11. Kerja

283 27 1
                                    

Tawa Edo dan Vano pecah saat melihat dua orang pemuda yang sedang berjongkok sambil menyorong kain pel di toilet siswa lelaki. Dua orang pemuda itu tentu saja Dexie dan Pram. Mereka mendapat hukuman membersihkan toilet selama seminggu. Selain itu sepulang sekolah harus membantu Pak Nardi menyapu halaman sekolah selama seminggu pula.

“Encok lo baru tahu rasa,” ejek Vano geli melihat Dexie memegang pinggang. Hal itu sontak membuat Dexie berdiri dengan pongah.

“Lo kalau cuma mau menghina mending pergi aja. Dari pada gue naik pitam dan nggak bisa bedain mana tembok mana muka tembok.”

Sekali tawa mereka berderai. Edo sengaja membuang bungkus cokelat yang baru saja dimakannya ke lantai yang masih basah itu. Pram seketika ikut berdiri karena marah.

“Udah dapet hukuman aja masih sok galak. Lagian gue juga nggak mau lama-lama di tempat orang buang kotoran. Bau bangsat!”

Vano dan Edo tergelak lebih hebat sambil berlalu. Pram yang kemarahannya sudah sampai di ubun-ubun ingin sekali menghajar Edo. Sayangnya Dexie menahannya.

“Pak Nardi!” Teriak Pram habis kesabaran.

Pak Nardi yang sedang menyapu halaman kelas tergopoh-gopoh datang. “Apaan sih kamu teriak-teriak?”

“Mana alat pelnya? Kenapa cuma kainnya doang. Tahu nggak, pinggang saya sudah hampir copot!”

“Yeee, emang sama Pak Radit nggak dibolehin pakai alat pel kok. Biar situ ngerasain ngepel sambil jongkok,” kata Pak Nardi kemudian pergi.

Di sampingnya, Dexie tak menghiraukan keluh kesah Pram. Dia tetap melakukan tugasnya sampai selesai sekalipun hatinya meradang karena tidak terima mendapat perlakuan memalukan beberapa hari terkahir ini.

Gue akan bales lo, Ray!

***

Ray menatap motornya yang telah pulih seperti semula. Hatinya menjadi senang tak terbendung. Dia ingin segera mengabari Damar bahwa motornya telah diperbaiki dan tak ada yang perlu dirisaukan.

“Bang, makasih banyak udah nolongin aku,” ucap Ray tulus. Kalau saja tidak ada pemilik bengkel sebaik Bang Hiro mungkin dia tidak bisa memperbaiki kerusakan motornya. Meskipun Bang Hiro terkesan cuek, tapi Ray yakin, Bang Hiro menyimpan sebentuk hati yang lembut.

Mendengar perkataan Ray, Bang Hiro hanya melambaikan tangan untuk meminta Ray segera ke tempat pencucian mobil dan motor. Ray tidak terlalu memikirkan tanggapan Bang Hiro. Pemuda itu segera bergabung dengan Anton dan Haris. Sementara Muhtar belum kembali.

Begitulah pekerjaan Ray tiap sore, bekerja demi membayar biaya perbaikan motornya. Tapi pada hari keenam, Bang Hiro memberinya amplop berisi uang.

“Uang apa ini, Bang?” tanya Ray bingung.

“Gaji lo selama seminggu.”

“Bang, tapi ini―” Ray menatap amplop itu dan wajah Bang Hiro bergantian.

“Udah ambil aja.” Bang Hiro tampak enggan menjelaskan dan kembali serius memperbaiki salah satu motor.

“Bang, biaya perbaikan motor itu pasti nggak sedikit. Aku nggak mau bikin Bang Hiro rugi.”

“Ambil aja,” kata Bang Hiro tanpa menatap Ray. Lelaki itu tetap tertunduk menekuri pekerjaannya.

“Tapi, Bang―”

Sebelum Ray menyelesaikan kalimatnya, tangan Bang Hiro kembali melambai sebagai tanda untuk meminta Ray segera pergi.

“Bang, makasih banyak. Aku nggak tahu harus membalas kebaikan abang dengan cara apa,” kata Ray tersendat karena kebaikan Bang Hiro tulus apa adanya. Hatinya menjadi tersentuh karena selama ini lebih banyak orang yang mencelanya dari pada yang berbuat baik padanya. Apakah jika Bang Hiro tahu bahwa dia mantan napi, lelaki itu akan tetap berbuat baik padanya? Pertanyaan itu tiba-tiba muncul di kepala Ray.

“Bang, apa besok Bang Muhtar udah balik?” tanya Ray pelan.

Seperti mengetahui apa maksud Ray menanyakannya, Bang Hiro langsung menjawab, “Kalau lo masih mau kerja di sini, dateng aja tiap hari.”

“Bang, makasih banyak. Aku janji bakal kerja dengan rajin. Aku nggak akan ngecewain abang,” seru Ray tak sanggup menyembunyikan rasa senangnya. Pemuda itu tersenyum penuh syukur karena Bang Hiro tidak keberatan dia bekerja lagi di bengkel.

Setelah berpamitan, Ray segera meluncurkan motornya untuk pulang. Tapi dalam perjalanan, dia teringat akan pelatihan memasarkan produk berupa rumah yang pernah dia ikuti beberapa yang lalu.

Pada saat itu dia melihat sebuah iklan yang menampilkan pelatihan gratis untuk mencari broker properti di sebuah media sosial. Iseng saja dia mengikuti acara tersebut yang ternyata sangat menggugah minatnya. Dia mendapatkan banyak ilmu pemasaran dasar dan cara berkomunikasi dengan konsumen dengan baik. Jadi mulai hari ini dia akan memulai untuk mencari rumah-rumah yang dijual sebagai bahan listing.

Ray berhenti sesaat untuk melihat waktu di ponselnya. Waktu masih menunjukkan pukul empat sore. Dia masih bisa menggunakan waktu satu jam untuk masuk ke daerah perumahan. Tapi di tengah perjalanan dia melihat sosok gadis yang sejak beberapa hari ini secara tak sadar sudah sangat dikenalnya. Levi.

***

InvidiousTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang