kata lagi. Rumah itu, rumah yang ditunjuk Inge sebagai rumahnya, adalah bagian dari masa lalunya. Rumah seorang biadab yang takkan pernah dilupakannya. Lalu amarahnya kembali membara.

***

InvidiousWhere stories live. Discover now