Chapter 4 - One of a kind

28K 3.7K 152
                                    


- EMMA -


"Wow. Thank you, sis." Aku membuka kotak dan meraih kartu yang tertempel di permukaannya. Tulisan di dalam kartunya, seperti yang sudah kuduga, adalah 'Would you be my Bridesmaid?' dengan cursive font bersih dan rapi. Walaupun kelihatannya standar, tapi nggak ada yang standar dari pilihannya Shasy.

Kalau biasanya the-so-called bridesmaids dikasih bahan terus jahit sendiri, tapi Shasy memberikan baju yang sudah dijahit khusus dan sesuai dengan ukuran badanku. Sebulan yang lalu ia mengajak aku, Nitya, dan Almeira, ke salah satu desainer yang sedang naik daun untuk mengukur badan. Aku nggak pernah dikasih tau bagaimana model bajunya, selain berupa sketsa yang terlalu abstrak untuk aku bayangkan hasil jadinya seperti apa.

Tapi saat membuka kotak dan mengeluarkan dress tersebut, mau nggak mau aku menahan napas karena dress-nya cantik banget. Aku nggak ngerti ini dress ini dari bahan apa, yang jelas halus dan jatuh dengan sempurna. Oh aku udah bilang kalau dress-nya sangat cantik? Yeah, aku cuma berharap supaya masih akan secantik itu kalau aku yang pakai.

"Cakep banget, Shas." Aku mengelus bahan tersebut untuk kesekian kalinya. "Ini habis berapa, nih, buat jahitnya?"

"Yaela, Em." Nitya meraih teko kaca berisi black tea yang ada di tengah meja dan menuangkan isinya ke dalam gelas. "Penghinaan itu nanya berapa harga jahit ke Shasy. Can you just shut up and enjoy the gift?"

Aku tertawa. Nitya memang nggak pernah sugar-coating apapun, apalagi kalau mengomentari aku, Shasy atau Alme. Di lain pihak, yang dikatakan Nitya itu benar adanya. Buat Shasy, uang bukan permasalahan hidupnya yang utama. Asal semua yang didapatkan itu bagus, sesuai selera, dan mencerminkan status sosial ekonomi dia dan keluarganya, harga bukanlah masalah.

I wish I could say the same about my life.

"Ya tapi kan gue masih merasa nggak enak." Aku melipat kembali dress tersebut dan memasukkannya ke dalam kotak. "Ini bisa dipakai berkali-kali dan bukan hanya pas nikahan Shasy dan Reza aja."

"Em, please deh." Shasy menghela napas dengan dramatis. "Berisik banget lo. Tinggal terima aja ribet banget. Anything for you sissss."

Nitya melemparkan pandangan setuju. "Yang penting sekarang tuh, lo nggak bertambah gendut atau kurus biar bajunya tetap muat."

"Yeap." Shasy menjentikkan jari dan meraih piring berisi crepes cake di depanku. "Eh lo nggak habis kan? Ini gue abisin ya?"

Aku memandang Shasy nggak mengerti, "Ini barusan lo setuju dengan Nitya bahwa jangan sampe berat badan gue bergerak drastis... Tapi mohon maaf, nih, Bu, ini cake berapa kalori ya? Apa kabar kebaya nikahan?"

"Masih dua bulan lagi," Shasy kembali memotong ujung kue dengan garpunya. "Bisa lah target kebaya masih muat."

Aku meringis. Takut kalau nanti ternyata kebaya Shasy pas nikah terlalu sempit sehingga membuatnya menjadi bridezilla. Sekarang aja dia sudah mengarah jadi bridezilla, padahal hari-H masih dua bulan lagi.

Aku, Shasy, Nitya dan Almeira sudah bersahabat sejak tahun pertama kuliah--saat kami satu kelompok orientasi kampus dan dikerjain senior bersama-sama. Seperti yang banyak orang bilang, misery loves company--jadi saat itu karena bersama-sama merasakan kesusahan, kami menjadi dekat. Sampai sekarang.

Setelah beberapa hari lalu menyelenggarakan pertunangan, Shasy mengumpulkan kami berempat sepulang kantor untuk memberikan dress yang akan kami gunakan saat resepsi pernikahannya dua bulan lagi. Sayangnya, Alme nggak bisa datang karena... biasa, lembur. Things you do for a spoon of rice in Jakarta: selling your soul until it becomes dark by working overtime.

The Dating Game [Segera Terbit]Onde histórias criam vida. Descubra agora