13. Cantik

318 30 3
                                    

“Gue kira Dexie naksir lo.”

Angin malam yang dingin merasuk ke tulang. Tapi efek dinginnya tidak seperti saat mendengar penuturan Ray yang sama persis seperti apa yang dikatakan Yola. Sekarang ada dua orang yang menduga hal yang sama bahwa Dexie menyukainya. Mungkin sudah ada orang lain di luar sana yang menduga demikian tapi dirinya belum tahu.

“Itu cuma perasaan lo aja.”

“Gue punya dua dugaan. Dugaan pertama dia naksir lo. Dugaan kedua, dia benci gue punya temen, siapa pun itu.”

“Gue tahu sifat Kak Dexie emang dingin dan nggak mudah bergaul. Gue cuma baru tahu kalau dia bisa ngelakuin apa aja buat nyingkirin orang yang nggak dia suka.”

Pesanan dua gelas teh hangat datang. Ray memberikannya pada Levi. “Minum dulu.”

Levi mengambilnya kemudian menyesapnya. Tubuhnya terasa lebih hangat. Dia hirup lagi dan dia menikmatinya. Setelah itu dia menyandarkan punggung. Kulitnya yang terasa lengket karena belum mandi sejak pagi, membuatnya tak nyaman berada di dekat Ray. Padahal Ray sendiri juga belum mandi sore. Akhirnya Levi hanya mengetatkan sweaternya.

“Dingin?” tanya Ray perhatian. “Lo mau pakai jaket gue?”

“Em, nggak, makasih. Ini aja udah cukup kok.”

Levi pura-pura mengabaikan Ray yang masih saja memperhatikannya. Dia tidak bisa menebak apa yang ada dalam pikiran Ray sekarang. Hanya dugaan jika Ray sedang mengamati apa yang membuat Dexie suka jika itu memang benar.

“Lo juga suka Dexie?”

Dan Levi habis kesabaran. “Ray, bisa nggak lo berhenti ngomongin Dexie?” Levi sendiri bingung kenapa dia harus mengatakannya penuh penekanan. Terlihat sekali kalau dia tidak suka. Tapi mendengar nama Dexie yang diucap berkali-kali membuatnya tak nyaman karena dia sedang menenangkan hatinya yang bergemuruh setelah beberapa jam hanya berdua dengan Ray.

“Lo marah?” ada seringai geli di wajah Ray.

“Lo malah senyum?”

“Kalau lo marah, gue justru curiga kalau kalian memang ada hubungan.”

“Stop, Ray!”

“Kenapa?” Ray masih ingin menggoda Levi yang terlihat tidak sabar.

“Karena kita lagi berdua, tapi lo malah―” Levi ingin menggigit lidahnya sendiri karena hampir saja kelepasan mengungkapkan isi hatinya. Wajahnya tiba-tiba terasa hangat dan khawatir Ray akan mengartikan yang tidak-tidak.

“Ya, kita lagi berdua. Nggak seharusnya gue ngomongin cowok lain,” ucap Ray tenang kemudian menerima dua piring dari pedagang sate.

Levi menghela napas panjang untuk meredakan kegelisahannya sendiri. Dia heran juga bagaimana bisa Ray mengucapkannya begitu santai dan senyum samar-samar. Padahal dirinya sudah panas dingin.

“Makan dulu, Lev. Mau gue suapin?”

Levi menoleh cepat. Seringai menggoda itu masih dilihatnya di wajah Ray. Sialan, kenapa gue jadi baper?

Dengan gerak cepat, Levi menarik piring hingga tepat di hadapannya. Tanpa berkata apa-apa lagi, gadis itu melahap tanpa ampun tujuh tusuk sate dan tujuh potong lontong dalam piringnya. Segelas teh hangatnya juga telah tandas dalam waktu tak lebih dari lima belas menit.

“Lo termasuk orang yang doyan makan saat stress.”

“Gue nggak stress, Ray. Lo ngaco.”

Terdengar Ray tertawa ringan. Tentu saja Levi tidak ingin melewatkan momen langka itu, ketika dia bisa melihat Ray tertawa. Levi harus akui, wajah Ray sangat macho. Benar-benar wajah lelaki. Rahangnya kokoh, sorot matanya tajam menguasai, dan bibirnya... astaga!

InvidiousTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang